(Arrahmah.com) – Sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa Indonesia kini sudah berada di ambang kehancuran moral. Bagaimana tidak? Kejahatan seksual yang menimpa kaum perempuan dan anak anak seolah sudah menjadi berita yang jarang absen dari liputan media, setiap harinya dengan kasus yang beragam.
Belum usai tragedi yang menimpa Yuyun, siswi SMP di Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh 14 pria, negeri ini kembali digegerkan dengan kematian seorang gadis 18 tahun di Tangerang yang dibunuh dengan memasukkan gagang cangkul ke dalam alat kelamin korban.
Ironis memang, ditengah carut marut kondisi rakyat dalam negeri, pelaku kasus kejahatan seksual seolah ingin turut terlibat menambah konflik baru.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak mengklarifikasi meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak kian. Pada 2015, misalnya, Komnas PA menerima 2.898 laporan, 62% di antaranya kejahatan seksual, atau meningkat ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 2.737 kasus.
Tidak salah jika Presiden RI, Joko Widodo memasukkan kejahatan seksual ke dalam kelompok kejahatan besar layaknya kasus korupsi dan terorisme. Pemerintah pun segera menyediakan senjata yang lebih ampuh berupa Perppu tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lewat perppu yang harus selekasnya diterbitkan itu, hukuman bagi pelaku yang tadinya maksimal hanya 15 tahun akan diperberat hingga menjadi hukuman mati. Hukuman kebiri juga segera diterapkan. Belum cukup, pelaku akan ditanami cip setelah keluar dari penjara, dan identitas mereka pun bakal dipajang di ruang publik.
Beragam sanksi ini memang terlihat akan memberatkan pelaku. Namun solutifkah solusi yang semisal kebiri tersebut? Apakah ini nantinya mampu menumpas tuntas kasus kejahatan seksual sampai ke akarnya?
Banyak kalangan yang sepakat dengan wacana yang akan dicanangkan pemerintah tersebut mengingat maraknya aksi kekerasan seksual yang menghantui masyarakat. Harapannya, langkah ini mampu memberikan efek jera, sehingga tidak akan ada lagi Yuyun Yuyun lain. Namun dilain pihak tidak sedikit pula pihak yang secara tegas menolak
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan hukuman kebiri kimiawi tidak akan membuat para pelaku jera. Menurut dia, ada kekeliruan asumsi yang melatari rencana tersebut. “Kejahatan seksual berarti perilaku seksual dipercaya niscaya dilatari motif seksual,”
Padahal faktanya, sebagian besar kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak anak yang terjadi di Indonesia dilatarbelakangi oleh faktor kontrol diri seperti amarah, kebencian, dan dendam. Namun juga kita juga tidak bisa menutup mata dan telinga adanya kemungkinan pemicu kejahatan ini dikarenakan faktor rangsangan, seperti halnya konsumsi tayangan berbau pornografi dan pornoaksi secara berkala. Yang secara tidak langsung akan menuntut adanya pemuasan. Kecanggihan teknologi dan mudahnya pemgaksesan menjadikan situs situs berbahaya tersebut mampu dikonsumsi setiap lapisan masyarakat. Bahkan anak dibawah umur sekalipun. Ditambah lagi dengan masih bebasnya peredaran miras dan narkoba. Dua benda haram ini pun sejatinya juga menjadi pemicu terampasnya akal sehat pelaku yang berpotensi besar mengarah pada terjadinya tindak kejahatan.
Dari sini jelas bahwa langkah yang dilakukan baru sebatas pemberlakuan sanksi dan belum mencakup segala aspek yang bersifat preventif (pencegahan).
Di sisi lain terkait dengan nilai ekonomi dan teknis pelaksanaan hukuman, yakni kebiri kimiawi. Metode suntik yang digunakan mengharuskan penginjeksian secara berkala. Terus menerus. Lantas, haruskah APBN negara dialokasikan secara teratur untuk merawat mereka para predator?
Point terakhir, kebijakan pengebirian bagi pelaku kejahatan seksual ini tentu sangat bertentangan dengan nilai agama. Hal ini dikarenakan adanya larangan keras penghilangan sesuatu yang sudah menjadi fitrah dari sang Pencipta. Meski demikian, tidak bisa diartikan agama menganggap remeh perkara ini. Namun sebaliknya, peran agama sangat diperlukan dalam mewujudkan ketaqwaan individu. Sehingga segala tindakan kriminalitas dapat diminimalisir bahkan dicegah dari sekup terkecil. Kemudian kontrol sosial, yang dalam hal ini turut andil dalam melakukan pengawasan adanya indikasi penyelewengan. Dalam kancah yang lebih besar, negara lah yang memiliki pengaruh paling krusial. Dimana ketegasan dalam pemberian sanksi harus benar benar dilaksanakan. Tanpa pandang bulu. Dan tidak menyalahi ketetapan agama sebagai acuan sumber hukum tertinggi.
Ibarat kata seseorang mengatasi atap bocor dengan hanya mengepel lantai, tanpa melakukan pembenahan pada sumber kebocoran. Demikian itulah gambaran pemecahan masalah ini. Kapitalisme (penjunjung tinggi asas kebebasan) – yang merupakan biang keladi timbulnya jutaan problematika lah yang semestinya menjadi sorotan utama. Tambal sulam bentuk apapun niscaya tidak akan berefek jika akarnya masih dibiarkan bercokol di tanah ini.
Maya. A, Kedamean, Gresik
(*/arrahmah.com)