JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil ketua Pansus revisi UU Terorisme, Hanafi Rais, mengatakan perluasan wewenang Densus 88 untuk menangkap terduga kasus terorisme dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, harus disertai dengan tindakan yang profesional agar tidak terjadi salah tangkap.
“Ini kita cermati, kita waspadai betul-betul bukan untuk melemahkan polisi, tetapi untuk menghindari supaya tidak menjadi alasan teroris tidak merekrut orang baru lagi, ” kata Hanafi.
“Jangan sampai mereka mengatakan wah kita didzalimi nih ditahan seenaknya, sehingga kemudian itu jadi bahan untuk merekrut sel-sel baru,” jelas Hanafi usai acara diskusi bersama dengan Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) di Jakarta, Selasa (3/5/2016), lansir bbcindonesia.
Hanafi mencontohkan kasus Siyono, warga Klaten yang tewas setelah ditangkap Densus 88. Hasil autopsi yang dilakukan oleh Komnas HAM dan PP Muhammadiyah, menyebutkan penyebab kematian Siyono akibat patah tulang pada bagian iga dan tulang dada akibat benda tumpul di rongga dada yang mengarah ke jaringan jantung.
Masalah lain yang disoroti Hanafi dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini, yaitu pemberian wewenang masa penahanan yang lebih lama dibandingkan dengan UU yang lama.
“Untuk lama penahanan itu, itu tentu pasti akan dibahas juga, kita semangatnya kalau sudah ada jangka waktu penahanan, terduga maupun yang sudah itu betul-betul jangan dijadikan aparat untuk menangkap orang seenaknya, lantas baru mengikuti kerja-kerja pencarian bukti yang lambat,” kata Hanafi.
Dia mengatakan agar Densus 88 lebih akuntabel, harus ada lembaga yang mengawasi kerja detasemen anti-teror itu. Badan pengawas beranggotakan dari berbagai kalangan seperti publik, polisi dan anggota DPR.
Salah satu pasal draf revisi UU menyebut perpanjangan masa penangkapan dari semula tujuh hari menjadi 30 hari.
Pasal lain yang dianggap tidak memiliki landasan hukum dalam UU No 15 tahun 2003 yaitu 43A, yang memberikan kewenangan untuk membawa atau menempatkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme ke suatu tempat dalam waktu enam bulan.
Masa penahanan yang lama terhadap terduga kasus terorisme sebelum dijadikan tersangka atau tidak juga dikritik oleh pegiat HAM sebagai tindakan yang melanggar HAM dan hak sipil.
(azm/arrahmah.com)