Oleh: Mustarom
(Arrahmah.com) –Terorisme sering identik dengan kejahatan negara, yang hampir selalu jauh lebih merusak daripada kekerasan yang ingin mereka lawan. Kontraterorisme juga seringkali kontraproduktif dengan tujuan yang dinyatakannya, karena ia justru mendorong kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang mereka labeli dengan terorisme. Negara, melalui militer, polisi, intelijen dan aparat keamanannya memiliki kapasitas yang sangat besar untuk memaksa dan menimbulkan kekerasan. Tidak mengherankan jika kemudian kejahatan negara yang menyamar dalam topeng kontraterorisme bertanggung jawab atas penderitaan manusia pada skala yang lebih besar dari kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang berlabel terorisme.
Salah satu fitur utama dalam Perang Melawan Teror adalah menolak nilai-nilai dan sistem hukum yang berlaku. Untuk itu, mereka mengklaim bahwa hal tersebut diperlukan untuk melawan ancaman terorisme. Mentalitas ini tidak hanya berhenti di pemerintah AS dalam perang mereka melawan Al-Qaidah, tapi juga diperluas sampai hampir seluruh negara di dunia ini yang mengadopsi kebijakan-kebijakan yang menggerus sebagian besar hak-hak dasar manusia atas nama Perang Melawan Teror.
Skenario andalan yang sering dipakai dalam perang ini adalah “thicking time bom scenario”. Masyarakat ditakut-takuti akan adanya potensi ancaman yang membahayakan mereka, dan pada akhirnya “dipaksa” untuk menoleransi beberapa pelanggaran negara demi mengatasi ancaman tersebut. Serangkaian kebijakan tersebut secara perlahan melegitimasi perang, penahanan, pengawasan, pembunuhan di luar pengadilan, profiling, pengadilan rahasia, dan penahanan tanpa pengadilan. Negara berargumen bahwa dalam menghadapi ancaman luar biasa dari terorisme, perlu untuk melanggar hak asasi manusia, dan terkadang, perlu juga untuk melakukan aksi militer preemptive.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa kontraterorisme seringkali melakukan kekerasan yang jauh lebih berbahaya daripada kekerasan yang ingin mereka atasi. Negara memiliki kekuatan yang sangat besar untuk menjelekkan musuh mereka sebagai teroris, terlepas dari fakta-fakta yang ada. Kemampuan negara untuk melabeli musuh mereka sebagai teroris membuat kontraterorisme sebagai cara yang dianggap tepat guna untuk menargetkan lawan dan kelompok politik yang dianggap sebagai ancaman. Melabeli negara lain sebagai teroris, atau sebagai pendukung teroris, dapat memberikan dasar yang kredibel untuk melakukan invasi militer dan pendudukan. Amerika juga selalu menegaskan bahwa kontraterorisme merupakan pertahanan yang diperlukan untuk melawan kekerasan dari pihak lain.
Dalam Perang Melawan Teror, AS telah melakukan pembunuhan terhadap 4 juta jiwa, ternasuk 2 juta warga Irak yang meninggal karena sanksi ekonomi yang diberikan oleh AS ke negara tersebut. Sebagian besar korban dari perang tersebut, secara statistik, adalah umat Islam—jauh bertolakbelakang dengan pandangan umum bahwa kelompok radikal Islam adalah kelompok paling mematikan di Timur Tengah. Sebaliknya, fakta tersebut justru menunjukkan bahwa AS adalah pembunuh paling buruk, dan korban tewas yang dihasilkannya menyerupai dengan genosida agama.
Pada tahun 2009, Stephen M. Walt, seorang profesor hubungan internasional di Harvard University, menulis:
“Berapa banyak orang Islam yang dibunuh oleh AS dalam tiga puluh terakhir, dan berapa banyak warga AS yang dibunuh oleh orang Islam? Mendapatkan jumlah yang tepat atas pertanyaan ini mungkin bisa dikatakan tidak mungkin, tapi juga tidak perlu, karena dalam hitungan kasar pun, jumlahnya jelas-jelas sangat timpang.”
Atau sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Affleck, “Kita jauh lebih banyak membunuh orang Islam dibanding mereka membunuh kita.”
Menurut media mainstream, dunia berkabung atas kematian 3.000 orang dalam serangan WTC. Namun, hanya sedikit yang ingat atas 4 juta warga sipil tak berdosa yang dibunuh oleh AS dan sekutunya dalam kampanye Perang Global Melawan Teror.
Dari segala bentuk pembunuhan, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding apa yang dilakukan oleh sebuah negara. Dan dari semua korban pembunuhan, mereka yang dibunuh oleh negara adalah yang paling rapuh dan tak berdaya, karena entitas yang mereka percayakan kehidupan dan keamanan mereka atasnya, justru menjadi pembunuh mereka. Saat negara membunuh, kejahatan mereka direncanakan oleh orang-orang kuat. Mereka menggunakan rasionalitas yang dingin dan efisiensi administratif yang sama dengan saat mereka mengambil keputusan untuk melakukan kampanye pemberangusan hama pertanian yang menjengkelkan.
Pembunuhan kini menjadi cara perang Amerika sehari-hari, dan penyiksaan menjadi alat negara. Beberapa skandal penyiksaan di masa depan bisa jadi akan kembali muncul dari penjara suram AS, menambah daftar panjang kekejaman, dari “Tiger Cages” Vietnam Selatan hingga “Salt Pit” di Afghanistan dan “The Hole” di Somalia. Saat itu, dunia mungkin tidak lagi menjadi pemaaf. Dengan gambar-gambar dari penjara Abu Ghraib masih terukir dalam memori manusia, kerusakan otoritas moral Amerika sebagai pemimpin dunia akan semakin dalam dan abadi.
Executive Summary Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 11/Agustus 2016
(*/arrahmah.com)