(Arrahmah.com) – Di awal tahun 2016 pada Kamis (14/1/2016) pagi sekitar pukul 11:00, Indonesia telah dikejutkan dengan sebuah aksi penyerangan. Ledakan beruntun terjadi di sekitar halaman parkir depan kafe Starbucks, Jalan Husni Thamrin, Jakarta Pusat.
Para pelaku beraksi di perempatan dekat pusat perbelanjaan Sarinah di mana pihak kepolisian langsung melakukan pengejaran terhadap pelaku. Sempat terjadi baku tembak di dekat kafe Starbucks dan pos polisi Sarinah. Polisi pun menutup dan mensterilisasi kawasan itu. Jalan Thamrin hingga Bundaran Hotel Indonesia ditutup untuk dua arah.
Sebagaimana diketahui, aksi-aksi semacam ini sudah mendapat banyak teguran dan koreksi atas banyaknya mudharat yang didapatkan ketimbang manfaatnya. Apapun alasannya, tegas Ustadz Abu Jihad Al-Indunsiy, aksi yang bisa mendistorsi makna Jihad dan menyebabkan tertumpahnya darah kaum Muslimin tetap tidak bisa dibenarkan.
Ustadz Abu Jihad yang melihat aksi tersebut dari sudut pandang seorang jihadis dan mantan narapidana tindak pidana “terorisme” yang bahkan juga mengenal beberapa pelaku, menegaskan bahwa Jihad itu sejatinya disyari’atkan lagi diberkahi, memiliki tujuan tinggi dan target yang terpuji.
Bagaimana metodologi dan logika yang dipakai oleh para pelaku, trend baru yang dilakukan oleh mereka dan bagaimana aliran Jihad Global menilai operasi-operasi seperti ini? Ustadz Abu Jihad menguraikannya secara rinci dalam rangkaian risalah berikut.
Kehalalan (Operasi Militer) yang Masih Dipertanyakan?
Oleh : Abu Jihad Al-Indunsiy
”Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93)
Kemudian, dalam hadits dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ
“Lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan pembunuhan terhadap seorang Muslim.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1395 dan dishahih Al-Albani).
Bahkan, Rasulullah ﷺ mengancam orang yang berani membunuh orang kafir dzimmi atau ahlul amn yang terlindungi darahnya akan dijauhkan dari Surga.
من قتل معاهداً لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاماً
“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian perlindungan (mu’ahad), maka dia tidak akan mencium wangi Surga. Sungguh, wangi Surga itu tercium sejauh jarak empat puluh tahun.” (HR. Bukhari 3166)
Dalam hadits dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
أول ما يقضى بين الناس يوم القيامة في الدماء
“Sengketa antar-manusia yang pertama kali diputuskan pada hari Kiamat adalah masalah darah.” (HR. Bukhari 6533 dan Muslim 1678)
Belum lama ini kita telah dikejutkan oleh sebuah Amaliah atau rangkaian operasi yang dilakukan oleh orang-orang yang diklaim sebagai para “Junud Khilafah”, yaitu para tentara khilafah, sebuah kelompok yang dinisbatkan kelompok pendukung khalifah Abu Bakar Al-Bahgdadi. Tidak hanya itu, ternyata kami pun mengenal beberapa pelakunya, dan in syaa Allah kita akan mengurai metodologi dan logika yang dipakai oleh para pelaku, trend cara baru yang dilakukan oleh para pelaku dan bagaimana aliran Jihad Global menilai operasi-operasi seperti ini.
Kamis (14/1/2016) pagi, sekitar pukul 11:00 di awal tahun 2016, kita telah dikejutkan dengan sebuah aksi penyerangan. Sebagaimana yang diketahui, aksi-aksi tersebut sudah mendapat banyak teguran dan koreksi atas banyaknya mudharat yang didapatkan ketimbang manfaatnya. Apapun alasannya, aksi tersebut tetap tidak bisa dibenarkan dalam sudut pandang syar’i sekalipun. Sikap dan perilaku serangan seperti ini berani kita tentang dengan tegas karena, alhamdulillah, kami sebagai jihadis, mujahidin dan mantan narapidana tindak pidana “terorisme”, sudah mengevaluasi manfaat dan mafsadat masalah ini, yang kesimpulannya tidak lagi diperbolehkan untuk dilakukan. Bahkan ketika beberapa rekan-rekan sesama jihadis anti-ISIS mulai tergiur dan terpancing membenarkan aksi-aksi destruktif yang mengatasnamakan jihad ini.
