(Arrahmah.com) – Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah pernah menyampaikan ada dua alasan mendasar mengapa kita harus menghindari pelaksanaan operasi militer di negeri-negeri kaum Muslimin.
Pertama, serangan yang dilakukan di negeri-negeri Muslim akan semakin membuka peluang jatuhnya korban dari kaum Muslimin. Meskipun para ikhwah telah diingatkan agar tidak terlalu longgar dalam menimbang masalah tatarrus, namun mereka masih saja belum paham batasan-batasannya, sehingga dalam realitanya masih saja terjadi sikap yang terlalu longgar dalam masalah tatarrus ini. Hal ini menjadikan kita memikul tanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu satu persoalan, kemudian kita juga harus memikul kerugian dalam proyek lapangan dan gangguan dalam mendakwahkan Jihad.
Kedua, kerugian yang sangat besar sekali yang dialami oleh para ikhwah yang berada di daerah tempat mulai dilaksanakannya program ‘amaliyat, sebagai efek dari pemberangusan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para pemuda yang terlibat dalam program Jihad, atau bahkan sampai terhadap para pemuda yang hanya terlibat dalam program dakwah. Lalu ditangkaplah puluhan ribu di antara mereka sebagaimana yang terjadi di Mesir, dan ribuan orang sebagaimana yang terjadi di negeri dua tanah suci [Arab Saudi].
Sementara jika kita berkaca kepada Sirah Nabawiyah, kita akan melihat bahwa Nabi ﷺ tidak membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul, dikarenakan tindakan tersebut bisa mengakibatkan kerugian terhadap dakwah Nabi ﷺ. Dan hari ini kita bisa melihat hal-hal serupa, yang apabila terjadi kesalahan bisa mengakibatkan kerugian bagi Mujahidin yaitu dari sisi hilangnya simpati kaum Muslimin kepada mereka, yang kemudian kesalahan-kesalahan tersebut dimanfaatkan oleh musuh untuk memperburuk citra Mujahidin di mata masyarakat untuk memisahkan Mujahidin dari basis massanya.
Dampak-dampak negatif inilah yang tidak dipahami oleh ikhwah-ikhwah di lapangan. Persoalannya perang bukan saja membunuh atau dibunuh, tetapi juga harus memperhatikan simpati umat. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kehilangan simpati umat akibat ketidakcermatan memilih target dan tidak memperhatikan resiko akibat pelaksanaan aneka operasi militer yang sembrono, telah membuat Mujahidin dihadapkan pada banyak kesulitan.
Karena terpisahnya Jihad dari basis masanya adalah kekalahan yang sesungguhnya. Dan tidak mustahil gerakan semacam akan muncul di Indonesia, dan hal ini menjadi alasan bagi pihak yang tidak suka dengan perjuangan syariat Islam untuk membungkam Dakwah dan Jihad kita di bumi Nusantara ini.
Di awal tahun 2016 pada Kamis (14/1/2016) pagi sekitar pukul 11:00, Indonesia telah dikejutkan dengan sebuah aksi penyerangan. Ledakan beruntun terjadi di sekitar halaman parkir depan kafe Starbucks, Jalan Husni Thamrin, Jakarta Pusat.
Para pelaku beraksi di perempatan dekat pusat perbelanjaan Sarinah di mana pihak kepolisian langsung melakukan pengejaran terhadap pelaku. Sempat terjadi baku tembak di dekat kafe Starbucks dan pos polisi Sarinah. Polisi pun menutup dan mensterilisasi kawasan itu. Jalan Thamrin hingga Bundaran Hotel Indonesia ditutup untuk dua arah.
Sebagaimana diketahui, aksi-aksi semacam ini sudah mendapat banyak teguran dan koreksi atas banyaknya mudharat yang didapatkan ketimbang manfaatnya. Apapun alasannya, tegas Ustadz Abu Jihad Al-Indunsiy, aksi yang bisa mendistorsi makna Jihad dan menyebabkan tertumpahnya darah kaum Muslimin tetap tidak bisa dibenarkan.
