DEN HAAG (Arrahmah.com) – Pengadilan internasional di Den Haag memutuskan mendukung Filipina dalam sengketa maritim pada Selasa (12/7/2016) dan menyimpulkan bahwa Cina tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim hak historis untuk sebagian besar Laut Cina Selatan.
Tidak ada dasar hukum bagi Cina untuk menuntut hak-hak bersejarah untuk sumber daya dalam wilayah laut yang termasuk dalam ‘sembilan garis putus-putus’,” kata Mahkamah Arbitrase dalam putusannya hari Selasa, (12/07) mengacu pada garis demarkasi peta laut dari tahun 1947, sebagaimana dilansir DW.
Dalam berkas putusan sepanjang 497 halaman itu, para hakim antara lain menyatakan bahwa patroli angkatan laut dan penjaga pantai Cina berisiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas laut. Pekerjaan konstruksi di kawasan itu juga berpotensi merusak terumbu karang.
Presiden China Xi Jinping menolak putusan Mahkamah Arbitrase Den Haag, yang mana hal itu kemungkinan besar akan memiliki implikasi abadi atas kawasan Laut Cina Selatan yang kaya sumber daya itu.
“Cina tidak akan pernah menerima klaim atau tindakan apapun berdasarkan pada keputusan tersebut,” kata Xi. Cina telah memboikot proses persidangan, sebagaimana dilansir CNN.
Duta Besar Cina untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, menuding pengadilan tersebut tidak kompeten dan integritasnya diragukan.
Berbicara di Pusat Studi Strategis dan Studi Internasional di Washington, Tiankai menuding Amerika Serikat terlibat dalam latihan militer yang merupakan “pemaksaan militer.”
Juru bicara Departemen Luar Negeri John Kirby menegaskan bahwa Amerika Serikat, dan dunia, berharap Cina berkomitmen untuk non-militerisasi.
“Dunia ini akan melihat apakah Cina benar-benar kekuatan global seperti yang diakuinya, dan kekuatan yang bertanggung jawab seperti yang diakuinya,” kata Kirby.
Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Rivas Yasay Jr.menyerukan pada semua pihak untuk menahan diri dan menjaga “ketenangan” di Laut Cina Selatan, setelah Mahkamah Arbitrase menerima gugatan yang diajukan oleh Filipina terhadap laim Cina atas kawasan Laut Cina Selatan.
“Para ahli kami sedang mempelajari putusan ini dengan hati-hati dan secara menyeluruh selayaknya sebuah hasil arbitrase,” kata Perfecto Yasay Jr. dalam sebuah konferensi pers.
“Kami menyerukan kepada semua pihak yang bersangkutan untuk menahan diri dan tenang. Filipina dengan sangat tegas memberi penghormatan terhadap keputusan bersejarah ini.”
Kawasan Laut Cina Selatan yang kaya sumber daya itu sejak lama menjadi sengketa antara Cina dan beberapa negara di Asia Timur dan Tenggara. Terutama setelah Cina mengklaim hak ekonominya atas sebagian besar wilayah laut itu, termasuk pulau-pulau buatan yang dibangun di atas terumbu karang, dengan memperkenalkan wilayah yang kemudian dikenal sebagai “sembilan garis putus-putus” (nine-dash line).
Sengketa antara Filipina dan Cina sudah berlangsung bertahun-tahun, tanpa penyelesaian diplomatik. Tahun 2013, Filipina membawa sengketa itu ke Mahkamah Arbitrase di Den Haag, sekalipun Cina mengancam bahwa tindakan itu bisa membawa konsekuensi diplomasi dan dagang terhadap Filipina.
(ameera/arrahmah.com)