(Arrahmah.com) – Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (TQS. Ar-Rūm [30] : 60).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman guna mengingatkan Rasulullah saw: Bersabarlah wahai Muhammad atas semua penderitaan yang menimpamu, dan sampaikan pada mereka risalah dari Tuhanmu. Sesungguhnya janji Allah yang akan memenangkan kamu atas mereka, dan mengalahkan mereka, serta mengokohkan kamu, para sahabatmu dan para pengikutmu di muka bumi, maka semua itu adalah hak (benar). Untuk itu, janganlah mimpi dan keyakinanmu surut oleh mereka yang menyekutukan Allah, tidak menyakini janji Allah, dan tidak percaya hari kebangkitan setelah kematian. Sehingga mereka berhasil melemahkan kamu dari melaksanakan perintah Allah, dan dari menyampaikan risalah-Nya kepada mereka yang telah dibebankan kepadamu.
قَالَ ابْنُ الْمُقَفَّعِ فِي كِتَابِ الْيَتِيمَةِ: الصَّبْرُ صَبْرَانِ: فَاللِّئَامُ أَصْبَرُ أَجْسَامًا، وَالْكِرَامُ أَصْبَرُ نُفُوسًا. وَلَيْسَ الصَّبْرُ الْمَمْدُوحُ صَاحِبُهُ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ قَوِيَّ الْجَسَدِ عَلَى الْكَدِّ وَالْعَمَلِ؛ لِأَنَّ هَذَا مِنْ صِفَاتِ الْحَمِيرِ، وَلَكِنْ أَنْ يَكُونَ لِلنَّفْسِ غَلُوبًا، وَلِلْأُمُورِ مُتَحَمِّلًا، وَلِجَأْشِهِ عِنْدَ الْحِفَاظِ مُرْتَبِطًا.
Dalam kitab Al-Yatīmah, Ibn Al-Muqaffa’ mengatakan: “Sabar itu ada dua jenis: Kejahatan yang menimpa fisik, dan kedermawanan yang menimpa jiwa. Bukanlah kesabaran jika orangnya dipuji sebagai seorang yang fisiknya kuat berusaha dan bekerja keras, karena ini termasuk sifat keledai. Namun kesabaran itu bagi orang yang mampu mengendalikan diri, mampu memikul setiap urusan, serta tabah memelihara dan menjaga semuanya.” (Adab ad-Dunyā wa ad-Dīn – Karya Al-Mawardi).
Sayyidina ‘Ali berkata, “Sabar bagian dari iman, seperti kepala dengan tubuh. Jika sabar hilang jasad pun melayang” (As-Suyuti, Tarikh ak-Khulafa’, hal.147).
‘Umar bin al-Khatthab berkata: Kita menemukan kebaikan hidup kita dengan bersabar. Andai saja para tokoh itu bersabar, maka akan menjadi mulia.
‘Ali bin Abi Thalib berkata: Ingat, sabar adalah bagian dari iman. Ibarat kepala dengan jasad. Jika kepala putus, maka jasad pun terkulai dan suaranya menjerit. Tidak ada keimanan pada diri siapa pun yang tidak bersabar. [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ‘Uddatu as-Shabirin, Juz I/(97)]
Hujjah di atas hendaknya meneguhkan sikap kita untuk bersikap benar dan produktif dalam memaknai kesabaran. Sesungguhnya sabar itu adalah sabar atas bencana, sabar dengan qadha’ (keputusan Allah), yang membuat kita semakin teguh, tidak membuat kamu labil; semakin membuat kamu berpegang teguh pada al-Kitab, tidak membuat kita berpaling darinya dengan dalih beratnya musibah yang menimpa kita. Sabar adalah sesuatu yang membuat seseorang bertambah dekat dengan Tuhannya, tidak membuat seseorang semakin jauh dari Tuhannya. “Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim’.” (TQS. Al-Anbiyā’ [21] : 87).
Sesungguhnya sabar itu adalah yang mempertajam misi, dan yang mendekatkan jalan ke surga, sebagaimana kesabaran Bilal, Khubab, dan keluarga Yasir. “Tetaplah sabar, keluarga Yasir, sesungguhnya tempat yang dijanjikan kepada kalian adalah surga.” Sebagaimana kesabaran Khubaiab, dan Zaid … Seperti kesabaran orang-orang yang melawan penguasa tiran, dimana mereka sedikitpun tidak takut karena Allah terhadap celaan para pencela.
