Oleh : Abdus Salam*
(Arrahmah.com) – Langkah Mendagri membatalkan perda-perda syariah menuai kontroversi. Berita itu menjadi bahasan hangat publik melengkapi berita lain tentang pembelaan dan dukungan atas warung bu Saeni yang digusur Satpol PP karena jualan nasi di siang hari bulan Ramadhan 1437 H.Termasuk simpati dari Jokowi penuh dengan politisasi, karena di sisi lain membiarkan pembubaran ribuan PKL di berbagai tempat atas nama ketertiban. Alasan yang berkembang berkaitan dengan pembatalan perda tersebut karena dianggap menghambat investasi. Di tengah masifnya beragam investasi yang datang ke Indonesia melalui perdagangan bebas terutama dari China. Tidak kurang 3.143 perda diantaranya bermuatan syariah yang dibatalkan tanpa sosialisasi oleh Mendagri. Pembatalan tersebut melengkapi pembatalan perda mihol (minuman beralkohol) karena dianggap membatasi ruang gerak hak usaha minuman beralkohol yang disinyalir mendatangkan keuntungan besar dan membuka lapangan kerja luas. Rencana pembatalan perda islam di berbagai daerah itu dilakukan oleh Mendagrii representasi Presiden dengan kebijakan revolusi mental dan nawa citanya. Langkah itu dilakukan di antara berbagai fenomena politik yang terjadi antara lain :
1) Dicalonkannya Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri dengan segala track recordnya antara lain sebagai Kapolda Irian Jaya yang telah memenangkan pasangan Jokowi-JK terungkap dari bocornya kasus Papa Minta Saham yang berujung membawa Setyo Novanto (SN) sebagai Ketua Golkar. Belakangan SN lah yang mendukung Ahok sebagai DKI 1 kembali sebelum parpol lain jelas memberikan dukungan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Tito Karnavian adalah mantan Komandan Densus 88 yang selama ini memainkan peran penting dalam proyek war on terrorisme. Dan sebagai catatan pula bahwa Titolah yang banyak membantu Ahok dalam kapasitasnya sebagai Kapolda ibukota menjadikan ribuan buruh sebagai tersangka dengan aksi demonya. Meskipun akhirnya dilaporkan kepada Ombusman. Terakhir Tito akan menjadi sosok yang akan
membuka paradigma internal dan berpotensi menciptakan friksi internal Polri karena melompat para jendral seniornya dari angkatan 83, 84. 85 dan 86 seperti Budi Waseso dan Budi Gunawan, sosok yang dulu dikaitkan dengan tragedi KPK Versus Polri hingga membuahkan hasil masuknya BW (Budi Widjajanto) dan AS (Abraham Samad) ke dalam bui. Tito mendapatkan dukungan hampir semua parpol dalam pencalonannya sebagai Kapolri.
2) Rencana pengkoordinasian Kebangspol berbagai daerah menjadi badan. Hal ini berarti fungsi koordinasi dan instruksinya disentralisasi di pusat. Bukan lagi menjadi organ daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah melainkan langsung di bawah kendali Mendagri sesuai dengan amanah UU Ormas. Meski kelihatannya
rencana ini masih terkendala oleh ketersediaan dana dari pos APBN. Pengambil alihan fungsi terpusat ini sebagaimana direncanakan awal pada saat perumusan UU Ormas sebagai bentuk mengambil kendali tata kelola semua organisasi di luar negara. Termasuk ormas, agar bisa ditertibkan sesuai dengan arahan rejim status quo. Dan sadar atau tidak harus mendukung program yang diinginkan penguasa.
3) Diteruskannya agenda revisi UU Terorisme berpotensi memunculkan abuse of power Densus 88, organ terdepan dalam war on terrorisme, berlogo burung hantu yang dulu pernah dikomandani oleh Tito Karnavian. Di tengah terjadinya penangkapan terduga terorisme di Surabaya baru-baru ini menjelang suksesi pencalonan Kapolri, seolah-olah mengindikasikan bahwa calon Kapolri harus menguasai dan konsen pada persoalan penanganan terorisme. Meski sebenarnya revisi UU Terorisme itu substansinya sudah diatur oleh banyak produk aturan lain. Dan pilihan penanganan terorisme di Indonesia yang menggunakan kebijakan criminal justice system tetapi faktanya menggunakan war
system seperti layaknya AS di Iraq dan Afghanistan.