Ustadz Abu Jihad yang melihat aksi tersebut dari sudut pandang seorang jihadis dan mantan narapidana tindak pidana “terorisme” yang bahkan juga mengenal beberapa pelaku, menegaskan bahwa Jihad itu sejatinya disyari’atkan lagi diberkahi, memiliki tujuan tinggi dan target yang terpuji.
Bagaimana metodologi dan logika yang dipakai oleh para pelaku, trend baru yang dilakukan oleh mereka dan bagaimana aliran Jihad Global menilai operasi-operasi seperti ini? Berikut uraian lanjutan dari bagian pertama dalam rangkaian risalah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Jihad terkait hal tersebut.
***
Strategi ini masih dilanjutkan di era “Arabic Spring” [revolusi Arab yang menumbangkan rezim-rezim Arab, dimulai dari Tunisia, lalu Mesir, lalu Libya, Yaman dan berlanjut dengan revolusi Suriah] oleh Syaikh Aiman Az-Zhawahiri sepeninggal Syaikh Usamah. Hal itu bisa kita lihat misalnya dalam pesan audio yang disampaikan oleh tokoh Al-Qaeda in Islamic Maghrib (AQIM), yaitu Syaikh Ahmad Abu AbdiIlah hafizhahullah, yang dirilis pada hari Selasa, 11 Rajab 1434 H / 21 Mei 2013 M.
Di dalam pesan audio yang berjudul Risalatu Nush-hin Wa Bayanin Li Harakatin Nahdhah Bi Tunisil Qairwan itu, Syaikh Ahmad Abu Abdillah hafizhahullah menyampaikan 15 poin untuk kaum Muslimin, di antaranya adalah:
Poin pertama: “Kami menegaskan kembali bahwa kami masih mematuhi arahan-arahan Syaikh dan Amir kami, Syaikh Dr. Aiman Az-Zhawahiri hafizhahullah untuk tidak menyerang pemerintah-pemerintah yang berkuasa setelah terjadinya revolusi, dan untuk menjulurkan tangan kerjasama dengan pemerintah tersebut dalam rangka mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam dan membebaskan negeri-negeri kaum Muslimin, terutama adalah Palestina, serta menegakkan keadilan di tengah-tengah kaum Muslimin.”
Poin keempatbelas: “Kami perbaharui lagi komitemen kami terhadap nasehat-nasehat Amir kami Syaikh Dr. Aiman Az-Zhawahiri, dan arahan-arahan Amir untuk wilayah kami Syaikh Abu Mush’ab ‘Abdul Wadud, untuk tidak menyerang tentara dan aparat keamanan Tunisia, kecuali dalam rangka membela diri. Dan saya berharap pemerintah Tunisia membaca pesan ini secara benar.”
Al-Qaeda melarang operasi amaliyah isytisyhadiyah atau serangan terhadap tatarrus dengan target razim murtad di negera-negara mayoritas Muslim?”
Seorang Muslim yang baik akan melakukan muhasabah/introspeksi atau mengevaluasi amal-amal yang dia lakukan, baik muhasabah sebelum beramal, muhasabah saat beramal dan muhasabah setelah beramal, dan Jihad adalah puncak dari amal sholeh yang seharusnya lebih menuntut adanya kewajiban untuk bermuhasabah.
Berkenaan dengan evaluasi ini Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah mengatakan : “Kekeliruan operasi militer setelah meluasnya perang dan tersebarnya Mujahidin di berbagai wilayah adalah, adanya ikhwah yang asyik berperang dengan musuh lokal dan kesalahan ini semakin parah akibat berbagai kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh para ikhwah pembuat rencana penyerangan, atau akibat suatu perkara yang terjadi sebelum pelaksanaan ‘amaliyat. Ditambah lagi dalam masalah tatarus/perisai hidup, sehingga mengakibatkan jatuh korban kaum muslimin.” (Letter from Abbotabad hlm 88-89)
Untuk lebih detail mengenai persoalan tatarrus (operasi Bom Syahid) ini, silakan merujuk dan mengkaji kitab At-Tatarrus fi o Jihadil Mu’ashir karya Syaikh Abu Yahya Al-Libi dikarenakan kondisi yang berbeda dengan kondisi saat ini, dengan batasan-batasan yang jelas.
