(Arrahmah.com) – Masyarakat kembali dihebohkan dengan kasus yang menurut KPK adalah ” Megakorupsi ” dimana sebuah korporasi yang notabene swasta mampu mempengaruhi kebijakan publik, tepatnya pada Kamis (31/3/2016) malam, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi usai menerima uang dengan nilai total Rp 1,14 miliar. Uang suap itu diduga terkait dengan pembahasan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda nomor 8 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.
Reklamasi pantai utara Jakarta merupakan program pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National Integrated Coastal Development), yang disahkan pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Proyek reklamasi Pantura adalah proyek penimbunan laut di depan garis pantai Jakarta untuk menghasilkan lahan baru seluas 2.700 hektare. Di samping itu, akan dilakukan pula revitalisasi di atas pantai Jakarta yang lama pada areal seluas 2.500 hektare.Reklamasi pun digadang-gadang hanya akan menguntungkan pengembang properti. Karena, di atas daratan 17 pulau buatan tersebut akan dibangun apartemen dan bangunan mewah. Di kawasan itu akan dibangun perumahan dan apartemen mewah, dan perkantoran.
Menurut sumber yang di dapat dari viva.co.id telah tercatat ada 10 pengembang yang mendapat bagian dalam pembangunan 17 pulau buatan, yang diberi nama A sampai Q itu. Yakni, PT Intiland Development, PT Pelindo II, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Kapuk Naga Indah (anak usaha Agung Sedayu), PT Jaladri Eka Pasti, PT Taman Harapan Indah, PT Muara Wisesa Samudera (anak usaha Agung Podomoro), PT Kawasan Berikat Nusantara, dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Namun dari sepuluh pengembang, baru dua yang mendapat izin pelaksanaan.Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, sudah mengeluarkan izin pengembangan reklamasi Pulau G atau Pluit City kepada PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan Grup Agung Podomoro, pada 2014.Sebelumnya, PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group, sudah mengantongi izin untuk reklamasi Pulau C, D, dan E pada 2012 di era kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo. Mereka akan menggarap lima pulau buatan. Jika dipikir lebih dalam lahan 2.700 hektar merupakan sesuatu yang menggiurkan bagi para pengusaha terkait proyek pembangunan dan hal ini pun terbukti lewat kasus suap. Tertangkapnya dua orang jadi membuka borok perizinan program reklamasi di kawasan Pluit, Jakarta Utara.
Sebelumnya sejumlah pihak telah mempertanyakan dan memprotes proyek reklamasi pantai, termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menteri Kelautan dan Perikanan bersama sejumlah kalangan mengingatkan bahwa reklamasi kawasan Pluit selain merusak ekologi, merusak biota laut, merugikan nelayan, juga melanggar undang-undang.
Pemberian izin reklamasi Pluit oleh Ahok melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014, ternyata melanggar sejumlah aturan, di antaranya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pengolahan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hal ini dikarenakan kawasan pesisir Jakarta merupakan kawasan strategis nasional (KSN) yang kewenangannya dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sikap Pemprov DKI yang tidak berkoordinasi dengan KKP juga menunjukkan mereka telah menabrak Peraturan Presiden (Perpres) No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.Kemudian bila terbukti reklamasi itu merusak biota laut, maka Pemprov DKI telah melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kenyataan ini menunjukkan kalau dalam sistem demokrasi-liberal, penguasa dan pengusaha bisa melakukan persekongkolan. Pengusaha dengan modal besar bisa mempengaruhi pejabat untuk mengeluarkan berbagai izin proyek yang sebenarnya ilegal dan merugikan masyarakat.Apalagi menjelang pilkada gubernur DKI yang bernilai strategis pastinya dibutuhkan dukungan dan dana besar. Untuk itu para kandidat bisa saja memanfaatkan kedekatan hubungan dengan para pengusaha dan cukong politik untuk memenangkan pertarungan nanti, dengan cara melakukan deal-deal politik.
Dalam demokrasi, semua bisa diatur. Ini secara telanjang menunjukkan bobroknya demokrasi. Sudah saatnya diperlukan sistem alternatif yang jauh dari persekongkolan, ketidakadilan, suap dan korupsi yakni sistem islam yang merupakan Rahmatan Lil Alamin dimana dalam system ini reklamasi seharusnya dikelola oleh Negara untuk kepentingan masyarakat setelah mengkaji berbagai efeknya terutama terhadap lingkungan dan masyarakat.
Wassalam
Een Stiawati
(Een [email protected])
(*/arrahmah.com)