(Arrahmah.com) – Pancasila lahir dari konsesus bersama, atas maraknya diskusi dan debat soal ideologi Negara, antara para pendiri bangsa sejak awal mula kemerdekaan.
Keberagaman kita sebagai anak bangsa, kembali diperkuat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kita terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Dalam bentangan itu, ada banyak agama, suku dan budaya didalamnya. Hanya Pancasila yang menyatukan kita dalam bingkai NKRI. Dan Pancasila adalah panggung bersama untuk identitas yang berbeda-beda.
Karenanya, keberagaman ini mesti dijaga dan dipelihara. Jangan biarkan rumah kita terusik dengan kata-kata kasar yang memancing isu SARA.
Mengenai ucapan Ahok yang memancing reaksi ulama dan umat Islam, diskusinya sudah mulai menggeser dari substansi persoalan.
Muncul isu bahwa videonya harus ditonton full, jangan setengah – setengah. Mau di jungkir balik pun isi videonya tetap sama. Kemudian muncul lagi, ini soal interpertasi makna ayat yang berbeda – beda dari para ulama.
Lalu belakangam muncul isu bahwa MUI terlibat dalam politik praktis. Ini penggiringan opini untuk melemahkan posisi MUI sebagai majelis berkumpulnya ulama dan zua’ma.
Majelis Ulama Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi umatnya. Termasuk ketika ada ujaran kebencian dan penistaan ayat-ayat Al Quran oleh Ahok.
Persoalan ini menjadi bias ketika Timses Ahok menarik persoalan ini ke ranah politik. Padahal, secara empirik masalahnya adalah, umat Islam dan MUI tidak terima terkait ucapan Ahok. Karenanya kemudian, mereka melaporkanya ke aparat penegak hukum.
Dalam penafsiran itu boleh saja berbeda-beda cara pandangnya, tapi tidak menghilangkan substansinya makna dan kandungan ayat tersebut.
Semua orang hargai keberagaman pendapat itu. Dalam konteks penafsiran Al Quran di Indonesia, yang memiliki otoritas penuh secara konstitusi dalam menafsirkan Al Quran adalah Kementrian Agama.
Yang dipersoalkan umat ulama dan umat Islam adalah, Kenapa Ahok terlampau jauh menghina Islam dan ayat-ayat Al – Quran.
Benar bahwa agama adalah soal privasi. Tapi ketika ia di jelek-jelekan didepan publik, dan dilakukan oleh pejabat Negara, hati siapa yang tidak tersayat dan tersinggung.
Realitas ini mengusik rasa keberagaman kita sebagai anak bangsa, yang multi agama, etnis, ras dan budaya.
Saya termasuk orang yang terbuka dalam melihat keberagaman orang dalam memberikan pendapat terkait suatu persoalan.
Namun, ketika ada yang berpendapat, sudahlah, Ahok dah minta maaf, kita damai saja. Ini konstruksi berpikir yang sesat dan menyesatkan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah, ketika ada pejabat negara yang melakukan kesalahan fatal, kemudian ia minta maaf, lalu persoalan selesai. Ini bahaya dalam kehidupan bernegara.
Melaporkan Ahok ke jalur hukum, saya kira pilihan yang cerdas untuk menghindari benturan sosial akibat ulah bicara Ahok.
Tinggal sekarang kita dorong, pantau perkembangan kasusnya di Mabes Polri. Kita juga desak agar aparat penegak hukum bisa menangani soal ini dengan transparan dan profesioanal. Jangan sampai ada invisible hand dalam kasus yang sarat senstif ini.
Sumardi Presidium Wilayah KA KAMMI NTT
(azm/arrahmah.com)