Lalu kekeliruan yang dievaluasi adalah membunuh orang yang tidak dipahami oleh umumnya kaum muslimin bahwa orang tersebut boleh dibunuh. Oleh karena itu, jika kita berkaca kepada Sirah Nabawiyah, kita akan melihat bahwa Nabi ﷺ tidak membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul, dikarenakan tindakan tersebut bisa mengakibatkan kerugian terhadap dakwah Nabi ﷺ. Dan hari ini kita bisa melihat hal-hal serupa, yang apabila terjadi kesalahan bisa mengakibatkan kerugian bagi Mujahidin yaitu dari sisi hilangnya simpati kaum Muslimin kepada mereka, yang kemudian kesalahan-kesalahan tersebut dimanfaatkan oleh musuh untuk memperburuk citra Mujahidin di mata masyarakat untuk memisahkan mujahidin dari basis massanya. (Lihat penjelasan Syaikh Usamah dalam Letter from Abbotabad hlm 91-92)
Hal ini disadari dan dilaksanakan oleh syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah dan jajaran pucuk pimpinan tanzhim besar Al-Qaeda, perjalanan panjang Jihad setelah serangan barakah 11 September 2001 sampai beliau gugur pada 2 Mei 2011, penuh dengan peristiwa dan kejadian, peperangan ini mengalami pasang surut, menang kalah, suka maupun duka, ada sisi kemajuan dan kemunduran, sisi ketepatan dan kekeliruan. Penjelasan-penjelasan para komandan Al-Qaeda yang telah kita baca pada ulasan di atas adalah cerminan muhasabah tersebut, dan muhasabah tersebut mengantarkan kepada 2 kesimpulan penting.
Pertama: Mengakui beberapa kekeliruan yang terjadi dalam operasi-operasi Jihad tersebut dan mengambil langkah-langkah nyata untuk memperbaiki. Kedua: Mempertahankan prestasi, kemajuan dan ketepatan yang diraih selama ini, kemudian meningkatkan, mengembangkan secara kuantitas dan kualitas.
Berkenaan dengan evaluasi ini syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah mengatakan : “Kekeliruan operasi militer setelah meluasnya perang dan tersebarnya Mujahidin di berbagai wilayah adalah, adanya ikhwah yang asyik berperang dengan musuh lokal (rezim murtad) dan kesalahan ini semakin parah akibat berbagai kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh para ikhwah pembuat rencana penyerangan, atau akibat suatu perkara yang terjadi sebelum pelaksanaan ‘amaliyat. Ditambah lagi dalam masalah tatarus/perisai hidup, sehingga mengakibatkan jatuh korban kaum muslimin.” (Letter from Abbotabad hlm 88-89)
Untuk lebih detail mengenai persoalan tatarrus ini, silakan merujuk dan mengkaji kitab At-Tatarrus fil Jihadil Mu’ashir karya syaikh Abu Yahya Al-Libi dikarenakan kondisi yang berbeda dengan kondisi saat ini, dengan batasan-batasan yang jelas.
Lalu kekeliruan yang dievaluasi adalah membunuh orang yang tidak dipahami oleh umumnya kaum muslimin bahwa orang tersebut boleh dibunuh. Oleh karena itu, jika kita berkaca kepada Sirah Nabawiyah, kita akan melihat bahwa Nabi ﷺ tidak membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul, dikarenakan tindakan tersebut bisa mengakibatkan kerugian terhadap dakwah Nabi ﷺ. Dan hari ini kita bisa melihat hal-hal serupa, yang apabila terjadi kesalahan bisa mengakibatkan kerugian bagi Mujahidin yaitu dari sisi hilangnya simpati kaum muslimin kepada mereka, yang kemudian kesalahan-kesalahan tersebut dimanfaatkan oleh musuh untuk memperburuk citra mujahidin di mata masyarakat untuk memisahkan mujahidin dari basis massanya. (Lihat penjelasan Syaikh Usamah dalam Letter from Abbotabad hlm 91-92)
Syaikh Usamah bin Ladin bahkan memberikan penekanan lebih tegas pada salah satu bentuk kesalahan Mujahidin, beliau mengatakan: “Adapun di antara ‘amaliyat yang memiliki dampak sangat negatif terhadap pendukung Jihad adalah ‘amaliyat yang menargetkan orang-orang murtad di dalam masjid, atau di dekat Masjid”. (Letter from Abbotabad hlmn 93).
