Oleh : Ririn Umi Hanif
(Arrahmah.com) – Nilai Kemanusiaan adalah isu yang selalu hangat untuk dimunculkan dipermukaan. Setiap kasus yang dilatarbelakangi oleh isu ini, pasti akan segera mendapat respon luar biasa, terlebih di jaman digital seperti saat ini. Kondisi ini diperparah dengan budaya masyarakat kita yang cepat mengambil kesimpulan tanpa berusaha mendalami fakta terlebih dahulu. Situasi semacam ini merupakan keuntungan bagi pihak – pihak tertentu (khususnya pemilik media mainstream) untuk membuat opini tertentu sesuai keinginannya ataupun pesanan.
Di pembuka Ramadhan kemarin, emosi kita juga telah dikuras oleh media dengan dagangan isu kemanusiaannya. Kasus ibu Saeni, pedagang warteg di Serang telah di razia satpol PP. Sebelum berbagai macam berita klarifikasi dibuat oleh beberapa elemen umat islam, drama yang ditampilkan adalah gambaran kedholiman penguasa yang membawa nama islam untuk semena–mena terhadap rakyat kecil. Hati siapa yang tidak tersentuh oleh film berdurasi 5 menit 39 detik yang banyak dishare oleh pengguna media sosial ini? Film singkat ini telah sukses mengacak – acak rasa persaudaraan kita, kesakralan bulan Ramadhan kita, dan tentu juga standar nilai kemanusiaan kita. Sehingga kembali lagi, di bulan mulia ini, dengan sedih kita melihat islam menjadi bulan–bulanan media arus utama sebagai pesakitan yang selalu membawa kesengsaraan.
Inilah gambaran nyata alam demokrasi. Standar ganda, tidak jelas dan kabur selalu membuat masyarakat sulit menentukan nilai terbaik untuk hidupnya. Dalam hal nilai kemanuaiaan saja, akan terlihat betapa nilainya sangat relatif. Tergantung media arus utama, penguasa atau pengusaha mau mengarahkan kemana. Betapa tidak, penggusuran seorang pedagang warung Tegal menjadi isu serius, padahal penggusuran ratusan rumah, warung, dan tempat usaha di dekat kampung tua Islam di Jakarta juga di sekitar Pasar Tanah Abang belumlama ini, tidak dihiraukan bahkan dipuji habis-habisan.
Mencermati kasus ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita renungkan bersama. Bahwa, ketika kita berada dalam sistem demokrasi, terlalu sulit untuk menentukan baik dan buruk. Karena nilai kebaikan dan keburukan sangat tergantung dari arah opini yang dibangun. Standarnya bukan lagi dalil syara’, tetapi apa yang “kata orang banyak” sebagai kebaikan atau keburukan. Sehingga kita akan mendapati, ada pihak – pihak dirugikan dan ditindas atas kebohongan publik yang diopinikan sebagai kebenaran. Satu kondisi ini saja seharusnya bisa menjadi bahan renungan kita di bulan mulia ini, akankah kita bertahan di sistem demokrasi seperti ini? Keadilian dan kesejahteraan seperti apa yang bisa dijanjikannya untuk kita? Belum saatnyakah kita melirik Islam, yang standar baik dan buruk telah jelas di dalam Al Qur’an dan hadist Rosulullah?
Selain standar ganda akan nilai, kasus bu Saeni juga mengajarkan kita, terlebih bagi aparatur negara, bahwa setiap individu warga negara harusnya mendapat kedudukan sama di mata hukum dan pemerintahan. Masyarakat dengan budaya gegabah menyimpulkan, tidak bisa disalahkan seratus persen dalam arus opini ini. Satpol PP dan atau satuan tugas yang lain, selama ini selalu menampakan kekerasan dan kekurang santunannya terhadap rakyat lemah. Namun, akan berbeda sikap terhadap para penguasa atau pengusaha yang melakukan tindak pelanggaran hukum yang sama. Kasus penertiban warung makan, menjadi berbeda dengan penertiban restoran berbintang. Ini menegaskan juga kepada kita bahwa demokrasi selalu tajam kebawah dan tumpul ke atas. Standar ganda kembali diberlakukan untuk menegakkan hukumnya.
Selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya adalah sikap dan contoh pemerintah terhadap masyarakat akan makna puasa ramadhan. Puasa sebenarnya adalah puncak ibadah untuk mampu menahan segala hal yang dilarang Allah, pencipta kita. Dan kemudian mengiringinya dengan berbagai amal kebaikan yang Allah perintahakan. Artinya, puasa sebenarnya bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi seluruh hal yang dilarang Allah. Ketika pemerintah hanya membuat aturan terkait dengan makan minum di siang hari saja, sebenarnya telah memberikan pengajaran yang kurang pas kepada masyarakat. Terlebih aturan itu hanya satu arah, yakni kepada penjual makanan. Karena sebenarnya, jika pembelinya tidak ada, pasti para penjual makannan akan berpikir berualang kali untuk berjualan di siang hari. Artinya, penjual dan pembeli seharusnya menjadi pihak yang sama–sama diatur. Semestinya pemerintah tidak hanya merazia, tapi membangun suasana ruhiyah Ramadhan di semua kalangan, tidak hanya kepada penjual makanan tetapi masyarakat secara umum. Puasa juga tidak hanya diidentikan dengan tidak makan dan minum saja. Semestinya menahan semua kemaksiyatan termasuk riba, tidak menutup aurat, dan lain sebagainya. Insya Allah, ketika suasana ruhiyah Ramadhan mampu kita hadirkan kepada masyarakat, hasilnya adalah adalah masyarakat taqwa sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam KitabNya. Wallhu a’lam bis ash showab.
*Pemerhati Ibu dan anak, Gresik Jawa Timur.
(*/arrahmah.com)