Al-Qaeda Berlepas diri dari Aksi-Aksi di Negeri-Negeri Muslim
Syaikh Athiyyatullah Rahimahullah, seorang komandan Al-Qaeda, amir wilayah Khurasan, Mufti dan pemimpin operasi Militer Tanzhim Al-Qaeda di dalam acara Liqa’ Al-Maftuh yang diterbitkan As-Sahab Media, dan sempat dipublikasikan oleh Muqawamah Media dan Arrahmah mengatakan, “Kami jelaskan bahwa kami terikat oleh Syari’ah (Undang-undang) Rabb kami Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia yang mengharamkan membunuh jiwa kecuali dengan (alasan) yang benar, sejahat apapun dan selalim apapun musuh, juga seberapapun banyak kebencian dan permusuhan yang telah terakumulasi dalam perang. Sesungguhnya diin (agama) Allah -Yang Maha Perkasa lagi Tinggi- lebih berharga dan lebih tinggi. Dan sungguh kesuksesan dengan keridhaan dan kemuliaan Allah, lebih mulia dan lebih tinggi dari seluruh tujuan.
Maka kami berlepas diri dari pekerjaan apapun sejenis ini (membunuh Muslim tanpa alasan yang benar), yang dilakukan oleh pihak apapun dan di tempat manapun. Sama saja (oleh) kelompok jahat yang dinisbatkan pada musuh, korporasi keamanan kafir bayaran – semoga Allah menghinakan mereka – ataupun yang dinisbatkan pada kaum Muslimiin dan pada Mujahidin, sedangkan kelompok-kelompok itu menggampangkan dan menyepelekan.
Sesungguhnya kami jelas menganggap pekerjaan seperti itu termasuk perbuatan merusak di bumi ini, serta kami anggap hina.
“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah : 205)
“Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Maidah : 64)
Sesungguhnya jihad kami yang disyari’atkan lagi diberkahi, memiliki tujuan tinggi dan target kami terpuji. Semuanya adalah keadilan, rahmah, kebaikan, kemuliaan, keperkasaan, keagungan, kebajikan, kesuksesan dan keberuntungan yang terhimpun oleh ridha Allah – Yang Maha Tinggi – dan alam bersamanya, dalam barisannya dan sebagai penolong bagi-Nya –Yang Maha Perkasa lagi Mulia-. Kami meninggikan kalimat Allah serta menolong dan melindungi diin-Nya. Kami benarkan kebenaran, kami tolak kezhaliman dan kelaliman, kami bebaskan manusia dan Negara, serta kami tebarkan Rahmah dan kami berikan manfaat pada makhluk.
Kami ingatkan saudara-saudara kami para Mujahidin di setiap tempat –semoga Allah memberikan taufiq pada mereka- (kami ingatkan) pada pentingnya menebarkan dan menyebarkan ilmu mengenai haramnya darah seorang Muslim, wajibnya berhati-hati dalam urusan darah, menjaganya, memeliharanya dan dengan ilmu itu takut jika darah tertumpah tanpa (alasan) yang benar, juga wajibnya menutup jalan apapun yang memberikan keleluasaan untuk meremehkan darah, harta, dan kehormatan pemeluk Islam, agar perang tidak melebihi atmosfir, keadaan, permusuhan dan kedengkiannya di atas berpegangnya kita terhadap syari’ah Rabb – Yang Maha Perkasa lagi Mulia – dalam urusan ini dan dalam segala urusan, dan di atas ‘ubudiyyah kita yang sempurna pada-Nya – Yang Mahasuci lagi Tinggi -. Maka kami sebagai hamba dan tentara Allah –Yang Maha Perkasa lagi mulia- berjalan di atas jalan Muhammad –semoga Allah limpahkan shalawat dan salam padanya- dengan komitmen penuh, kesabaran dan keyakinan.
