(Arrahmah.com) – Semua orang tidak pernah bisa memilih dilahirkan di mana, kapan, dari suku mana, dari pasangan yang mana, dalam kondisi apa, dan pada peristiwa apa, karena ini bukan urusan ketentuan Allah bukan pilihan. Tapi seseorang senantiasa bisa memilih apakah mau menggunakan akalnya untuk
Namun, mencintai suku dan mencintai tempat lahir adalah fitrahnya manusia yang wajar
Tidak mengapa mencintai tanah lahir, wajar pula kita menghargai nasab atau keturunan, kebolehannya sama seperti kita mencintai keluarga, mencintai harta kepemilikan. Hanya saja di dalam Islam porsinya tidak boleh melebihi cintanya kepada Allah dan Rasul dan apapun yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul.
Tiga perkara yang jika terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman, (1) Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari pada selainnya, (2) Ia mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka (HR Bukhari Muslim)
Tapi rasa cinta yang wajar dan dibolehkan dalam Islam terhadap segala sesuatu yang sudah disebutkan diatas itu, termasuk mencintai tempat lahir dan mencintai kaum serta sesama, tidaklah sama dengan nasionalisme, dan tidak selalu harus diwujudkan dengan nasionalisme.
Dalam setiap masa dan tempat, manusia senantiasa memerlukan ikatan untuk mempersatukan mereka, dan biasanya ikatan ini ada karena tujuan yang ingin dicapai, karena mustahil mencapai tujuan bersama tanpa adanya ikatan yang mempersatukan. Sebagaimana tali menyatukan lidi maka bisa digunakan untuk tujuan menyapu, sebagaimana paku mengikat kayu maka bisa digunakan untuk membuat sesuatu.
Ikatan bisa muncul juga bisa hilang, tergantung ikatannya dan tergantung keperluannya.
Nasionalisme misalnya, adalah ikatan yang muncul karena seseorang tinggal di tempat yang sama dan merasakan adanya ancaman bersama, maka wajar bila ikatan nasionalisme ini selalu memerlukan ancaman demi ancaman agar tetap kuat ikatannya, dan akan melemah begitu penduduknya merasa aman, dan ikatan ini sangatlah lemah karena berdasarkan kesamaan tempat dan ancaman.
Fanatisme kesukuan, ikatan ini muncul tatkala sekelompok orang sempit dalam berpikir, lalu menjadikan kecintaan terhadap kaum sebagai dasar untuk mengikatkan dirinya dan bertujuan untuk membuktikan bahwa kaumnya lebih superior dibanding kaum lainnya. Ikatan ini pun sangat lemah, karena didasarkan atas kesamaan perasaan bukan pemikiran, dan pasti akan menimbulkan pertentangan dan permusuhan dari suku lainnya. Dan ikatan ini akan hilang begitu berbenturan dengan kepentingan dunia.
Dalam Islam, segala sesuatu termasuk ikatan antarmanusia haruslah berdasarkan Allah dan Rasul-Nya, Kitabullah dan Sunnah, dan ikatan penyatu antarmanusia yang paling pas adalah ukhuwah Islam, karena kemunculannya dari aqidah, menyatukan orang-orang yang beriman sekaligus memberikan perlindungan dan keamanan bagi yang tidak memeluk aqidah Islam.
Seorang yang bukan Muslim bisa saja menjadi seorang yang nasionalis, seorang Muslim juga bisa saja seorang nasionalis. Tapi ukhuwah Islam, itu hanya seorang Muslim yang bisa. Ukhuwah itu ikatan khas yang bersumber dari aqidah Islam.
Bila kita masih ngotot dengan nasionalisme, lalu bagaimana kita memandang Malaysia, Palestina, Turki, dan negeri-negeri Muslim yang lainnya? Dengan pandangan nasionalisme atau dengan pandangan ukhuwah? Bila dengan pandangan nasionalisme, maka bukan urusan kita membantu Palestina, adalah urusan kita bila Malaysia mengklaim budaya dan wilayah Indonesia. Namun dalam pandangan ukhuwah, mereka adalah saudara yang harus dibela, dipersatukan, satu perjuangan dan satu tumpah darah.
Jadi bersatunya kaum Muslim itu karena menaati Allah, karena berpegang pada tali Allah yaitu Islam, yaitu Kitabullah dan Sunnah, bukan karena ikatan-ikatan lemah selainnya. Ukhuwah ini ikatan yang bersumber dari aqidah, ikatan dunia akhirat.
Jadi memang betul, tidak perlulah mempertentangkan antara ukhuwah dan nasionalisme, karena ukhuwah itu adalah tuntutan aqidah, sementara nasionalisme munculnya bukan karena aqidah, karenanya yang bukan Muslim juga bisa.
Maka tersebab cinta Indonesia kita berdakwah dan berbagi tentang Islam. Maka sebab cinta Indonesia kita menyeru pada penegakan hukum Allah, karena inilah yang mengalir di dalam darah dan nadi para pejuang dan ulama pendahulu kita. Islam menjadi ruh perjuangan mereka dan kita, karena Allah mereka dan kita berjuang, dan kepada Allah mereka dan kita mohon pertolongan.
Hisa, Pelajar SMA HSG Khoiru Ummah.
(azmuttaqin/arrahmah.com)