Termasuk baiknya kesuksesan dan tanda kebahagiaan adalah kesabaran atas bencana, serta kelembutan pada saat mendapat musibah. Bahkan al-Qur’an turun dan as-Sunnah datang untuk menegaskan pentingnya kesabaran.
Sabar itu adalah ketika kita bersabar memerintahkan perbuatan yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar, serta tidak lemah di hadapan penyiksaan di jalan Allah. Sabar itu adalah militer bergerak untuk memerangi musuh-musuh Allah.
Dampak Kezaliman pemerintah lebih merupakan fasad yang digambarkan dalam firman Allah SWT:
]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ[
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41)
Ayat ini sekaligus menunjukkan sikap yang seharusnya dalam menyikapi semua bentuk fasad, yaitu kembali ke jalan yang benar. Bagi pembuat fasad sikap itu adalah dengan menghentikan perbuatan fasad itu. Itulah sikap yang harus diambil oleh Pemerintah sebagai pembuat fasad itu akibat kebijakan yang keliru.
Masyarakat juga mesti berusaha menghilangkan fasad itu. Untuk itu Islam mensyariatkan agar umat melakukan amar makruf nahi mungkar serta menasihati dan mengoreksi penguasa. Tujuannya agar penguasa segera menghentikan fasad itu dan kembali ke jalan yang benar. Hal itu bukan sebagai sikap reaktif melainkan sebagai upaya memenuhi kewajiban syariah. Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukan kewajiban itu. Bahkan andai orang yang melakukan itu dibunuh oleh penguasa yang dia nasihati maka dia mendapatkan pahala seperti yang diperoleh Hamzah bin Abdul Muthallib sebagai sayidusy-syuhada (pemimpin para syuhada). Demikian sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasul saw. riwayat Imam Ahmad.
Jadi, fasad berupa berbagai UU liberal yang menyengsarakan umat serta ketundukan pemerintah yang pro-asing dan aseng itu harus disikapi dengan sabar yang disertai dengan ikhtiar untuk mengubah keadaan. Sikap sabar yang pasif dan diam terhadap kefasadan, selain tidak sesuai dengan tuntunan syariah, juga mengandung bahaya besar. Sikap diam masyarakat akan dimaknai oleh Pemerintah sebagai bentuk penerimaan dan dukungan masyarakat atas tindakan fasad itu. Sikap ini akan membuat Pemerintah makin berani membuat berbagai macam kefasadan yang lainnya.
Oleh sebab itu umat harus bersuara dan tak boleh diam. Jika makin banyak dari umat ini yang bersuara, jika jutaan orang menyatakan penolakan dan protes termasuk dalam bentuk turun ke jalan, niscaya akan diperhatikan dan boleh jadi membuat Pemerintah membatalkan kebijakan fasadnya itu. Lebih dari itu, yang harus menjadi patokan, melakukan amar makruf nahi mungkar serta menasihati dan mengoreksi penguasa merupakan kewajiban dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Dalam hal itu, Allah tidak akan menghisab kita apakah nasihat dan koreksi yang kita sampaikan itu digubris oleh penguasa atau tidak. Yang justru bakal Allah hisab adalah sikap diam kita terhadap kezaliman dan fasad yang dibuat penguasa.
Jika ada yang mengatakan bahwa mana ada penguasa yang berniat menyusahkan atau menzalimi rakyatnya, maka ungkapan itu tidak perlu diperhatikan. Sebab, dalam hal kefasadan itu, yang tahu niat dan motivasi sesungguhnya adalah pelakunya dan Allah SWT. Yang harus dilihat adalah kenyataan dari kefasadan itu dan dampaknya bagi umat. Kaidah yang masyhur mengatakan, “Nahnu nahkumu bi zhahir walLâh ya’lamu syarâ’ir (Kita menghukumi yang nyata dan Allahlah yang Maha mengetahui yang tersembunyi).”
Penulis: Ainun Dawaun Nufus, aktivis MHTI Kediri
(*/arrahmah.com)