Sesungguhnya tempat ini adalah tempat mengingatkan, menguatkan dan menjelaskan pada sikap yang jelas dan bukan penjelasan yang bertele-tele, di samping sungguh nash-nash syari’ah yang suci dalam area ini tidak tersembunyi bagi seluruh kaum Muslimin. Dan mengenai penjelasan mulianya dan besarnya nilai jiwa yang beriman, serta haramnya darah orang Islam, cukuplah perkataan Nabi –semoga Allah limpahkan shalawat dan salam padanya- :
“Sungguh hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh seorang Muslim.” (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i)
Biarlah dunia ini lenyap, kita lenyap, organisasi-organisasi, jama’ah-jama’ah dan proyek-proyek kita juga lenyap, sedangkan darah seorang Muslim tidak tertumpah di tangan kita tanpa (alasan) yang benar. Sesungguhnya ini adalah masalah yang krusial lagi sangat jelas. Selesai
Demikian manhaj Al-Qaeda sangat jelas, bahkan Syaikh Ayman Az-Zhawahiri juga mengatakan bahwa ini adalah perbedaan 2 manhaj sebagaimana dikatakan berikut :
“Ini adalah merupakan perbedaan di antara dua manhaj.” Dan manhaj kami adalah manhaj yang berhati-hati terhadap urusan darah dan menjauhi operasi-operasi yang menyebabkan tumpahnya darah tanpa alasan yang benar di pasar-pasar dan di masjid-masjid serta pemukiman-pemukiman penduduk, serta (menjauhi operasi-operasi yang menyebabkan pertumpahan darah) di antara jamaah-jamaah jihad. Dan manhaj kami juga sangat berantusias untuk mengumpulkan umat dan menyatukannya di atas kalimat tauhid dan bekerja untuk mengembalikan Khalifah Rasyidah yang tegak di atas landasan syura dan keridha-an kaum muslimin.” (Bayan bi Syu’un Jama’ah Qa’idatul Jihad bi Jama’atid-Daulah Islamiyah fil Iraq wasy Syam 21 Rabi’ul Awwal 1435 H)
Arahan umum beliau juga sangat jelas, di dalam Taujihatul Ammah dikatakan kembali oleh beliau dan media Muqawamah dan Arrahmah pernah merilisnya di dalam ponit ke (4) empat :
” Tidak terlibat dalam konfrontasi peperangan dengan rezim-rezim lokal kecuali jika kondisi memaksa kita, misalnya rezim lokal menjadi bagian dari kekuatan Amerika seperti di Afghanistan, atau mujahidin memerangi boneka Amerika seperti di Somalia dan Semenanjung Arab (Yaman), atau rezim lokal tidak menerima keberadaan mujahidin seperti di Maghrib Islami, Irak dan Syam.
Namun harus berusaha untuk menghindari peperangan melawan rezim lokal setiap kali hal itu bisa dilakukan dan jika kita terpaksa harus berperang melawan rezim lokal, maka kita harus menunjukkan bahwa peperangan kita melawan rezim lokal tersebut merupakan bagian dari pembelaan diri kita dari invasi Salibis terhadap kaum Muslimin.
Di mana saja kesempatan memungkinkan kita untuk meredakan konfrontasi melawan rezim-rezim lokal guna memanfaatkan fase tersebut untuk kegiatan dakwah, penjelasan, penghasungan untuk berjihad, pembentukan mujahidin (pelatihan militer), mengumpulkan dana dan pendukung, maka kita harus memanfaatkannya semaksimal mungkin. Karena peperangan kita ini panjang, jihad membutuhkan qa’idah-qa’idah aminah (basis-basis pendukung yang aman), dan bantuan terus-menerus baik berupa tenaga tempur (mujahidin), harta maupun kapabilitas-kapabilitas lainnya.
