PULAU ENGGANO (Arrahmah.com) – Dalam sejumlah literatur lawas, penduduk Kecamatan Pulau Enggano, Kab Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, disebut mayoritas beragama non-Islam.
Namun dalam penghitungan terakhir, warga Muslim sudah mencapai 55,35% (Direktori Pulau Pulau Kecil, Dirjen Pengelolaan Laut, Kementrian Keluatan dan Perikanan, 2012).
Perkembangan itu tak lepas dari peran Ustadz Safrudin Zakariya Labay. Dai berusia 62 tahun ini bermukim di Enggano sejak 1978.
Awalnya, Saf muda pada 1970-an mengikuti dauroh duat yang diselenggarakan Dewan Dakwah di Bengkulu. Waktu itu, ketua Dewan Dakwah Bengkulu adalah Ustadz Dahlan Basri.
Saf dengan sejumlah alumnus dauroh dari berbagai provinsi kemudian mengikuti penggemblengan lanjutan di Pesantren Darul Fallah Bogor. Selain memperdalam ilmu agama, mereka di sini juga belajar praktik pertanian.
Atas amanat langsung dari M Natsir, Ketua Umum Dewan Dakwah ketika itu, Saf ditugaskan berdakwah di Pulau Enggano. Padahal, pada tahun 70-an, pulau terluar RI yang terletak di Samudera Hindia ini masih merupakan ”pulau hantu”.
‘Jangan berhenti tangan mendayung. Gali dari ajaran Islam. Kita tidak boleh pasif. Hidupkan kembali ukhuwah Islamiyah. Layarkan terus perahu ini,” demikian wasiat Pak Natsir yang terus melekat menjadi spirit dakwah Saf.
Ustadz Safrudin Zakariya Labay yang ditemui LAZIS Dewan Dakwah pada 3 Oktober lalu, bercerita, kali pertama ia datang ke Enggano, hanya ada jalan setapak penuh ilalang di kiri dan kanan.
”Kami ke mana-mana membawa parang untuk membuka jalan,” kenangnya. Bila air laut sedang surut, mobilitas dapat dilakukan melalui garis pantai.
Untuk berdakwah ke lain desa, Ustadz Saf harus menempuh berjam-jam perjalanan. ”Biasa, kita pergi jam 8 pagi, sampai di desa tujuan jam 4 sore. Kadang harus menggunakan rakit bambu untuk menyeberang sungai. Kalau rakitnya hanyut ke seberang, ya kita berenang,” tutur dai yang masih tampak bugar ini.
Kini, untuk berdakwah di 6 desa di Bengkulu (Desa Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kaeapo), Ustadz Saf ditemani Ustadz Saddam. Dai muda ini almunus STID (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) M Natsir Jakarta yang bertugas di Enggano sejak akhir 2016. Saddam bermukim di Dusun Pal Empat, Desa Kaana. Sedang Ustadz Saf di Dusun Kampung di desa yang sama.
Selama Ramadhan lalu, Ustadz Saf mendapat bantuan tenaga dai sebanyak 8 mahasiswa STID M Natsir yang mengikuti Program Kafilah Dakwah.
Sementara itu, Elsa Nakkita, dalam artikelnya bertajuk ”Antropologi Bengkulu” (25 Juli 2015), menulis, ”… sangat sulit untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka, karena agama Islam yang sangat mendominasi gaya hidup masyarakat, namun penulis percaya pendekatan lewat dunia kesenian patut dicoba dalam usaha pemberitaan Injil.”
Elsa menyatakan, dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, menyiratkan bahwa Bengkulu membutuhkan kasih Tuhan. Ia mengutip pesan Tuhan Yesus dalam Matius 28:19-20: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus….” Menurutnya, ini adalah suatu pesan yang juga ditujukan pada suku-suku di Bengkulu.
Untuk mendukung dakwah di Enggano, Lazis PLN Pusenlis Jakarta melalui LAZIS Dewan Dakwah, menyerahkan bantuan berupa satu unit perahu beserta perangkat memancing.
”Selain untuk sarana transportasi dakwah, perahu kayu ini juga membantu keluarga dai meningkatkan penghasilan dari laut,” tutur Ahmad Robyansyah Faisal dari LAZIS Dewan Dakwah yang mendamping Djoni Siswoyo dari Lazis PLN Pusenlis, ke Enggano awal Oktober lalu.
Disaksikan jamaah Ustadz Saf, perahu secara simbolik diserahkan oleh Djoni Siswoyo kepada Ustadz Saf di muara sungai sekitar 200 meter dari kediaman sang dai, 4 Oktober 2016.
”Kami sangat mengapresiasi kerja dan pengabdian dai di Enggano ini. Untuk ke pulau ini saja butuh perjalanan panjang yang tidak mudah. Ditambah lagi sinyal komunikasi dan penerangan yang minim. Tak terbayang oleh saya, bagaimana kondisi tahun 70-an ketika pertama kali Ustadz Saf bertugas di sini,” tutur Djoni sambil menahan tangis haru.
(azmuttaqin/*/arrahmah.com)