Ribuan remaja Suriah tumbuh sendirian di Jerman, setelah melakukan perjalanan ke Eropa tanpa orang tua, mereka hidup sebagai pengungsi dengan sangat berbahaya.
Bagi keluarga mereka, keputusan untuk membiarkan anak-anak remaja mereka pergi mengungsi hanya karena satu hal, itu adalah harapan terakhir mereka untuk memiliki kehidupan normal.
Demi menyelamatkan diri dari negara mereka yang terkena konflik, para remaja Suriah telah menyeberangi Mediterania, tidur di jalanan Eropa, dikoordinir oleh penyelundup manusia, juga harus menghadapi para penjaga perbatasan.
Mereka hanya mengandalkan Whatsapp dan media sosial untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka, dan berharap suatu saat mereka dapat berkumpul kembali.
Inilah kisah tiga remaja pengungsi yang akan membagikan ceritanya, sebagaimana dituturkan oleh reporter Caelainn Hogan dari Al Jazeera:
Ahmed, 15 tahun
Di luar stasiun kereta api pusat di Hamburg, Ahmed tengah berada di kerumunan orang banyak ketika jam-jam sibuk. Ia memandangi layar ponselnya, menunggu panggilan Whatsapp dari ayahnya.
“Sudah delapan bulan aku tidak melihat keluargaku,” kata Ahmed. “Aku tidak ingin menggunakan video call, karena salah satu dari kami akan menangis.”
Stasiun ini adalah tempat di mana ia pertama kali tiba pada September 2015 lalu, setelah melakukan perjalanan panjang sendirian menyusuri Eropa dari Reyhanli, kota perbatasan Turki, di mana keluarganya tinggal sebagai pengungsi.
Ketika aku (reporter Caelainn Hogan) bertemu keluarganya pada Maret, di teras berdebu di atas apartemen keluarga di Reyhanli, mereka berbicara kepada Ahmed melalui Whatsapp dari Jerman. Ayahnya, Mustafa, menggenggam telepon di telapak tangannya, tiga gadis kecil berkerumun di sekelilingnya.
“Tadi malam, aku bermimpi Ahmed pulang,” kata Sara yang masih berusia 6 tahun, kepada ayahnya.
Ayahnya menyeka air mata dengan punggung tangannya. “Ia mengatakan itu kepadaku setiap hari,” katanya.
Ahmed menghubungi ayahnya setiap hari, terkadang dalam perjalanan ke sekolah di kereta atau di kamp.
Keluarga Ahmed meninggalkan rumah mereka di Ariha, Suriah utara, hampir tiga tahun lalu. Ia ingat suara meriam tank yang membuat adik-adiknya menangis ketakutan, namun ia tak dapat menghentikan mereka menangis.
Mustafa merupakan seorang guru bahasa Arab, dan Ibu Ahmed, Nahed, bekerja di departemen pengawasan universitas setempat. Sekarang, Mustafa hanya menjadi seorang sopir taksi tidak resmi dan tak mampu membayar sewa.
Saat di Turki, Ahmed mengikuti sebuah sekolah tidak resmi untuk pengungsi, tapi tidak bisa mendapatkan ijazah apapun. Dengan bercita-cita menjadi dokter, ia merasa harus belajar di sebuah universitas bagaimana pun caranya.
“Di kelasku, setidaknya lima orang mengungsi ke Eropa, semuanya seusiaku,” katanya. “Aku ingin pergi ke tempat yang lebih baik.”
Ia menjelaskan, ia memohon untuk diizinkan pergi ke Eropa atau kembali ke Suriah, hingga akhirnya ayahnya menyetujuinya.
“Ayahku berpikir itu lebih baik bagiku untuk mati di laut daripada di Surah,” jelasnya. “Ia ingin menyelematkan setidaknya satu orang dari keluarga kami.”
Ahmed menggunakan bus ke Izmir, Turki. Di pantai, penyelundup manusia menempatkannya pada perahu kecil penuh sesak, menuju Yunani dalam gelap gulita.
“Aku berada tujuh jam di dalam perahu dan kami hampir tenggelam empat kali,” katanya.
