(Arrahmah.com) – Hari-hari sekarang, masyarakat semakin sulit membedakan antara haq dan bathil, benar dan salah, karena ternyata tidak sedikit ulama yang muncul sebagai pendukung kebathilan. Begitupun, membedakan antara ulama shalih dan ulama su’ menjadi problem tersendiri di kalangan umat. Mengapa musykilah seperti ini bisa terjadi dan muncul di kala umat Islam menghadapi begitu banyak fitnah?
Petunjuk Al Qur’an akan memberikan kita wawasan menghadapi musykilah ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Umat Yahudi dan Nasrani menentang agama Islam setelah banyak orang menerimanya dan masuk Islam. Alasan penolakan umat Yahudi dan Nasrani terhadap Islam adalah batil. Umat Yahudi dan Nasrani di akhirat kelak akan mendapatkan kemurkaan dan adzab yang sangat berat.” (QS Asy-Syuura (42) : 16)
Ayat di atas menjelaskan sikap perlawanan sekaligus penolakan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap eksistensi Islam dan umat Islam. Setiapkali Islam berkembang, dan pengikutnya kian bertambah, mereka meningkatkan perlawanan dan permusuhannya.
Akan tetapi, “hujjatuhum dakhidhatun” argumentasi penolakan mereka terhadap ajaran Islam semuanya bathil. Ketika Yahudi dan Nasrani menolak hukum qishas, rajam, dan menyerang poligami sebagai sistem perkawinan Islam, opini dan argumentasi mereka lemah dan salah. Dan argumentasi mereka juga salah dalam pandangan agama mereka sendiri. Karena itu dikatakan ‘inda rabbihim‘ (disisi tuhan mereka), bukan indallah (di sisi Allah). Sebab dalam kitab Taurat dan Injil juga memuat syariat poligami, tapi mereka tidak mengakuinya. Mereka menyatakan poligami bisa menjadi problem sosial dan merusak keharmonisan rumah tangga. Padahal berapa banyak orang yang monogami hidup keluarganya berantakan, kacau bahkan berakhir dengan perceraian dan permusuhan. Sikap khianat terhadap kitab sucinya dan aqidah syirik yang menuhankan Uzair dan Isya, menyebabkan mereka dimurkai dan di azab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun sayangnya, ketika logika tokoh-tokoh Islam gagal menghadapi argumentasi bathil ulama Yahudi dan Nasrani, mereka malah larut dan ikut menentang syariat Islam. Sikap dan cara berfikirnya dalam banyak hal, sejalan dengan Yahudi dan Nasrani. Tidak percaya dengan kebenaran dan keadilan Islam.
“Allah lah yang telah menurunkan Al-Qur’an ini dengan membawa ajaran tauhid yang benar dan menurunkan syari’at untuk menegakkan keadilan. Wahai Muhammad, apakah kamu tahu bahwa hari kiamat itu sudah dekat?” (QS Asy-Syuura (42) : 17)
Sebenarnya Ayat ini bicara tentang kebejatan ulama Yahudi dan Nasrani. Tapi mengapa pada akhir ayat 17 ini justru bicara tentang kiamat? Apa hubungannya antara menegakkan keadilan berdasarkan syariat Islam dan yang sebaliknya, mengikuti hukum kafir Yahudi, Nasrani dan semacamnya?
Kunci ketaatan pada Allah dan SyariatNya adalah rasa takut pada adanya hari pembalasan di akhirat. Hilangnya keimanan atau kepercayaan pada kehidupan akhirat membuat manusia bersikap dan berfikir liar, kehilangan rasa takutnya pada Allah. Sehingga berbuat maksiat dan mungkarat tanpa merasa terikat dengan hukum Allah.
Tidak ada hukum yang adil tanpa syariat Islam. Apalagi bila proses pembuatan UU dan aturan diwarnai kebejatan moral. Setumpuk UU dan aturan pemerintahan yang dibuat DPR penuh trik dan intrik, tipu daya. Hanya syariat Islam yang dapat melahirkan hukum yang adil, bukan hukum buatan manusia yang lepas dari ikatan syariat. Karena syariat Islam yang adil tidak akan membiarkan kepentingan yang syarat dengan kezaliman. Tidak akan membiarkan para konglomerat mengeruk kekayaan negara dengan cara zalim dan jalan yang haram.
