JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengacara sekaligus pegiat HAM Todung Mulya Lubis menilai Presiden Joko Widodo bisa meniru langkah yang diambil oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang mengumumkan nama-nama pejabat negara terlibat dalam bisnis narkoba.
“Presiden bisa melakukan hal yang sama asal sesuai dengan koridor hukum yang berlaku,” ujar Todung di Jakarta, Senin (8/8/2016), lansir Harianterbit
Dia menilai, langkah itu bisa diambil sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan permasalahan penyalahgunaan narkoba yang memang sudah dinilai darurat oleh Presiden Jokowi.
Terkait dan senada, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH Hasyim Muzadi berpendapat, ketegasan Pemerintah Filipina dan kekompakan rakyatnya belakangan ini dalam menumpas bandar dan pengedar narkoba dapat menjadi contoh dalam pemberantasan narkoba di Indonesia.
“Ketegasan presiden baru Filipina, Rodrigo Duterte yang memimpin pemberantasan narkoba, menghukum mati ratusan bandar dan pengedarnya serta membersihkan aparat yang terlibat bisnis narkoba perlu menjadi contoh bagi Indonesia,” katanya kepada pers di Jakarta, Kamis (11/8), lansir Antara.
KH Hasyim mengapresiasi ketegasan Presiden Filipina serta kekompakan rakyatnya itu dalam membela keselamatan negara dari bahaya narkoba, terlebih Filipina tidak menuruti gerakan negara-negara lain yang sering berdalih dengan isu hak asasi manusia (HAM).
Sebelumnya Filipina seperti dikuasai bandar dan pengedar narkoba, sehingga kemampuan negara itu menjadi lemah karena terjadi kerusakan moralitas, ekonomi, dan politik di negara tersebut.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok Jawa Barat ini lebih lanjut mengharapkan pemberantasan narkoba di Indonesia dapat menjadi gerakan nasional.
“Memberikan informasi kepada masyarakat terkait bahaya narkoba sangatlah perlu, dan itu baru dapat terjadi jika ada trust antara masyarakat dan penyelenggara negara. Kita wajib membuat masyarakat mendapatkan informasi yang benar terhadap segala sesuatu yang membahayakan negara,” katanya.
Menurut KH Hasyim, eksekusi hukuman mati terhadap bandar-bandar narkoba termasuk Freddy Budiman baru-baru ini ternyata masih menyisakan polemik tentang hukuman mati dan pemberantasan narkoba di Indonesia.
Polemik itu berawal dari tulisan Haris Azhar (Pimpinan Kontras) yang memberitakan bahwa Freddy telah menyuap beberapa petugas negara dengan nominal yang sangat besar. Berita itu mengalami kesulitan dalam pembuktian legal formal karena sumber beritanya telah dieksekusi mati.
Mengingat pihak TNI, POLRI, dan BNN melakukan reaksi, maka pihak KontraS segera melakukan pencarian fakta dari banyak kelompok yang lain guna mendukung opini bahwa berita dari Freddy bukan isapan jempol.
Tidak tanggung-tanggung, gerakan KontraS itu didukung oleh ratusan pengacara yang dapat diperhitungkan dengan tujuan melakukan advokasi dalam jalur legal formal.
Kiai juga menegaskan, sesungguhnya rakyat sudah tahu gerakan narkoba telah menyeret berbagai aparat negara di Indonesia. Tapi tentu merupakan kesalahan oknum dan bukan sikap institusi aparat negara tersebut, karena terseretnya oknum aparat itu telah dimuat di media secara jelas.
“Masalahnya sekarang, sehubungan dengan pemberantasan narkoba, kita harus menetapkan posisi dimana dan mau ke mana. Benar ungkapan bahwa di kalangan aparat sendiri harus ada introspeksi dan pembersihan ke dalam terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam jaringan peredaran narkoba di Indonesia,” tuturnya.
Namun menurut KH Hasyim, sisi yang berbahaya adalah bahwa serangan terhadap aparat itu bukan diniati untuk memperkuat pemberantasan narkoba, melainkan sekedar melemahkan moralitas aparat dalam pemberantasan narkoba serta dapat mengakibatkan menurunnya kewaspadaan masyarakat dalam pemberantasan narkoba.
(azm/arrahmah.com)