Tulisan ini tidak sedang membahas rencana pembatalan perda syariah dari konstruksi hukumnya. Melainkan mencoba memahami logika politik pemerintah dalam konteks kebijakan politik ekonominya. Terutama dikaitkan dengan implementasi kebijakan MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia) Jokowi menghadapi rezim ekonomi global bertitel pasar bebas. Secara khusus juga memahami relevansi substansi perda syariah diantara perda lain yang dibatalkan tersebut dengan kepentingan investasi. Sebagaimana dulu pernah dikampanyekan secara masif memasuki era MEA dan tidak lama pasca meledaknya bom Thamrin. Kampanye yang melahirkan produk kebijakan secara intens di berbagai instansi dan lembaga bernama “Bela Negara”. Sebuah program yang dinilai bertentangan dengan UU Pertahanan berdasarkan atas kajian BAIS. Saat itu Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan mengkampanyekan begitu pentingnya membangun sinergi antara penanganan radikalisme, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Ada apa sebenarnya di balik rencana pembatalan perda syariah dan untuk kepentingan apa
dilakukan. Di saat semakin kokohnya eksistensi kekuasaan Ahok di pusat
kekuasaan meski dihiasi dengan banyak kasus dugaan korupsi terutama Sumber Waras. Yang menunjukkan mandulnya BPK dan KPK. Dan tergadainya aspirasi rakyat oleh karena friksi kepentingan politik internal parlemen hingga kurang vokal dan sama menyikapi ketidakadilan dan culasnya Ahok. Disamping semakin tidak pedulinya Jokowi yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan politik internasional hingga lambat laun sangat kelihatan di balik tampilan kebijakan populisnya menyimpan potensi kekuasaan represif kepada rakyat dengan memanfaatkan dan mengelola tumpang tindih perundang-undangan yang ada
Logika politik pemerintah Jokowi membatalkan Perda “Syariah”
Logika pemerintah Jokowi dalam konteks pembatalan Perda “Syariah” tidak
bisa dipisahkan dengan basis kebijakan politik yang digariskan. Sebelumnya disampaikan beberapa alasan terkait pembatalan perda, di antaranya: 1) Peraturan yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi. 2) Peraturan tersebut dianggap menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan berusaha. 3) Peraturan-peraturan itu juga bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Meski sebetulnya pembatalan
itu tidak bisa serta merta begitu saja dilakukan. Seperti halnya disampaikan oleh Mahfudz MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Mahfudz mengatakan secara hukum pemerintah daerah bisa mengabaikan pencabutan perda yang dilakukan oleh Kemendagri. Aturan ini sudah jelas pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. “Kecuali undang-undangnya diubah (Republika.co.id, 15 Juni 2016). Sekalipun Mendagri, Tjahyo Kumolo berupaya merasionalisasikan bahwa kebijakan yang berkaitan perda bermasalah yang bernuansa Islam akan ada klarifikasi serta
penyelarasan dengan tokoh agama dan fatwa dari organisasi keagamaan
seperti MUI. Ia juga berjanji akan mempublikasikan ribuan perda tersebut. Berdasarkan data yang ia peroleh, ada 2.227 perda provinsi yang dibatalkan, 306 perda secara mandiri dicabut dan 610 perda dibatalkan di kabupaten/kota. Tjahyo menegaskan pula bahwa rencana pembatalan perda murni terkait dengan masalah investasi dan tidak ada urusan dengan Syariat Islam. Lebih jauh ia tegaskan jika penerapan
syariat Islam di Aceh silahkan tetapi tidak untuk DKI Jakarta dan daerah lain. Jika mencermati alasan di atas maka alasan sesungguhnya rencana pembatalan pemerintah terkait dengan langkah kebijakan politik ekonomi. Yakni berkaitan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur, investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks itu maka secara detil dijelaskan oleh Bonny Setiyawan (Pendiri dan Mantan Direktur dari Institute Global Justice-IGJ). Bonny, melihat arti penting ASEAN
Summit tahun 2011 kemarin yang diketuai Indonesia adalah mendorong dan
memfokuskan pada pelaksanaan rantai pasokan lewat program konektivitas
ASEAN dan pembangunan koridor-koridor ekonomi di seluruh pelosok Negara-negara ASEAN. ASEAN terintegrasi penuh dalam Rantai Pasokan Kapitalisme Global. ASEAN sendiri menjadi penting setelah merubah dirinya menjadi sebuah rezim Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC) sejak 2007 serta mengadakan FTA-FTA bilateral dengan mitra dagang ASEAN. Targetnya adalah menjadi sebuah blok ekonomi yang efektif melalui yang disebutnya “Basis Produksi dan Pasar Tunggal”
