JAKARTA (Arrahmah.com) – Survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang digelar Oktober-Januari 2011 menyatakan bahwa mayoritas pelajar di Jakarta dan sekitarnya cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral.
“Yang mencengangkan, sikap radikal dan tidak toleran itu tak hanya dimiliki para siswa, tapi juga guru agama,” kata Bambang Pranowo, Direktur LAKIP yang juga menjabat sebagai Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta pada Selasa (26/4/2011).
Bambang mengaku tertarik meneliti “radikalisasi” di kalangan pelajar karena melihat banyaknya anak muda usia belasan tahun yang jadi pengebom bunuh diri. “Kami ingin tahu seperti apa persepsi dan sikap para remaja itu terhadap keberagaman.”
Survei dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri. Tak satu pun madrasah diambil jadi sampel.
Hasilnya? Saat ditanya apakah mereka bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral, sebanyak 48,9 persen siswa menyatakan bersedia. Sebanyak 63,8 persen siswa dan 41,8 persen juga bersedia terlibat dalam penyegelan rumah ibadat penganut agama lain
“Yang paling mengagetkan: belasan siswa menyetujui aksi ekstrim bom bunuh diri,” katanya. Bambang pun mengungkapkan, mayoritas pelajar juga mengenal sosok Syaihk Abdullah Azzam (pemimpin mujahidin Al Qaidah Irak) serta menganggap Pancasila sudah tidak relevan lagi menjadi dasar negara.
Bambang berpendapat, tumbuh suburnya sikap radikal di kalangan pelajar atau guru agama di sekolah umum karena pelajaran agama Islam di sekolah itu sering diajarkan secara eksklusif. “Hanya 2 jam satu minggu, itu pun tanpa melibatkan sisi kecintaan terhadap tanah air. Porsi minim dan eksklusif membuat mereka mencari jawaban moral dari luar sekolah” Ujarnya.
Bambang berharap, penelitian lembaganya yang juga sudah dirilis beberapa media itu bisa menjadi ‘sinyal bahaya’ bagi kehidupan pluralisme bagi masa depan republik.
Terhadap kecenderungan ini, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal memastikan akan melakukan pengawasan berjenjang terhadap para siswa dan guru. Termasuk mengubah pola pengajaran agama di sekolah. ” Kami akan bekerjasama dengan pemerintah daerah, dan kementerian agama karena merekalah yang akan membina para guru agama” ujarnya.
Sementara itu, Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Loody Paat menduga, ideologi radikal bisa diterima kalangan pelajar jika nilai-nilai Pancasila tak dipahami dengan baik. Jika saja Pancasila diamalkan oleh siswa, maka penyimpangan tak akan sampai terjadi.
“Yang penting pengetahuan, semakin kritis dan semakin banyak pengetahuan, kecil kemungkinan terpengaruh ideologi radikal,” kata Loody.
Banyak kemungkinan yang membuat para pemuda kita bersikap demikian. Pancasila, yang notabene sebagai pandangan hidup bangsa ternyata hanya simbol berhala mandul yang dijadikan bahan sebagian pihak untuk mencapai tujuan duniawinya. Sementara itu agama, khusunya Islam, yang memang terkandung di dalamnya jaminan dari Allah tentang kebenaran bukanlah pelarian atau sekedar alternatif segala masalah yang terjadi di bangsa ini, melainkan solusi.
Bisa jadi, sikap yang ditunjukkan kaum pelajar kita ini adalah wujud dari sikap kritis dan pengetahuan mereka tentang kegagalan Pancasila, hingga menuntun mereka untuk terus mencari sebuah kebenaran, bukan hanya untuk kehidupan saat ini tetapi juga kehidupan akhirat kelak. Wallohu a’lam. (rasularasy/arrahmah.com)