(Arrahmah.com) – Negara-negara ASEAN, dipimpin Indonesia, fokus membahas fenomena Foreign Terrorist Fighter (FTF) di Hotel Sofitel, Nusa Dua Bali, Kamis (11/8). FTF adalah fenomena terorisme lintas batas yang muncul seiring dengan keberadaan kelompok militan ISIS. Pertemuan itu dihadiri oleh negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina, serta negara-negara ASEAN lainnya. Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius dalam paparannya menyampaikan bahwa pengalaman Indonesia dalam menanggulangi terorisme sudah dimulai sejak Indonesia merdeka.
“Terorisme adalah kejahatan terhadap umat manusia sehingga upaya untuk menghentikan hal tersebut harus dilakukan secara seksama. Indonesia dari waktu ke waktu terus berusaha menghentikan fenomena ini,” kata Komjen Suhardi Alius didampingi Deputi Bidang Kerjasama Internasional Irjen Pol Petrus R. Golose dalam siaran persnya, Kamis (11/8) republika.co.id.
Di Indonesia isu ancaman ISIS menguat setelah terjadinya Bom Thamrin. Sebelumnya, media-media Barat menggunakan perang melawan apa yang mereka sebut sebagai teroris Al Qaida untuk memuluskan penjajahan mereka di dunia Islam. Saat ini mereka menggunakan perang melawan ISIS sebagai alat legitimasi. Aksi-aksi terorisme akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan ISIS dengan pemberitaan yang berulang yang sepihak oleh media kapitalis. ISIS menjadi legitimasi baru negara-negara imperialis untuk mengokohkan penjajahannya terhadap dunia Islam.
Mulai dari serangan di Paris, penembakan yang dilakukan di Amerika, semuanya dikaitkan dengan ISIS. Tanpa perlu pembuktian secara mendalam sejauh mana hubungan antar pelaku dengan ISIS. Opini dibangun dengan cukup mengatakan : pelaku simpati kepada ISIS, pelaku pernah ke Suriah, pelaku anti Barat, anti Yahudi. Untuk menambah ‘dosis’ ancaman, ISIS pun diklaim memiliki jaringan seluruh dunia. Semua itu, sering kali berupa narasi tunggal satu arah. Termasuk strategi labelling theory terus digunakan dengan penggunaan istilah-istilah ‘Islam radikal’, ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam moderat’, dst.
Tampaknya delegasi dari negara-negara ASEAN yang hadir perlu membaca pidato anti-perang Kopral Angkatan Darat AS di Irak Michael Prysner pada tahun 2008 di Winter Soldier, Maryland yang diterbitkan Oriental Review kembali fragmen ‘Teroris Sesungguhnya Adalah Saya’, Terorisme yang Sesungguhnya Adalah Pendudukan.
Para tentara, pelaut, marinir, penerbang, tidak mendapat keuntungan dari pendudukan ini.Sebagian besar orang yang tinggal di AS tidak mendapat keuntungan dari pendudukan ini. Bahkan, bukan hanya tidak memperoleh keuntungan, tapi kita juga menjadi lebih menderita karena hal ini. Kita kehilangan anggota badan, bertahan hidup dengan menderita trauma, dan memberikan nyawa kita. Keluarga kita harus menyaksikan peti-peti mati yang terbungkus bendera Amerika yang diturunkan ke dalam tanah.
Jutaan orang di negara ini hidup tanpa perawatan kesehatan, pekerjaan, atau akses untuk mendapatkan pendidikan, dan telah menyaksikan bahwa pemerintah ini telah menghambur-hamburkan lebih dari EMPAT RATUS LIMA PULUH JUTA DOLAR SEHARI UNTUK PENDUDUKAN INI. [IRAK]
Amerika Serikat dalam mempertahankan dominasinya menggunakan strategi baku sebagai berikut:
- Hard Power (kekuatan fisik) dengan cara menduduki sebuah negeri Islam.
- Soft Power (kekuatan lunak) dengan melakukan pertarungan pemikiran. Wujudnya ialah gencarnya meracuni pemikiran umat dengan kampanye sekularisme, demokrasi, kapitalisme, nasionalisme, dst.
- Law Power (kekuatan hukum). AS melalui boneka ataupun kader binaannya di berbagai negara berupaya mendorong lahirnya sebuah UU yang membatasi gerak sebuah kelompok Islam.
Dalam perang Irak misalnya, ratusan ribu warga sipil tewas dalam perang yang dilakukan demi kepentingan nasional Barat. Pemerintah kapitalis Barat terus memasok senjata kepada para diktator brutal yang mempekerjakan mereka untuk melawan rakyatnya, atau memasok senjata di zona perang yang memicu konflik—semuanya demi keuntungan politik atau ekonomi. Dan rezim kapitalis seperti itu tidak segan-segan melepaskan senjata kimia mematikan kepada penduduk sipil di wilayah musuh jika hal itu dianggap bermanfaat bagi tujuan politik atau militer mereka.
Rejim AS dan kapitalis Barat lainnya mengangkat dirinya sendiri sebagai polisi dunia, yang terlibat dalam Perang Teror Global yang juga telah menewaskan ribuan warga sipil tidak bersalah—atas nama (menurut mereka) untuk mencegah pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil oleh berbagai organisasi dan individu—yang sebenarnya hanyalah orang-orang amatir dalam penggunaan taktik perang. Tentu yang mereka lakukan kalah mengerikan dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara Barat.
Pembenaran atas kejahatan keji AS didasarkan pada doktrin merusak bahwa “tujuan menghalalkan segala cara” dan bahwa “sesuatu bisa berjalan selama manfaat material layak didapatkan”. Doktrin-doktrin tersebut didukung oleh sistem kapitalis yang menjadi landasan negara Amerika. Dan itu sebabnya, mengapa taktik AS dengan menyerang warga sipil untuk mendapatkan keuntungan politik terus dilakukan dalam perang di Korea dan Vietnam hingga zaman modern. Sehingga di sini akal waras kita mampu menyatakan dengan lantang, jawaban atas pertanyaan siapa teroris sebenarnya?
Umar Syarifudin – syabab HTI (pengamat politik Internasional)
(*/arrahmah.com)