Dan hal ini tidak bertolak belakang dengan (kegiatan untuk) memahamkan rezim-rezim boneka bahwa kita bukanlah makanan empuk yang mudah mereka lahap dan bahwa setiap aksi akan ada reaksi yang sesuai, meski setelah waktu yang lama. Hal ini harus diterapkan dalam semua front sesuai dengan situasi masing-masing. Selesai
Dan arahan ini di ikuti oleh cabang-cabangnya di antaranya : Al-Qaeda in Islamic Maghrib (Al-Qaeda Wilayah Islam Maghrib), merilis pesan melalui salah satu tokohnya yaitu Asy-Syaikh Ahmad Abu Abdillah hafizhahullah, yang dirilis pada hari Selasa, 11 Rajab 1434 H / 21 Mei 2013 M. Dalam pesan audio yang berjudul Risalatu Nush-hin wa Bayanin Li Harakatin Nahdhah bi Tunisil Qairwan itu, Syaikh Ahmad Abu AbdilIlah hafizhahullah menyampaikan 15 poin untuk kaum Muslimin, di antaranya adalah:
Poin pertama:
“Kami menegaskan kembali bahwa kami masih mematuhi arahan-arahan Syaikh dan Amir kami, Syaikh Dr. Aiman Az-Zhawahiri hafizhahullah untuk tidak menyerang pemerintah-pemerintah yang berkuasa setelah terjadinya revolusi, dan untuk menjulurkan tangan kerjasama dengan pemerintah tersebut dalam rangka mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam dan membebaskan negeri-negeri kaum Muslimin, terutama adalah Palestina, serta menegakkan keadilan di tengah-tengah kaum Muslimin.”
Poin keempat belas:
“Kami perbaharui lagi komitmen kami terhadap nasehat-nasehat Amir kami Syaikh Dr. Aiman Az- Zhawahiri, dan arahan-arahan Amir untuk wilayah kami Syaikh Abu Mush’ab ‘Abdul Wadud, untuk tidak menyerang tentara dan aparat keamanan Tunisia, kecuali dalam rangka membela diri. Dan saya berharap pemerintah Tunisia membaca pesan ini secara benar.”
Fase ini dikenal sebagai fase menyedikitkan lawan dan memperbanyak kawan di karenakan kekuatan Mujahidin hari ini ibarat seorang bayi yang baru merangkak berdiri dan berjalan. Maka tidak bijak jikalau kita membebaninya di luar kesanggupannya sehingga menyebabkan bayi tersebut sulit berjalan, kelelahan lalu membinasakannya. Demikianlah kebijakan yang mewarnai pola Jihad di wilayah Maghrib Islam, semoga hal ini menjadi perhatian serius bagi para aktifis dakwah dan jihad. Selesai.
Polemik yang Senantiasa Selalu ada Dalam menilai Polri dan TNI
Adapun dari sudut pandang jihad global, persoalan ini sebenarnya merupakan dialektika lama yang terjadi sejak pertengahan tahun 1980-an di Mesir dan negara-negara Jazirah Arab. Tahun-tahun tersebut merupakan fase akhir dari episode Jihad melawan pemerintah murtad (rezim thaghut lokal), di Jazirah Arab (dan sayangnya juga diseluruh penjuru bumi) yang penuh dengan kegagalan.
Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah menggambarkan keadaan perlawanan terhadap rezim thaghut lokal sebagai sesuatu yang gagal dan tidak strategis, beliau mengatakan:
“Kalian sendiri tahu bahwa kebanyakan jamaah jihad yang bersikukuh untuk memulai peperangan dengan musuh internal [yaitu penguasa murtad dalam negeri] telah tergelincir perjalanannya dan belum dapat mewujudkan target-targetnya… (sampai pada kalimat beliau). Demikian pula yang terjadi pada usaha yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah Mesir dan Jamaah Jihad Mesir, juga para ikhwah di Libya dan Aljazair.” (Strategi Operasi Jihad Global Al-Qaeda-Letter from Abbotabad hlm : 50-51].