Inilah salah satu aspek kesalahan kebijakan strategis yang mengakibatkan kerugian bagi kita di mata umat Islam.
Selanjutnya, berkenaan dengan “Alasan Menghindari Operasi Jihad di Negeri Mayoritas Muslim”, Syaikh Usamah rahimahullah di dalam suratnya kembali menegaskan:
“Ada dua alasan mendasar mengapa kita harus menghindari pelaksanaan operasi militer di negeri-negeri kaum Muslimin. Pertama, serangan yang dilakukan di negeri-negeri Muslim akan semakin membuka peluang jatuhnya korban dari kaum Muslimin. Meskipun para ikhwah telah diingatkan agar tidak terlalu longgar dalam menimbang masalah tatarrus, namun mereka masih saja belum paham batasan-batasannya, sehingga dalam realitanya masih saja terjadi sikap yang terlalu longgar dalam masalah tatarrus ini. Hal ini menjadikan kita memikul tanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu satu persoalan, kemudian kita juga harus memikul kerugian dalam proyek lapangan dan gangguan dalam mendakwahkan Jihad.
Kedua, kerugian yang sangat besar sekali yang dialami oleh para ikhwah yang berada di daerah tempat mulai dilaksanakannya program ‘amaliyat, sebagai efek dari pemberangusan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para pemuda yang terlibat dalam program Jihad, atau bahkan sampai terhadap para pemuda yang hanya terlibat dalam program dakwah. Lalu ditangkaplah puluhan ribu di antara mereka sebagaimana yang terjadi di Mesir, dan ribuan orang sebagaimana yang terjadi di negeri dua tanah suci [Arab Saudi]”.
Syaikh rahimahullah menegas kembali : “Padahal masalahnya adalah masalah pilihan waktu saja, sementara persoalanya masih ditangani dengan program menguras kekuatan gembong kekafiran dan aliran kehidupan yang menjadi penyokong pemerintah murtad di fron-front jihad yang telah terbuka”. (Letters from Abbotabad hlm.95)
Lalu Syaikh rahimahullah menegaskan lagi dalam pelaksanaan teknisnya:
“Sebelumnya saya telah memberikan perumpamaan khusus untuk menerangkan strategi umum Al-Qaeda ini, yakni berkonsentrasi kepada Amerika. Yaitu, bahwasanya musuh umat Islam pada hari ini adalah ibarat pohon yang jahat. Batangnya adalah Amerika yang berdiameter 50 cm. Sementara dahan-dahannya banyak dan ukurannya berbeda-beda, yang di antaranya adalah negara-negara yang tergabung dalam NATO dan juga banyak dari kalangan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Kita hendak menumbangkan pohon ini dengan cara menggergajinya. Pada saat kekuatan kita terbatas, maka cara yang benar dan efektif untuk menumbangkan pohon ini adalah dengan memusatkan gergaji kita pada pangkal pohon yang bernama Amerika ini. Kalau pekerjaan kita yang terkonsentrasi ini telah mencapai pertengahan batang yang bernama Amerika sedalam kira-kira 30 cm, kemudian terbuka peluang bagi kita untuk menggergaji dahan yang bernama Inggris, maka kita tidak boleh menggunakan peluang tersebut selama kita masih mampu meletakkan gergaji pada pangkal pohon yang bernama Amerika tersebut. Karena hal itu akan memecah pekerjaan dan kekuatan kita. Karena jika gergaji itu tetap kita konsentrasikan pada batang yang bernama Amerika sampai tumbang, niscaya bagian pohon yang lain akan ikut tumbang, dengan izin Allah.
