(Arrahmah.com) – Senat Amerika Serikat (AS) telah mengeluarkan undang-undang yang akan memungkinkan keluarga korban serangan 11 September 2001 bisa menuntut pemerintah Arab Saudi sebagai negara yang dituding terlibat. Namun, sebelumnya Presiden Barack Obama telah menentang undang-undang itu dan Gedung Putih telah mengancam dengan hak veto. Perundang-undangan Keadilan Melawan Sponsor Tindak Terorisme (JASTA) disahkan dengan suara bulat pada Selasa (17/5).
UU Tragedi 9/11 itu menimbulkan banyak suara pro dan kontra dari dalam dan luar negeri AS. Dengan adanya UU ini, maka kekebalan yang selama ini membuat Arab Saudi tidak dapat dituntut atas tragedi 9/11 menjadi hilang. Di satu sisi, pihak yang mendukung melihat UU ini sebagai sebuah cara bagi keluarga para korban untuk mendapatkan keadilan, namun di sisi lain, UU baru ini dapat menjadi sebuah preseden bagi negara lain untuk menggugat diplomat, tentara, atau perusahaan AS di luar negeri jika dianggap melakukan aksi yang merugikan.
Dari 19 pembajak yang diduga melakukan serangan, 15 memiliki kewarganegaraan Arab Saudi dan bukti yang ada menunjukkan bahwa beberapa dari mereka terkait dengan para pejabat tinggi di kerajaan Arab Saudi. “Jika orang Saudi tidak melakukan kesalahan, mereka tidak perlu takut terhadap undang-undang ini. Jika mereka bersalah pada peristiwa 9/11, mereka harus bertanggung jawab,” kata Chuck Schumer setelah veto Obama.
Dukungan untuk Jasta berjalan tinggi di antara anggota parlemen AS, yang memilih untuk meloloskan tuntutan dengan mayoritas mutlak pada 9 September. Undang-undang secara efektif mengakhiri kekebalan negara-negara asing ‘dari tindakan hukum di pengadilan Amerika.
Dalam pesan veto nya, Obama mengatakan bahwa tuntutan telah menimbulkan “keprihatinan serius” di antara beberapa sekutu Amerika. Rabu lalu, Uni Eropa (UE) meminta Presiden Obama untuk memveto RUU, dan memperingatkan bahwa hal itu akan “menempatkan beban pada hubungan bilateral antara negara-negara Eropa.” Arab Saudi juga sangat menentang RUU tersebut, dan mengancam akan menjual aset miliknya senilai $ 750 miliar di Amerika jika itu menjadi hukum tetap.
Sebagai respos Kabinet Raja Salman menggelar rapat secara terus menurut untuk membahas dan mencari jalan keluar dampak dari JASTA yang dapat mengancam hubungan internasional. “Adopsi hukum terorisme oleh Amerika Serikat menjadi perhatian besar masyarakat internasional,” kata Menteri Kebudayaan dan Informasi Arab Saudi Adel Toraifi, seperti dikutip Arab News, Selasa (4/10). Adel menilai hubungan Arab dan AS telah terjalin selama ratusan tahun yang dijalankan lewat prinsip-prinsip kesetaraan dan kekebalan berdaulat.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir mengancam akan menarik aset negaranya senilai 750 miliar dolar dari AS jika Kongres mengesahkan RUU yang memungkinkan korban serangan 11 September menuntut pemerintah negara-negara asing. Rancangan yang disebut “Undang-Undang Keadilan Melawan Sponsor Terorisme, diprakarsai oleh Senator Demokrat, Chuck Schumer dari New York dan Senator Republik, John Cornyn dari Texas.
Serangan balik
Disahkannya UU Jasta, berimplikasi bahwa AS harus bertanggung jawab atas jutaan nyawa yang melayang dan para korban yang masih hidup atas pendudukannya di seluruh negeri-negeri muslim. Fakta menunjukkan kebenaran hal ini—bahwa ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan proporsi yang luar biasa, yang menargetkan ratusan ribu warga sipil tidak berdosa demi tujuan politik AS, sehingga menjadikan AS pemimpin dunia dalam melakukan peperangan dengan ‘taktik teroris’. Pembenaran atas kejahatan keji tersebut didasarkan pada doktrin merusak bahwa “tujuan menghalalkan segala cara” dan bahwa “sesuatu bisa berjalan selama manfaat material layak didapatkan”. Doktrin-doktrin tersebut didukung oleh sistem kapitalis yang menjadi landasan negara Amerika. Dan itu sebabnya, mengapa taktik AS dengan menyerang warga sipil untuk mendapatkan keuntungan politik terus dilakukan dalam perang di Korea dan Vietnam hingga zaman modern.
Dalam perang Irak misalnya, ratusan ribu warga sipil tewas dalam perang yang dilakukan demi kepentingan nasional Barat. Pemerintah kapitalis Barat terus memasok senjata kepada para diktator brutal yang mempekerjakan mereka untuk melawan rakyatnya, atau memasok senjata di zona perang yang memicu konflik—semuanya demi keuntungan politik atau ekonomi. Dan rezim kapitalis seperti itu tidak segan-segan melepaskan senjata kimia mematikan kepada penduduk sipil di wilayah musuh jika hal itu dianggap bermanfaat bagi tujuan politik atau militer mereka.
