JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib berharap, pemerintah bisa lebih tegas dalam melakukan pendekatan dengan kelompok teror yang diduga kuat dilakukan kelompok Abu Sayyaf. Pemerintah pun diharapkan bisa terus melakukan pendekatan kepada pemerintah Filipina agar memberikan izin kepada TNI untuk masuk dan membebaskan WNI yang disandera.
”Sudah cukup soft diplomacy. Kelompok Abu Sayyaf mengingkari perjanjian, saatnya diplomasi senjata,” ujar Ridlwan dikutip dari Republika.co.id, Selasa (12/7/2016).
Dalam empat bulan terakhir, setidaknya sudah empat kali warga Indonesia (WNI) diculik dan disandera oleh kelompok teror, yang diduga kuat dilakukan kelompok Abu Sayyaf. Terakhir, tiga WNI asal Flores Timur diculik dan disandera saat sedang berlayar di sekitar perairan Lahad Datu, Malaysia, Sabtu (9/7) waktu setempat.
Upaya agar TNI bisa masuk ke wilayah Filipina dan melakukan operasi pembebasan sandera, ujar Ridlwan, dapat saja disambut baik oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Terlebih, selama ini sikap Duterte cukup keras terhadap kelompok-kelompok bersenjata dan organisasi kriminal.
Ridlwan pun menyebut, kejadian penculikan dan penyanderaan WNI yang sudah terjadi berulang kali ini sudah tidak bisa ditoleransi. ”Ini sudah dalam batas tidak bisa ditoleransi. Sudah saatnya operasi militer,” kata Ridlwan, yang juga menjabat sebagai Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute tersebut.
Menurut Ridlwan, jika menilik lokasi penculikan yang berada di sekitar perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia, memang banyak warga Sulu dari Filipina Selatan bermukim di wilayah tersebut.
Alhasil, jika ingin menculik WNI, kelompok Abu Sayyaf dapat dengan mudah melakukan aksinya di sana. ”Wilayah Lahad Datu itu masuk Sabah. Namun, berbatasan dengan kawasan Sulu, Filipina. Banyak warga Sulu yang bermukim di sana,” katanya.
(azm/arrahmah.com)