(Single Market and Production Base) pada tahun 2015. Didalam AEC ini ada AFTA yang sekarang menjadi ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement), AFAS-7 (ASEAN Framework Agreement on Services package-7) dan ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement). Di tingkat FTA sudah disepakati: ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-Jepang FTA, ASEAN-Australia/NZ FTA, dan ASEAN-India FTA; serta masih akan diadakan FTA dengan Uni-Eropa, FTA dengan AS, dan FTA dengan EFTA (European Free Trade Area) yang non-Uni-Eropa. Untuk mencapai itu, maka
dibuatlah AEC Blueprint yang menyatakan bahwa.”A single market for goods (and services) will also facilitate the development of production networks in the region and enhance ASEAN’s capacity to serve as a global production centre or as a part of the global supply chain”(sebuah pasar tunggal bagi barang-barang (dan jasa-jasa) juga
akan memfasilitasi pengembangan jaringan produksi di dalam kawasan dan meningkatkan kapasitas ASEAN untuk melayani baik sebagai pusat produksi global maupun sebagai bagian dari rantai pasokan global).Dengan ini resmi ASEAN masuk terintegrasi ke dalam sebuah sistem produksi kapitalisme global baru yang bernama ‘Rantai Pasokan Global’ (Global Supply Chain). ASEAN menjadi pemasok berbagai bahan mentah dan bagian-bagian dari produksi serta mengintegrasikan diri dalam rantai yang panjang dan kompleks dari pasar barang dan jasa global. Inilah
arti sebenarnya dari “Single Market and Production Base” tersebut. Untuk itu pada Oktober 2010 yang lalu telah ditetapkan pula sebuah sistem pendukung yang dinamakan “Master Plan on ASEAN Connectivity”. Konektivitas ASEAN ini bertumpu pada konsep baru yang dikenal sebagai ‘Koridor Ekonomi’ (Economic Corridor). Koridor ekonomi merupakan basis bagi pembangunan proyek-proyek infrastruktur (untuk tujuan kelancaran transportasi dan logistik) memakai pembiayaan publik, yang selanjutnya
menjadi fasilitas dan prasarana bagi investor di bidang sumberdaya alam dan komoditas pertanian di daerah-daerah baru yang sebelumnya belum terjangkau dan belum dibuka. Koridor-koridor ekonomi telah dikembangkan di bawah Program Kerjasama Ekonomi Sub-Wilayah Mekong Besar (Greater Mekong Sub-region Economic Cooperation Program/GMS-ECP). Sampai saat ini telah ditetapkan tiga koridor ekonomi yang terdiri dari: (1) Koridor Ekonomi Timur-Barat (East-West
Economic Corridor/EWEC); (2) Koridor Ekonomi Utara-Selatan (North-South Economic Corridor/NSEC); dan (3) Koridor Ekonomi bagian Selatan (Southern Economic Corridor/SEC), yang kemudian ditambah lagi dengan dua sub-koridor, yaitu: (a) Sub-Koridor Pantai bagian Selatan (Southern Coastal sub-corridor); dan (b) Sub-Koridor Bagian Utara (Northern sub-corridor). Apa yang terjadi di ASEAN Summit ke-19
kemarin adalah pengabsahan dari Masterplan, koridor ekonomi dan terutama integrasi ke dalam Rantai Pasokan Global (RPG). RPG adalah sistem baru kapitalisme global yang mengintegrasikan seluruh produksi barang dan jasa dunia ke dalam satu mata rantai yang kompleks yang melibatkan TNCs dan Kontraktor Internasional dengan ratusan jenis subkontraktor dan supplier (pemasok) dari seluruh dunia. Karena itu
tidak mengherankan bahwa pada saat yang bersamaan diadakan “ASEAN Business and Investment Summit”, karena memang ASEAN dibuat untuk memfasilitasi kepentingan-kepentingan modal dan bisnis semata, bukan untuk kepentingan rakyatnya. KTT Bisnis dan Investasi ini akan menghubungkan para pejabat tinggi dengan kaum pebisnis global untuk memasarkan dan berinvestasi dalam berbagai mega-proyek infrastruktur. Juga menegaskan dijalankannya perdagangan bebas sepenuhnya dalam rangka memfasilitasi operasi jaringan rantai pasokan dari sejak
tingkat global hingga ke pelosok-pelosok ASEAN. Ini sebenarnya fungsi utama dari ASEAN Summit kali ini. Indonesia sebagai Pemasok Bahan Mentah dan Komoditas Rantai Pasokan kini diadopsi oleh semua Negara ASEAN dan tentu saja Indonesia. Dan lagi-lagi Indonesia ada di dalamnya hanya sebagai pemasok bahan mentah primer (hasil tambang – migas, mineral dan batu bara – dan komoditas primer). Adopsi tersebut
dilakukan oleh pemerintah Indonesia lewat ditetapkannya “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI) sejak Mei 2011.