Ketika tidak mendapatkan kabar dari Ahmed, Mustafa yakin anaknya telah tenggelam. Ia masih terguncang mengingat kejadian malam itu.
Setelah terdaftar sebagai pengungsi di bawah umur tanpa pendamping di Hamburg, ia pindah ke hostel dan menempati sebuah kamar dengan 20 orang lainnya.
Setelah tujuh bulan, akhirnya ia diizinkan untuk mulai sekolah. Sekarang, ia melanjutkan sekolahnya dan mendapatkan banyak dukungan dari teman-teman dan walinya.
Ahmed telah belajar memasak untuk dirinya sendiri sekarang, seperti pasta atau ikan.
Orang tuanya mengatakan padanya untuk menjaga diri, belajar bahasa setempat, dan melakukan pekerjaan rumah, katanya.
Hamburg pernah disebut “pintu gerbang ke dunia” Jerman karena pelabuhannya yang besar. Ahmed berharap dapat menjadikannya kota yang akan menjadi pintu gerbang ke kehidupan yang lebih baik baginya.
“Aku sangat merindukan keluargaku, aku hidup dengan mereka sepanjang hidupku,” kata Ahmed. “Aku kadang merasa khawatir, namun jika aku pulang, aku tidak memiliki apapun.”
Fahed, 16 Tahun
Fahed melakukan perjalanan sendirian dari Aleppo ke Hamburg, dengan tekad untuk tidak membiarkan perang menghentikan ia meraih mimpinya.
Juli lalu ia meminta restu dari kakeknya dan memulai perjalanan. Orang tuanya telah meninggalkan Suriah dua tahun lalu dan pindah ke Dubai setelah ayahnya ditangkap dan ditahan selama 10 hari. Orang tua Fahed juga membawa kedua adik Fahed ke Dubai, namun Fahed tetap ingin tinggal di Suriah.
Keluarga Fahed sukses menjalankan bisnis penukaran uang, dan Fahed ingin menjadi pengusaha kaya satu hari. Di sekolah bergengsi di Aleppo, dulu ia biasanya berenang dan berkuda. Dalam waktu luangnya, ia membantu di toko kakeknya, menghitung uang, dan mengobrol dengan pelanggan.
“Aku rindu segalanya, rumahku, pekerjaanku,” katanya. “Aku dulu biasanya pergi dengan ayahku ke tokonya, tapi sekarang toko-tokonya telah lenyap, hancur dalam pengeboman. Kakekku sakit dan dia mungkin sebaiknya harus meninggalkannya juga.”
Setelah serangan di Aleppo semakin memburuk, menjadi semakin sulit untuk Fahed melanjutkan sekolahnya.
“Di sekolah, kami dapat mendengar penembakan dan pengeboman dan itu membuatku ketakutan,” kenangnya. “Kadang-kadang kami harus bersembunyi di bawah meja atau di toilet. Kupikir, jika aku pergi sekolah, mungkin aku akan mati.”
Fahed merupakan orang pertama dari teman-temannya yang pergi ke Eropa. Kakeknya merasa sulit untuk melepaskannya pergi. “Tapi dia mengatakan ini hidupmu, aku tidak dapat menghentikanmu,” kenang Fahed.
Fahed tinggal selama beberapa pekan di Turki, namun kehidupan sangat sulit di sana. Ayahnya mengirim uang untuk membayar penyelundup manusia untuk memberangkatkannya ke Yunani. Dari sana, Fahed melakukan perjalanan darat. Di Hungaria, ia terpisah dari kelompoknya dan terpaksa tidur selama tiga malan di jalan.
Katanya, Hamburg adalah kota yang hebat, dan ia berpikir ia dapat beradaptasi di sini. Namun ia masih merindukan Aleppo dan ingin kembali.
“Tapi sekarang, aku tidak dapat melakukan apapun di sana, rumah, atau hidupku,” katanya. “Toko ayahku hancur dalam pengeboman. Dia memiliki tiga toko, dan sekarang semuanya telah dibom. Aku sangat sedih dengan keadaan negaraku.”