Lebih parah lagi kegagalan demi kegagalan dalam Jihad melawan rezim lokal ini bukan hanya berimbas kepada musnahnya aset-aset militer, politik dan ekonomi jamaah jihad, tetapi juga munculnya fenomena pertentangan dan saling menyalahkan antar jamaah-jamaah Jihad yang ada. Inilah yang terjadi di Mesir pada saat itu.
Sekitar tahun 1987, pasca terjadinya serangan balasan dari Al-Jamaah Al-Islamiyah Mesir terhadap para polisi dan tentara serta serangan terhadap bus turis di kawasan wisata Sharm Asy Syaikh. Al-Jamaah Al-Islamiyah mengeluarkan sebuah kitab yang menjelaskan landasan syar’i atas operasi mereka serta tujuan operasi mereka yakni untuk mendestabilisasi negara, membebaskan para tawanan dan membalas kekalahan paska operasi militer rezim terhadap mereka atas tuduhan pembunuhan presiden Anwar Sadat.
Kitab berjudul Al Qaulul Qathi’ fi man Animtana’aanisy Syarai’ tersebut ditulis dari dalam penjara oleh para Masyayikh Al-Jamaah Al-Islamiyah Mesir pada saat itu. Salah satu isi pembahasan kitab tersebut membahas tentang status dan kedudukan tentara dan polisi yang mengaku Islam di sebuah negara sekuler seperti Mesir.
Buku ini memiliki kandungan yang sangat lengkap, menyeluruh dan berimbang dalam meninjau sebuah operasi militer di sebuah negara yang didalamnya berpenduduk mayoritas Muslim dengan aparat yang mengaku Muslim. Secara syar’i, buku ini memisahkan antara persoalan mengkafir-murtadkan aparat militer yang mengaku Islam dengan sebuah operasi militer untuk memerangi mereka. Dengan kata lain Al-Jamah Al-Islamiyah tidak serta merta mengkafir-murtadkan aparat militer/kepolisian yang mereka perangi. Pendekatan fiqih dalam buku ini begitu mudah dikenali dalam pendekatan fiqih Al-Qaeda di kemudian hari.
Buku ini kemudian diterjemahkan dalam edisi Indonesia dan diterbitkan dengan judul: Menolak Syariat Islam, oleh penerbit Islam Al-Alaq, sebuah penerbit buku yang pernah mengharu biru dunia pergerakan Islam di Indonesia melalui buku-buku karya Syaikh Abdullah Azzam dan Al-Jamaah Al-Islamiyyah Mesir seperti serial Tarbiyah Jihadiyah dan buku berjudul Ikrar Perjuangan Islam. Sayangnya, karena sekian banyak faktor penerbit ini kemudian menutup usahanya. Dan edisi terjemahan buku tersebut sudah begitu sulit dicari.
Anehnya, Jamaah Jihad Mesir yang sebelumnya senantiasa seiring sejalan dalam jihad bersama Jamaah Islamiyah, dan sempat hampir melebur menjadi satu (lihat buku: Balada Jamaah Jihad karya: Dr. Hani’ As-Siba’i) membantah pembahasan dalam kitab tersebut, melalui tulisan Amir Jamaah Jihad ini yakni Dr.Sayyid Imam, yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz dalam buku beliau Al-Jamii fi Thalabil ilmi Syarif bab Iman wal Kufr.
Dalam bantahannya terhadap kitab Al-Qaulul Qathi’, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz ternyata tidak memisahkan antara sikap mengkafirkan para tentara dan polisi ini dengan sikap untuk memerangi mereka. Beliau juga mengelompokkan mereka sebagai Kafir Mumtani’ Bisy Syaukah (orang-orang kafir yang melawan dengan kekuatan). Sayangnya penerapan Dhowabit Takfir yang disajikan oleh Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz ini, memiliki banyak kecacatan dan dicurigai sebagai salah satu faktor pemicu merebaknya fikrah khawarij sehingga menuai banyak kritik dari para ulama.