Kalian dapat mengambil contoh dalam masalah ini pada dampak pemotongan batang pohon yang bernama Rusia [baca: Uni Soviet] yang dilakukan Mujahidin, yang kemudian disusul dengan tumbangnya seluruh cabangnya [kelompok dan negara komunis] satu persatu, sejak dari Yaman Selatan sampai Eropa Timur, tanpa kita harus berpayah-payah mengerahkan tenaga untuk menumbangkan cabang-cabang tersebut pada masa itu. Oleh karena itu, setiap anak panah dan setiap ranjau yang memungkinkan untuk diarahkan kepada Amerika dan kepada selain Amerika, maka hendaknya lebih dipilih untuk diarahkan kepada Amerika dan bukan kepada selain Amerika, baik itu NATO apalagi selain NATO. Misalnya saja kita tengah mengintai musuh di jalan antara Kandahar dan Helmand. Lalu lewat iring-iringan tank musuh; tentara Afghanistan di barisan pertama, lalu iring-iringan tentara NATO di barisan kedua, dan iring-iringan tentara Amerika di barisan ketiga. Maka hendaknya serangan kita lebih difokuskan kepada iring-iringan barisan ketiga, meskipun jumlah tentara musuh pada barisan tank yang lain lebih banyak.” (Letter from Abbotabad hlm 44-46).
Berdasarkan semua keterangan ini, dapatlah kita pahami mengapa ketika Syaikh Abu Qatadah hafizhahullah ditanya tentang kabar dan perkembangan di lapangan bahwa Daulah berhasil menguasai wilayah yang luas dari Iraq dan Suriah, dan bahwa Jamaah ini memiliki perlengkapan militer yang besar berasal dari gudang-gudang persenjataan pasukan Iraq, maka dijawab oleh beliau: “Saya tidak peduli berapa banyak perlengkapan dan persenjataan mereka, karena kekuatan jamaah Jihad adalah terletak pada dukungan masyarakat terhadapnya, dan ini tidak bisa dipenuhi oleh Jamaah Daulah”.
Kita telah memahami bahwa di antara strategi baru Al-Qaeda adalah tidak melakukan amaliyat di negeri-negeri kaum Muslimin seperti Indonesia, Malaysia, Brunei dan yang semisalnya. Karena dampak negatif yang diterima tidak sebanding maslahat yang didapat, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.” Artinya, “Menolak mudharat (yang jelek-jelek) itu lebih diutamakan dibanding mendatangkan kemaslahatan (yang baik-baik)”.
Maksudnya adalah ketika terdapat suatu perkara yang dapat mendatangkan maslahat tapi dalam waktu yang sama juga membahayakan (medatangkan mudharat), maka operasi-operasi amaliyat yang justru mendatangkan mudharat harus segera ditinggalkan.
Syaikh Usamah rahimahullah menjelaskan bahwa operasi militer semacam ini sudah sampai kepada bahaya yang sangat besar. Karena hilangnya simpati masyarakat merupakan faktor yang melumpuhkan semua gerakan Jihad, maka menurut hemat beliau adalah agar menargetkan kepentingan-kepentingan Amerika yang berada di luar negeri-negeri kaum Muslimin sebagai prioritas utamanya, terutama di negeri mereka sendiri atau negeri-negeri orang kafir lainnya, dan hendaknya menghindari pelaksanaan ‘amaliyat di negeri-negeri kaum muslimin selain negeri-negeri yang mengalami agresi dan penjajahan secara langsung.
Ada dua alasan mendasar mengapa kita harus menghindari pelaksanaan ‘amaliyat-‘amaliyat di negeri-negeri kaum Muslimin:
Pertama, Serangan yang dilakukan di negeri-negeri Muslim akan semakin membuka peluang jatuhnya korban dari kaum Muslimin. Hal ini menjadikan kita memanggul tanggung jawab kita di hadapan Allah Ta’ala.