Ayahnya mampu terbang ke Jerman untuk mengunjunginya, tetapi ayahnya berharap Fahed ikut bersamanya ke Dubai. Melalui panggilan Whatsapp, adiknya memohon kepadanya untuk ikut berkumpul dengan keluarganya di sana.
Di telepon selulernya, Fahed menyimpan foto-foto adik bayinya, yang tidak pernah ia temui sejak lahir. “Ia lahir dan aku tidak pernah melihatnya,” katanya.
Dia merindukan keluarganya setiap hari, tetapi ia khawatir, sebagai warga Suriah, ia akan didiskriminasikan di Dubai. Ia mengatakan paman dan sepupunya yang bekerja di sana baru-baru ini dipecat dari pekerjaan mereka.
“Kadang saya marah dan sedih harus datang ke sini. Saya tinggal dengan enam orang dalam satu ruangan dan aku tidak bisa melakukan apapun,” katanya. “Tapi aku ingin menjadi pengusaha, seperti ayahku. Aku harus menyelesaikan hidupku.”
Hamouda, 17 tahun
Di sepetak lahan dekat jalan tol yang sibuk, penjaga keamanan berjalan di antara kontainer yang disusun membentuk blok apartemen non-permanen di salah satu kamp pengungsi terbesar di Hamburg.
Hamouda telah tinggal di sana sejak Oktober 2015, sementara orang tua dan saudara-saudaranya masih berada di Aleppo.
Seperti anak-anak di bawah umur lainnya yang telah melakukan perjalanan panjang sendirian ke Eropa, ia meninggalkan Suriah bersama kakaknya yang berusia 30 tahun, untuk melarikan diri.
“Aku tidak ingin membunuh siapa pun dan aku tidak ingin dibunuh,” jelasnya. “Aku ingin bertahan, tapi situasi di sana sangat berbahaya.”
Semua teman-teman dekatnya telah berangkat ke Eropa. Mereka sekarang tesebar di Norwegia, Swedia, Austria, dan Jerman.
“Dulu ada dua juta orang di Aleppo”, kata Hamouda, “Namun sekarang sebagian besar telah meninggalkan kota tersebut.”
Ayahnya tidak dapat berbuat banyak untuk anaknya selain memberikan sejumlah uang untuk membayar penyelundup manusia.
Namun Hamouda sempat kesulitan melakuan proses imigrasi karena usianya yang masih di bawah umur.
Hamouda merindukan segala hal dari rumahnya, salah satunya adalah suasana di rumahnya.
“Aku merindukan orangtuaku,” katanya. “Kakakku yang sekarang menjagaku. Dia berusaha menjadi orang tua bagiku, tapi rasanya berbeda.”
“Sehari sebelum aku bertemu dengannya, serangan udara di Aleppo telah mengubah rumah sakit menjadi puing-puing. Sejak itu, satu persatu bom yang dihantamkan semakin dekat dengan rumahnya.”
Ia hanya dapat menghubungi keluarganya untuk memastikan bahwa keluarganya aman.
“Ada penembakan berat di lingkungan terdekat,” kata ayahnya melalui telepon. Pada hari yang sama, ayah dari salah satu temah Hamouda, tewas dalam pengeboman itu.
Sambil duduk di tempat tidurnya di kamar kontainer, ia menulis hashtag #Aleppo_is_burning di buku sekolahnya, ia menggambar rudal-rudal yang dijatuhkan dari langit, sebuah rumah sakit terbakar, dan keadaan rumah sakit yang kacau balau.
“Ini berbahaya,” kata Hamouda, yang meminta agar keluarganya tidak disebutkan namanya. “Kami tidak bisa bicara banyak di telepon. Ayahku harus menggunakan kode untuk menjelaskan situasi yang tidak baik. Kami menghindari berbicara terlalu detail.”
Ketika ia menaiki kereta menuju sekolahnya, ia kadang melihat orang tua dengan anak-anaknya. Hal itu membuatnya merasa rindu, katanya.
“Ketika saya melihat orang-orang seusiaku dengan keluarga mereka, itu membuatku sedih. Sulit tanpa orangtuaku. Jika situasi tenang, aku akan pulang.”
(fath/arrahmah.com)