Dengan cetak biru tersebut maka ditetapkan enam koridor ekonomi, yaitu (1) Koridor Sumatera; (2) Koridor Jawa; (3) Koridor Bali-Nusa Tenggara; (4) Koridor Kalimantan; (5) Koridor Sulawesi; (6) Koridor Papua-Maluku. Intinya MP3EI ini memposisikan perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah dan komoditas saja dalam sistem rantai pasokan. Hanya Jawa sebagai koridor “pendorong industri dan jasa nasional”. Lima koridor lainnya ditetapkan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil komoditas pertanian, tambang dan enerji. Prolog dari proses ini adalah lahirnya orang-orang super-kaya Indonesia yang masuk ke dalam deretan orang kaya dunia. Indonesia tahun ini mencatat pertambahan tercepat orang-orang super-kaya di ASEAN. Dan jualan orang-orang superkaya tersebut adalah tambang (terutama batubara) dan
komoditas (terutama minyak sawit). Di lain pihak rakyat yang ada di dalam kawasan tambang serta rakyat peserta kebun sawit tetap miskin dan tertindas, karena dasar pasokan adalah dari biaya buruh/pekerja murah. Belum lagi pengrusakan lingkungan dan ekologis yang dihasilkannya, serta pengambilan tanah rakyat/masyarakat asli.
Dalam kerangka skenario implementasi RPG tersebut China memainkan peran penting terutama dalam hal investasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Selain AS dan negara-negara lain. Untuk memuluskan jalan bagi implementasi kebijakan politik ekonomi tersebut di atas harus dipastikan jaminan tidak adanya hambatan berbagai bidang di antaranya politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain yang terkait. Dalam
logika politik pemerintah seraya mengadopsi mindset para kapitalis global menganggap bahwa salah satu hambatan politik yang dianggap krusial adalah produk perda-perda lokal diantaranya bermuatan syariah. Perda-perda tersebut disinyalir menjadi kendala skenario implementasi kebijakan politik ekonomi terutama dalam kerangka investasi. Inilah hakekat sebenarnya Indonesia sudah masuk ke dalam rezim Rantai Pasokan
Global yang semakin menguatkan posisinya sebagai negara di bawah dekapan dan cengkeraman neo kapitalisme dari arah barat dan timur. Dan dibuat tidak berdaya karena politik ekonominya hanya ditopang oleh referensi ideologi yang nationalism defensif di tengah terjangan ideologi global yang ekspansif. Indonesia nampaknya membutuhkan referensi ideologi negara sebagai pijakan kebijakan politik ekonomi
yang independen dan berdaulat. Pilihannya hanya ada tiga kapitalis liberalis murni ala AS, sosialis komunis berbaju kapitalis ala RRC. Dan hanya Islam yang bisa menghadang kedua ideologi ekspansif tersebut sekaligus mewujudkan kedaulatan dan kewibawaan negeri gemah ripah loh jinawi di bumi pertiwi ini. Wallahu a’lam bis showab.
*HTI DPD Jawa Timur
(*/arrahmah.com)