GAZA (Arrahmah.com) – Semuanya berawal ketika ia bertanya kepadaku berapa umurku. Saya tahu itu adalah pertanyaan yang normal dan siapa saja bisa memberitahukan usianya dengan mudah, tapi itu adalah yang paling sulit bagiku. Saya terdiam sejenak dan terus berpikir tentang pertanyaan itu. Saya bertanya pada diri sendiri, “berapa umurku sebenarnya?” Berapa tahun saya berada di planet ini dan sudah berapa hari saya hidup? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang menghantuiku itu. Butuh waktu beberapa saat, dan membuatku merasa mati rasa. Kemudian, saya mengatakan kepada pria asing itu, “umurku tiga perang dan dua Intifada, Pak.”
Saya tahu dia tidak mengerti perkataanku. Perkataanku tidak akan membuat dia merasakan apa yang sebenarnya saya rasakan. “Ya, Pak, tiga perang dan dua Intifada. Saya lahir pada tahun 2000 yang melihat pecahnya Intifada Palestina Kedua. Ada banyak syuhada’. Begitu banyak orang meninggal. Kami bukan angka-angka. Jika Anda bertanya kepada saya Pak, saya akan memberitahu kepada Anda nama-nama mereka dan kapan mereka meninggal, karena lagi-lagi kami bukan angka-angka.”
Tiba-tiba, air mataku mengalir di pipi. Saya ingat semuanya. Saya ingat ketika saya masih kecil pada tahun 2008, sedang mengerjakan ujian akhir di sekolah, dan merasa gembira karena sebentar lagi akan mulai libur. Namun, kertas dan pensil saya jatuh ke tanah setelah terdengar sebuah ledakan. Tiba-tiba semuanya hilang dan saya tidak bisa melihat apa-apa kecuali puing-puing dan debu. Ketika saya sampai ke rumah, ibuku mengatakan kepadaku bahwa saya harus tidur. Dia tidak ingin saya melihat dunia yang menyedihkan ini; dia hanya ingin saya terus bermimpi.
Lalu saya bangun dan mengingat apa yang terjadi. Kenangan tragis hari itu masih sangat jelas di kepalaku: Keluargaku berlarian di jalan, mencoba menyelamatkan diri dari kematian yang menghujani kami dalam bentuk rudal. Orang-orang sekarat di depan mataku, anak-anak menangis dan darah memenuhi lantai. Hari itu adalah hari yang paling sulit dalam hidupku. Saya mulai menangis keras dan air mata tidak bisa berhenti mengalir di wajahku. Dan saya mengatakan kepada pria itu lagi, “umurku adalah tiga perang dan dua Intifada, Pak.”
*Oleh Yara Eid. Yara Eid adalah seorang pelajar SMA dari kamp pengungsi Albury di Gaza. Suratnya ini dimuat di situs The Palestinian Informaton Center.
(ameera/arrahmah.com)