(Arrahmah.com) – Direktur Pengelola dan COO Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia memiliki peluang besar untuk berperan aktif menciptakan kemajuan perekonomian negara dalam globalisasi. “Indonesia harus menjadi bagian dari globalisasi,” kata Sri di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (26/7).
Di dalam kitab Al-Hamlah Al-Amirikiyah li Al-Qadha’ ‘Ala Al-Islam (Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam) Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa Pasar Bebas adalah satu dari empat konsep yang dijajakan Amerika untuk menyerang Islam, selain demokrasi, pluralisme dan HAM. Sedangkan dalam kitab Mafahim Khathirah li Dharb Al-Islam wa Tarkiz Al-Hadharah Al-Gharbiyah (Persepsi-Persepsi Berbahaya Untuk Menghantam Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat), globalisasi dengan pasar bebas sebagai alatnya disebut sebagai konsep berbahaya yang digunakan Barat untuk menyerang Islam dan umat Islam.
Globalisasi hanyalah satu bentuk dari sekian bentuk penjajahan (imperialisme, isti’mar) yang dilancarkan oleh negara-negara kafir penjajah atas dunia. Padahal penjajahan dalam segala bentuknya harus dihapuskan dari muka bumi, baik di bidang militer, budaya, politik, ekonomi, maupun di bidang lainnya (seperti kesehatan dan energi).
Globalisasi merupakan proses kapitalisasi yang didukung perangkat internet dan teknologi telekomunikasi sebagai penunjang perdagangan bebas tanpa batas, yang membawa dunia ke dalam sistem ekonomi yang sama; ekonomi kapitalisme. Melemahnya negara bangsa, dan menguatnya organisasi-organisasi internasional dan korporasi-korporasi transnasional menunjukkan bahwa sebuah sistem perekonomian kapitalisme yang terintegrasi telah menguasai dunia dengan aktor penentu hanya segelintir orang saja.
Globalisasi adalah sebuah versi mutakhir sistem dominasi ekonomi dunia yang mengintegrasikan sistem kapitalisme dan liberalisme yang tidak ingin terikat oleh peraturan negara manapun. Yakni mewujudkan sebuah sistem pasar bebas yang menembus batas-batas negara, yang bertujuan mengakhiri kedaulatan negara-bangsa. Gejala tersebut bisa dilihat secara kasat mata dengan meningkatnya dominasi kelompok lintas negara seperti G-7, EU, NATO, OPEC, ASEAN, APEC, NAFTA, WTO, IMF, World Bank, dan lain sebagainya.
Bagi negara-negara Dunia Ketiga, globalisasi tiada lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang kejam dan tak kenal ampun. Jerry Mander, Debi Barker, dan David Korten tanpa ragu menegaskan,”Kebijakan globalisasi ekonomi, sebagaimana dijalankan oleh Bank Dunia, IMF, dan WTO, sesungguhnya jauh lebih banyak menciptakan kemiskinan ketimbang memberikan jalan keluar.” (The International Forum on Globalization, 2004:8).
Masuknya Indonesia sebagai anggota G-20, sebenarnya adalah kata halus dari menjebloskan Indonesia ke dalam “penjara” dengan Keamanan Tingkat Tinggi (Maximum Security). Sistem keamanan utama global tersebut adalah WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on Trade and Tariff), yang ditopang oleh sistem keamanan kawasan atau regional yang disebut FTA (Free Trade Agreement) dengan berbagai variannya. Melalui FTA, setiap negara yang terikat dengannya dipaksa meliberalisasi pasarnya agar terbuka lebar untuk dimasuki barang dan jasa, terutama sektor keuangan. Indonesia sendiri sudah terikat dengan AFTA tahun 2002, China-ASEAN-AFTA tahun 2004, dan Indonesia-Jepang EPA tahun 2007.
Indonesia yang kini mengikuti pasar bebas ASEAN (MEA) hanyalah menghasilkan kerugian bagi bangsa ini. Indonesia akan menjadi negara besar yang kehilangan pasar, karena dimanfaatkan negara-negara lain. Ingatlah sudah ratusan ribu keluarga Indonesia merasakan dampak buruk perdagangan bebas setelah ribuan industri dalam negeri gulung tikar dan mem-PHK-kan para pekerjanya. Kondisi ini semestinya menjadi penegas bahwa pasar bebas tidak akan mengatasi kemiskinan tapi malah menghancurkan ekonomi keluarga dan bangsa.
Globalisasi adalah penghasil kemiskinan, karena globalisasi adalah neo imperialisme yang dilaksanakan negara-negara kapitalis untuk menghisap dan mengeksploitasi dunia. Itulah yang ingin kami tegaskan. Untuk itu, akan dijelaskan secara ringkas definisi globalisasi dan bukti globalisasi menjadi penghasil kemiskinan.
Untuk itu, perlawanan terhadap globalisasi hendaknya memenuhi paling tidak 3 (tiga) kriteria berikut : Pertama, hendaknya ada kritik yang memadai terhadap globalisasi. Kedua, hendaknya ada solusi alternatif yang memadai, yaitu suatu kondisi ideal yang diharapkan. Ketiga, hendaknya ada peta jalan (road map) yang jelas, berupa strategi yang dapat ditempuh untuk mengubah kondisi yang ada menuju kondisi ideal.
Walhasil, Kapitalisme memiliki masalah sistemik dengan kemiskinan. Kapitalisme, diutak-atik bagaimanapun, tidak akan dapat memecahkan masalah sistemiknya. Untuk menghentikan tren meluasnya kemiskinan rakyat Eropa dan dunia umumnya, kita membutuhkan sistem baru, yang merupakan alternatif dari Kapitalisme, yaitu sistem yang dibangun di atas fondasi yang berbeda dari Kapitalisme.
Hendaknya semua komponen umat menyadari dan bersungguh-sungguh berjuang untuk menuntaskan problem kemiskinan dengan menghapus sistem kapitalisme yang menjadi sumber masalah dan menggantinya dengan sistem islam dan khilafah islamiyah yang mampu mewujudkan kesejahteraan, kemajuan dan pemberdayaan yang hakiki.
Umar Syarifudin – Syabab HTI (Pengamat Politik Internasional)
(*/arrahmah.com)