(Arrahmah.com) – “AS dan sekutunya yang berdalih melindungi HAM, hingga kini sedang menunggu-nunggu kesempatan melakukan operasi militer di Indonesia atas nama humanitarian intervention. Bukan tidak mungkin tentara dari negeri Cina (mencuri kesempatan di tikungan) juga datang dengan alasan ingin melindungi warga negaranya yang bekerja di Indonesia.” Umar Syarifudin – Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri
Diawali pasca perang dunia ke-2, Amerika mengalami krisis ekonomi yang benar-benar buruk, terjadi inflasi besar dan angka pengangguran tinggi. Hal inilah yang mendorong Amerika untuk memutar otak mencari solusi untuk mengatasi masalah ini. Dan munculah ide untuk mencari emas, karena emas adalah logam mulia yang paling disuka dan dicari banyak orang, harganya pun relatif stabil dari waktu ke waktu. Jadilah Amerika mengirim seluruh ahli geologinya keseluruh penjuru dunia untuk mencari emas, tak terkecuali ke Indonesia.
Pada tahun 1960, Forbes Wilson (direktur Freeport saat itu) adalah orang yang melakukan ekspedisi ke Irian Barat (Papua) dan menemukan harta karun melimpah di ketinggian pegunungan Jayawijaya dan sekitarnya. Ekspedisi ini kemudian ditulisnya dalam buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson sendiri terkejut dengan temuannya itu , karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut juga menyimpan bijih emas dan perak.
Bagaimana dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan referendum satu orang satu suara? Tidak menutup kemungkinan hal ini dijadikan alat untuk lebih menancapkan hegemoni Amerika dalam menguasai harta karun papua. Karena dengan terbebasnya Papua dari Indonesia berarti semakin mudah untuk mengontrol peta hasil tambang di Papua. Amerika memang sukses menjadi sales demokrasi terbaik, sehingga hampir seluruh negara-negara di dunia ini memakai demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Namun, kita pantas belajar dari Afganistan, Irak dan yang terakhir Sudan. Amerika memang berhasil membentuk 3 negara baru, namun Amerika tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah disana, 3 negara tersebut justru semakin terjerumus pada problem horisontal yang berkepanjangan, indahnya hidup dalam sistem demokrasi menjadi sekedar ilusi dan mimpi.
Papua merupakan bagian integral Indonesia Merdeka sejak rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Sampai saat ini, kelompok separatis yang aktif menyuarakan kemerdekaan bagi Papua tidak lain adalah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) karena dua kelompok tersebut mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai anggota tetap Melanesian Spearhead Groups (MSG).
Menurut dua kelompok tersebut, United Liberalition Movement for West Papua (ULMWP) merupakan wadah representative Rakyat Papua yang terbentuk atas penyatuan faksi yang berjuang untuk kemerdekaan Papua yang dilakukan pada tanggal 1-4 Desember 2014, dengan tujuan menegakkan kedaulatan West Papua demi kembali kepada keluarga besar Melanesia dalam forum Melanesian Spearhead Group (MSG). Selain itu, kelompok pro kemerdekaan Papua ini selalu mempertanyakan kehadiran pemerintah Indonesia di MSG, karena blok regional itu diklaim didirikan untuk kepentingan negara-negara Melanesia dan orang-orang Melanesia yang memperjuangkan kemerdekaan dari wilayah jajahan.
Untuk memberi gambaran nyata betapa AS dan sekutu-sekutunya dari blok barat bermaksud menggunakan isu demokratisasi dan hak-hak asasi manusia sebagai alat untuk menekan sebuah negara yang dipandangnya berpotensi menentang skema global AS untuk konteks saat ini, kiranya Indonesia, khususnya kasus maraknya kelompok-kelompok separatisme di Papua, bisa menjadi sebuah ilustrasi yang cukup tepat, bahwa AS dan beberapa negara blok barat mendukung secara tidak langsung manuver beberapa elemen-elemen pro Papua Merdeka untuk membawa isu Papua ke forum internasional. Meng-internasionalisasikan isu kemerdekaan Papua dan Hak Masyarakat Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri.
Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia sempat dikejutkan dengan manuver oleh yang menamakan dirinya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kelompok ini berkeinginan untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) yang pada waktu akan dibahas di London pada tanggal 3 Mei 2016. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa organisasi sipil di Papua kemudian menggalang dan memobilisasi massa untuk melakukan desakan politik agar ULMWP menjadi anggota tetap MSG.
Kalau menelisik langkah ini, jelaslah sudah bahwa gerakan meng-internasionalisasikan isu Papua, memang masih cukup gencar dilalukan oleh beberapa elemen-elemen pro Papua Merdeka di dalam maupun di luar negeri. Hal itu semakin diperkuat dengan perkembangan terkini, ketika Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, desakan agar ULMWP menjadi anggota penuh MSG merupakan keinginan murni rakyat West Papua yang menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia, dan seluruh masyarakat Papua yang tergabung dalam KNPB tidak takut jika ditangkap oleh aparat. Coba cermati baik-baik frase yang digunakan KNPB, “Menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia.” Mengerikan bukan?
Beberapa organisasi antara lain Parlemen Nasional West Papua (PNWP) melalui ketuanya Buchtar Tabuni sudah gencar melakukan propaganda terutama melalui media sosial. Isi propaganda Buchtar Tabuni antara lain KTT Pemimpin negara MSG tanggal 14 Juli 2016 mendatang di Honiara nanti memiliki nilai strategis dan bermanfaat menegakkan wibawa dan harga diri bangsa Papua.
Isu kemerdekaan yang terus disebarluaskan oleh kelompok KNPB maupun AMP tidak hanya memicu penolakan atas pergerakan mereka tetapi juga telah memberikan pandangan negatif oleh masyarakat atas kelompok tersebut, sehingga dimungkinkan akan berdampak terhadap tindakan spontanitas yang cukup memojokkan kedua kelompok ini.
Mulusnya upaya pemisahan Papua tidak bisa dilepaskan dari kegagalan Pemerintah rezim liberal untuk mensejahterakan rakyat Papua. Meskipun Papua memiliki kekayaan alam yang luar biasa, rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Pangkalnya adalah peerapan demokrasi-kapitalisme. Sistem demokrasi telah memuluskan berbagai UU liberal yang mengesahkan perusahaan asing seperti Freeport untuk merampok kekayaan alam Papua.
Penting untuk disadari oleh semua pihak, khususnya rakyat Papua, pemisahan Papua dari Indonesia bukanlah solusi bagi persoalan rakyat Papua. Meminta bantuan negara-negara imperialis untuk memisahkan diri merupakan bunuh diri politik. Memisahkan diri akan memperlemah Papua. Negara-negara imperialis yang rakus justru akan lebih leluasa memangsa kekayaan alam dan sumberdaya negeri Papua. Pemisahan Papua hanyalah untuk kepentingan segelintir elit politik yang bekerjasama dengan negara-negara asing imperialis.
Endah Sulistiowati, S. Pd. – MHTI Kediri (pengamat politik)
(*/arrahmah.com)