Sebagian besar Umat Islam hari ini telah kehilangan prinsip keyakinannya pada hari pembalasan di akhirat. Dan para ulamanya tidak merasa berkewajiban mengajak masyarakat untuk menegakkan syariat Islam. Malah tidak sedikit yang melecehkan
Islam, dengan mengubah kebenaran melalui ucapan dan fatwa yang menyalahi ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Akibatnya terjadi kekacauan, bukan saja dalam cara berfikir tapi juga dalam kehidupan nyata.
Pada gilirannya umat Islam dipermainkan oleh orang kafir. Sekalipun umat Islam menjadi warga mayoritas, tapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak punya wibawa. Seorang Ahok yang bermulut keji, berasal dari etnis dan agama minoritas saja berani mempermainkan umat Islam, dengan membuat kebijakan yang menyakiti perasaan umat mayoritas. Mengusir rakyat miskin dari tanah miliknya dengan alasan relokasi, kemudian menempatkan mereka di rumah susun sewa. Secara semena-mena pemprov DKI itu merampas tanah milik rakyat, katanya tanah milik negara, padahal rakyat sudah lebih dahulu ada dan tinggal di wilayah itu bahkan jauh sebelum adanya negara ini. Tapi di balik itu, dengan alasan investasi, lalu melonggarkan orang asing masuk ke dalam negeri menggantikan posisi rakyat miskin yang digusurnya.
Perilaku Ahok yang arogan, otoriter, sok bersih, menyebar fitnah dan mendapat dukungan orang-orang munafik, dan teman kafirnya, benar-benar bencana bagi negeri ini. Sekarang bermunculan teman kafirnya secara terbuka mendukung Ahok sebagai cagub DKI 2017.
Di Solo yang Walkotnya Nasrani, kantor Walkot lebih dominan digunakan untuk aktivitas Katolik. Sementara acara yang digelar umat Islam seperti halal bi halal oleh instansi di larang.
Itulah bedanya, bila orang kafir menjadi penguasa, dia menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan agamanya. Sebaliknya orang Islam berkuasa, jadi pejabat negara, justru mengikuti pola dan cara hidup orang kafir, kemudian menjauhkan Islam dari kekuasaan. Mereka terpedaya dengan propaganda orang kafir, seperti diungkapkan dalam Al Qur’an:
“Orang-orang kafir berkata kepada orang-orang mukmin: “Wahai orang-orang mukmin, ikutilah cara hidup kami. Kami akan menanggung segala dosa kalian selama kalian mengikuti kami.” Padahal sebenarnya orang-orang kafir itu tidak sedikit pun sanggup menanggung dosa-dosa mereka sendiri. Sungguh orang-orang kafir itu berdusta. (QS Al-‘Ankabuut (29) : 12)
Akibat yang lebih serius, masuknya ideologi bathil seperti komunis dan dibiarkan oleh pengusa dengan alasan Indonesia bukan negara agama sehingga paham dan ideologi apapun berhak hidup di negeri ini. Dan hal itu telah dipersiapkan dengan mencoba mengubah pancasila konstitusional dengan pancasila personal, kembali ke pancasila 1 juni versi Bung Karno, sebagai nasakom gaya baru yang memberi peluang bangkitnya PKI. Peluangnya semakin besar, ketika sekarang tidak ada lagi kekuatan yang mampu membatalkan UU dan aturan negara yang bertentangan dengan Islam, bertentangan dengan keyakinan serta aspirasi mayoritas rakyat negeri ini. Yang terjadi justru sebaliknya, membatalkan UU dan Perda yang bernuansa syariat seperti dilakukan Mendagri Tjahyo Kumolo. Inilah bencana yang menimpa bangsa Indonesia akibat ulah para ulama dan tokoh Islam yang mengekor opini dan argumentasi ulama Yahudi dan Nasrani.
Semua ini disebabkan rusaknya aqidah dan penolakan terhadap syariat Islam, yang dilakukan oleh ulama syu’ dan pejabat-pejabat muslim di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, yang dikendalikan parpol munafik.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban orang-orang yang diamanati menjaga negeri ini, TNI dan umat Islam yang menjadi saksi kebenaran dan keadilan syariat Allah untuk mengokohkan barisan melawan musuh negara dan agama. Jangan sampai rasa takut pada manusia dan penguasa zalim menjadikan mereka berhenti memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Munculnya kekuatan asing dengan membawa ideologi sesat dan bathil hendaknya menjadi spirit untuk bangkit memperjuangkan tegaknya keadilan berdasarkan syariat Islam.
Serial Kajian Malam Jum’at, 8 Juni 2016, di Masjid Raya Ar Rasul, Jogjakarta, bersama: Ustadz M. Thalib, Amir Majelis Mujahidin.
Notulen: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)