ALEPPO (Arrahmah.com) – Kota Mayer yang merupakan tetangga dari kota Nubul dan Zahra di pedesaan utara Aleppo, menyaksikan pertempuran sengit antara milisi Syiah asal Libanon yang menamai diri mereka “Hizbullah” dan kekuatan rezim Asad dari unsur-unsur pertahanan nasional yang mendukungnya.
Bentrokan meletus di Al-Bureij, utara Aleppo antara kedua belah pihak dan berkembang dengan penggunaan artileri dan senjata berat. Itu merupakan insiden pertama dari sejenisnya, lansir ElDorar Alshamia pada Kamis (16/6/2016).
Jaringan berita ElDorar AlShamia melakukan wawancara dan pertemuan dengan sejumlah sumber militer, serta warga sipil di Mayer dan Marstah untuk mengungkapkan penyebab bentrokan.
Menurut warga setempat, Abu Tamim, sengketa di utara Aleppo terutama di dekat Nubul dan Zahra, “karena kebencian orang-orang desa karena tindakan ‘Hizbullah’, terutama berkenaan dengan pemaksaan terhadap para pemuda setempat untuk pergi ke garda depan pertempuran di selatan Aleppo, para relawan wajib bertempur di bawah bendera partai (Hizbullah)”.
“‘Hizbullah’ sengaja memaksa puluhan pemuda dari Nubul dan Zahra sampai stasiun di desa Ratyan, Marstah dan Tal Jebin, yang menemui perlawanan besar dari warga setempat yang telah menyatakan keengganan untuk keluar dari kota mereka dan bertempur di daerah lain,” ujar Abu Tamim menambahkan.
Abu Tamim melanjutkan bahwa “Hizbullah” telah menangkap sekitar 27 relawan dari Al-Zahraa pada pekan lalu, karena menolak untuk pergi berperang di Khan Touman dan ditahan di salah satu markas militer di Marstah Khan. Warga setempat telah berupaya untuk melakukan negosiasi untuk pembebasan para tahanan, namun “Hizbullah” menolaknya, yang memicu bentrokan kecil dan berkembang hingga pertempuran sengit dengan menggunakan senjata berat dan menyebar ke daerah-daerah lain seperti Al-Bureij dan Almiasat.
Abu Mustafa, salah seorang komandan lapangan milisi pro-rezim menekankan bahwa perbedaan antara milisi Syiah di utara Aleppo meningkat dan korban terus berjatuhan.
Para relawan dari Nubul dan Zahra menolak dengan tegas untuk keluar dari kota mereka dan bertempur di daerah lain di bawah bendera “Hizbullah”, baik di front selatan atau bahkan tetangga kota, sementara “Hizbullah” menganggap dirinya merupakan yang bertanggung jawab terhadap para milisi karena telah mendanai mereka selama pengepungan yang dilakukan oleh pejuang Suriah antara tahun 2013 dan 2015, lanjut Abu Mustafa.
Pengepungan akhirnya pecah ketika milisi Syiah dari Afghanistan, Libanon dan Irak berhasil membuka rute dari kota Pashkoy ke kamp-kamp di Nubul dan Zahra di bulan Februari lalu dengan bantuan angkatan udara Rusia. (haninmazaya/arrahmah.com)