YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Kasus penistaan agama yang dicuatkan Ahok bukan sekali ini terjadi. Sudah pernah sebelumnya, konflik antar umat beragama membakar Ambon dan Poso. Setiapkali umat Islam menyikapi berbagai kasus penistaan agama, umat Islam dituduh bertindak Sara. Sehingga aparat keamanan pun enggan bertindak; bahkan media massa nasional tak mau meliputnya dengan alasan Sara. Harus bagaimana umat Islam menyikapi diskriminasi aparat dan media ini.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengeluhkan banyaknya tuduhan yang diarahkan padanya setelah kasus penistaan agama lewat surat Al Maidah Ayat 51. Salah satunya dianggap menyinggung ulama.
“Gak mungkin saya menyinggung ulama. Saya juga tidak mungkin menistakan Alquran karena saya percaya semua orang beriman pasti percaya kitab sucinya yang tentu saya harus menghormati dengan rekam jejak saya apalagi saya sebagai politisi kan,” ujar Ahok usai menjalani pemeriksaan Bareskrim Polri di Kompleks Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Gambir, Senin (24/10/2016).
Untuk itu, M. Shabbarin Syakur dari Risalah Mujahidin (RM) mewawancarai Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Muhammad Thalib. Di bawah ini petikannya.
RM: Penistaan terhadap ayat Al-Qur’an yang dilakukan Ahok, cukupkah diselesaikan hanya dengan minta maaf?
Thalib: Minta maaf boleh saja, tapi siapa yang mau memaafkan dan dengan alasan apa Ahok dimaafkan. Karena itu perlu diselidiki lebih jauh, agar dia tidak mengklaim sepihak, apakah penistaan yang dilakukan karena kebodohan atau kesengajaan melecehkan Islam. Jika karena kebodohan dia bisa di maafkan setelah melalui proses pengadilan. Bukan permintaan maaf jalanan.
RM: Masyarakat sudah melaporkan kasusnya ke Polisi tapi belum ada tindakan konkrit, bagaimana umat Islam menyikapinya?
Thalib: Harus ada gerakan pressure terus menerus sampai kasusnya masuk pengadilan. Masyarakat tidak boleh tinggal diam menyaksikan agama dinistakan oleh siapapun. Pihak kepolisian juga tidak boleh mengabaikan tuntutan masyarakat Muslim, hal itu bisa dikategorikan kezaliman.
RM: Setelah fitnah yang dilakukan Ahok, sekarang muncul isu SARA. Demonstrasi menuntut Ahok diadili yang massif di berbagai kota di Indonesia dianggap demo SARA, dan TV maupun media massa nasional tidak mau meliput dan menyiarkannya.
Thalib: Yang melabeli demonstrasi umat Islam anti penistaan Al-Qur’an sebagai tindakan SARA harus kita lawan secara hukum. Siapapun di negeri ini tidak boleh memvonis orang lain berdasarkan persepsinya sendiri. Sikap media massa yang tidak mau menyiarkan perlawanan umat Islam terhadap kezaliman, itu diskriminatif. Ketika Ahok menghujat Al-Qur’an dan memusuhi ulama, beritanya di blow up, giliran umat Islam melawan secara damai malah mereka abaikan. Sikap inilah yang memancing kemarahan, maka jangan salahkan jika masyarakat mengungkapkan kemarahannya melalui demo atau mengambil jalannya sendiri menyikapi diskriminasi media ini.
RM: Tapi Parpol juga sama sekali tidak merespon kasus penistaan Al-Qur’an yang dilakukan Ahok. Bagaimana pandanga Ustadz?
Thalib: Parpol itu kumpulan manusia munafik. Ketika kepentingan politik mereka terancam mereka minta dukungan masyarakat untuk melawan, tapi giliran aspirasi rakyat yang dinistakan pejabat, mereka abaikan. Apalagi ada partai Islam malah mendukung pejabat yang menista Islam, ini pengkhianatan kepada umat Islam.
RM: Presiden Jokowi juga tidak peduli dengan kasus penistaan ini, ada kesan justru Presiden melindungi Ahok. Bagaimana pendapat Ustadz?
Thalib: Ini bentuk kepanikan penguasa menangani kemerosotan ekonomi rakyat. Presiden panik menghadapi kemerosotan ekonomi rakyat sehingga tidak punya waktu untuk isu penistaan ini. Jika benar Presiden Jokowi melindungi Ahok, itu kejahatan, maka patut dicurigai, jangan-jangan dia punya kepentingan yang sama dengan Ahok, hendak menjahati Negara dan rakyat Indonesia.
(azm/arrahmah.com)