Temuan dari penelitian yang diterbitkan bulan Juli di kota Irak Fallujah yang dibom oleh AS pada tahun 2004, dilaporkan adanya peningkatan drastis angka kematian bayi yang cacat serius sejak lahir. Selain itu, penduduk yang menderita kanker dalam 10 tahun terakhir melebihi jumlah korban yang selamat dari pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki. AS tentu tidak berarti satu-satunya negara yang telah menargetkan penduduk sipil untuk kepentingan politik atau militer. Pemboman oleh Inggris pada kota Jerman Dresden selama Perang Dunia Kedua juga menewaskan puluhan ribu orang.
Meskipun demikian, pemerintah AS dan kapitalis Barat lainnya terus mengangkat dirinya sendiri sebagai polisi dunia, yang terlibat dalam Perang Teror Global yang juga telah menewaskan ribuan warga sipil tidak bersalah—atas nama (menurut mereka) untuk mencegah pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil oleh berbagai organisasi dan individu—yang sebenarnya hanyalah orang-orang amatir dalam penggunaan taktik perang. Tentu yang mereka lakukan kalah mengerikan dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara Barat.
AS Dalang 9/11
Telah ditemukan satu bukti penting yang menunjukkan cerita resmi publik Amerika tentang serangan 9/11 adalah ‘kebohongan’, kata sekelompok arsitek dan insinyur mengatakan. Sehari sebelum peringatan serangan 11 September 2001, Architects and Engineers for 9/11 Truth mengatakan bukti tentang penghancuran gedung menara kembar World Trade Center telah muncul yang menunjukkan penggunaan bahan peledak yang digunakan untuk menghancurkan gedung tersebut.
Gregg Roberts, seorang anggota organisasi nirlaba yang mempersolakan sengketa hasil penyelidikan resmi serangan 11 September, mengatakan sebagai “cerita resmi adalah sebuah kebohongan, itu merupakan penipuan.”
Menurut para ahli, menara kembar mengalami kehancuran total dalam waktu 10-14 detik dekat percepatan jatuh bebas yang hanya dapat terjadi sebagai hasil dari penghancuran bahan peledak yang sudah ditentukan sebelumnya.
“Harus ada bahan peledak, tidak ada cara lain untuk bangunan rubuh secara simetris ke bawah… seperti sebuah pohon jika Anda memotong pohon, ia jatuh ke samping yang Anda potong,” kata Steven Dusterwald, salah seorang anggota lainnya dari organisasi tersebut.
Kelompok ini juga menegaskan bahwa logam cair ditemukan setelah penyelidikan 9/11.
“Jet bahan bakar dan kebakaran kantor tidak dapat mencairkan besi atau baja. Mereka bahkan tidak mendapat separuh panas seperti itu sehingga sesuatu yang lain ada di sana, bahan yang sangat energik yang harus ditempatkan di seluruh bangunan,” kata Roberts.
“Begitu kita mengambil penutup mata, kita dapat melihat. Sangat sedikit orang di Amerika yang mengambil penutup mata. Jadi kita membantu orang dengan menunjukkan bukti,” kata pendiri Architects and Engineers for 9/11 Truth Richard Gage.
“600 arsitek yang saya wakili paling prihatin tentang runtuhnya terjun bebas dari bangunan 7 [World Trade Center], pencakar langin ketiga [yang] tidak terkena tubrukan pesawat pada sore hari 9/11… hancur dalam 6,5 detik,” kata American Free Press mengutip perkataan Gage.
World Trade Center 7 dilaporkan ambruk sekitar delapan jam setelah menara utama gedung WTC jatuh.
Bukti baru tersebut membatalkan alur cerita resmi bahwa 19 teroris teroris al-Qaeda membajak empat pesawat komersial dan menabrakkan diri ke menara kembar gedung WTC di New York City.
Kelompok The Architects and Engineers for 9/11 Truth menyerukan Jaksa Agung AS Eric Holder untuk meminta juri federal melakukan penyelidikan atas dugaan menutup-nutupi, yang Gage katakan sebagai “kejahatan terbesar di abad ini”.
“Jika ada pihak yang bertanggungjawab,” mantan Senator Mike Gravel mengatakan, “Berakhir dengan [mantan Presiden George W.] Bush dan turun ke [Mantan Wakil Presiden Dick] Chaney, lalu ke militer dan berbagai birokrasi. Tidak ada pertanyaan bahwa kegiatan seperti ini pergi ke tempat teratas.”
Bagaimanapun juga, serangan 11 September telah dijadikan pretext bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan-serangan brutalnya atas negeri kaum Muslim. Amerika melancarkan kampanye busuk “Perang Melawan Terorisme” yang menutupi kejahatannya atas kaum Muslim. Hal tersebut terus terjadi hingga hari ini, seperti di Irak dan Afghanistan.
Umar Syarifudin – Syabab HTI
(*/arrahmah.com)