Kedua, Kerugian yang sangat besar sekali dialami para ikhwah yang berada di daerah tempat dilaksanakan program amaliyat, sebagai efek dari pemberangusan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para pemuda yang terlibat dalam program Jihad! Atau bahkan sampai terhadap para pemuda yang hanya terlibat dalam program dakwah. Lalu ditangkaplah puluhan ribu orang di antara mereka sebagaimana yang terjadi di Mesir, dan ribuan orang sebagaimana yang terjadi di negeri dua tanah suci (Arab Saudi), dan ini juga terjadi di Indonesia yang juga mengakibatkan ratusan ikhwah terutama ikhwah yang pernah mengikuti tadrib di Afghanistan dan Filipina menjadi sasaran Satgas Bom dan Densus 88 waktu itu. Bahkan di Malaysia, lembaga pendidikan yang dikelola oleh sekelompok para pelaku juga menjadi sasaran penutupan. La haula walaa quwwata illa billaah. Wallaahu a’lamu bishshawaaab.
Dampak operasi serampangan telah banyak menimbulkan gerakan Shahawat yang memerangi Mujahidin
Syaikh Abu Ubaidah tidak memungkiri bahwa Majelis Ash-Shahwat alias Majelis Shahwat Ar-Riddah yang dibentuk oleh aliansi penjajah AS-NATO di Irak —dan kemudian dikembangkan di wilayah-wilayah jihad di luar Irak: Afghanistan, Pakistan, Yaman, Somalia dan lain-lain, merupakan salah satu tantangan besar dalam Jihad bahkan inilah cara yang cukup efektif di lakukan rezim murtad Yaman yang dibantu Amerika dengan membentuk Komite Popular yang diisi oleh kalangan Sururi, Ikhwanul Muslimin dan Salafi di Yaman sebagaimana dijelaskan berungkali oleh Syaikh Nasir Abu Bashir Al-Wuhaisy hafizhahullah dalam salah satu suratnya kepada Amir AQIM.
Dalam risalahnya, komandan lapangan dan instruktur militer mujahidin Al-Qaeda pusat, Syaikh Abu Ubaidah Abdullah bin Khalid Al-‘Adam mengatakan:
“Tidak selamanya Dewan Kebangkitan muncul karena dibentuk dan dipersenjatai oleh musuh. Justru terkadang Dewan Kebangkitan muncul sebagai reaksi atas sebagian kesalahan yang dilakukan oleh mujahidin tanpa ada kesengajaan, disebabkan oleh keterbatasan mujahidin dalam memahami tuntutan-tuntutan skala prioritas fase jihad yang sedang mereka terjuni. Allah semata Yang Maha Menjaga dari segala bentuk ketergelinciran. ( lihat:Shahwat Ar-Riddah was Sabil li-Man’iha ).
Dampak-dampak negatif inilah yang tidak dipahami oleh ikhwah-ikhwah di lapangan, Persoalannya perang bukan saja membunuh atau dibunuh, tetapi juga harus memperhatikan simpati umat. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kehilangan simpati umat akibat ketidakcermatan memilih target dan tidak memperhatikan resiko akibat pelaksanaan aneka operasi militer yang sembrono, telah membuat Mujahidin dihadapkan pada banyak kesulitan. Karena terpisahnya Jihad dari basis masanya adalah kekalahan yang sesungguhnya.
Dan tidak mustahil gerakan semacam akan muncul di Indonesia, dan hal ini menjadi alasan bagi pihak yang tidak suka dengan perjuangan syariat Islam untuk membungkam Dakwah dan Jihad kita di bumi Nusantara ini. Dampak negatif ini yang selalu dikhawatirkan oleh para ulama kita, bahkan Syaikh Al-Maqdisi menegaskan kembali dalam jawaban beliau yang pernah dimuat oleh Muqawamah Media dan Arrahmah.
Bersambung…
(banan/arrahmah.com)