Syaikh Abu Bashir At-Tarthusi menerbitkan bantahan bahasan metode pengkafiran ala Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz tersebut dalam buku Al-Qawaidu fit Takfir. Demikian pula Syaikh Al-Maqdisy mengkritiknya dalam catatannya berjudul An-Nukat Al-Lawami’. Dan terakhir, Majelis Komando Tertinggi Al-Qaeda atas perintah Syaikh Usamah (silakan cek dalam buku Letter from Abbotabad) memerintahkan Syaikh Abu Yahya Al-Liby untuk menulis Nazharat fil Ijma Qath’i (surat perintah Syaikh Usamah bisa dilihat dalam Rasail Syaikh Usamah allati Nusyirat Ba’da Istisyhadihi risalah no.19, hlm 47-48).
Berbagai ulasan dan pandangan para Ulama Mujahidin Ahluts Tsughur tersebut mewakili sebuah riset yang cukup panjang, mengenai keadaan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Adapun kajian yang nantinya kami suguhkan kepada pembaca mengenai apa dan bagaimana sikap kita seharusnya dalam menghadapi para ansharut thaghut berbaju militer dan polisi ini, tidak terlepas dari bimbingan para Ulama Mujahidin Al-Qaeda, meskipun di sana-sini ada kutipan-kutipan yang diambil dari pembahasan kaum salafy maz’um, itu semata-mata hanya sebagai pelengkap pembahasan fiqhiyyah. Adapun kesimpulan akhir tetap merujuk kepada apa yang telah digariskan oleh para ulama Mujahid Al-Qaeda. (Muqaddimah status TNI dan POLRI dalam timbangan Syar’i oleh : Abu Jihad Al-Indunisi )
Sisi buruk menargetkan polisi dan tentara thogut rezim murtad di negara-negara mayoritas muslim?
Syaikh Abu Mush’ab As-Suri fakallahu asrah mengatakan di dalam kitab “Dakwah Muqawamah”-nya bahwa 14 eksperimen Jihad melawan pemerintahan thaghut murtad di seluruh dunia Islam telah gagal, mengalami kebangkrutan, gagal dalam merealisasikan sasaran dan masuk ke dalam lubang krisis.
Karena pendekatan mereka bisa dikatakan tidak populer, tidak nyambung dengan logika umat seperti pendekatan Hakimiyah, Uluhiyah sebuah pendekatan komunikasi politik yang sulit dipahami oleh kebanyakan umat Islam bahwa rezim ini adalah musuh Islam. Dikarenakan adanya syubhat ihtilal /penyakit sisa penjajahan yang panjang yang mengakibatkan tata cara berfikir dan kejiwaan yang salah, sehingga telah mengakibatkan kerusakan dalam dimensi kehidupan, syubhat dan syahwat yang dilemparkan ulama-ulama suu’, baik kurikulum pendidikan dan lingkungan yang buruk, minimnya pendidik yang mumpuni menjadi pelengkap penderitaan umat ini, ditambah kejamnya rezim thagut terhadap aktifis Islam, pelecehanya terhadap Islam dan syariat Islam menyebabkan munculnya anak-anak muda “bersumbu pendek”, galau dan frustasi, akibatnya semakin menumbuh suburkan sikap keras (tasyadud), ekstrem (ghuluw) sehingga kejadian dan peristiwa mengatasnamakan Jihad dengan sasaran target yang salah. Selain itu juga terjadi pelanggaran syar’i di sana-sini dan meniadakan dhawabith (aturan main) di dalam kaidah-kaidah syariat.
Demikian pula, pemahaman menyamakan polisi dan tentara sebagai kelompok kafir seperti kafir asli adalah tidak benar tanpa melihat syuruth (syarat-syarat), mawani’ (penghalang-penghalang) dan tanpa melihat realita kenyataan di medan tempur atau bukan. Bahkan cara istimbath dan istidlal ulama-ulama seperti syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz fakallahu asrah dan Syaikh Abu ‘Ashim Al-Maqdisi hafizhahullah masih menjadi perdebatan bahkan boleh dibilang keliru karena menyamakan aparat polisi dan tentara di negara-negara Muslim dengan kafirnya Fir’aun, Haman dan bala tentaranya. Silahkan dikaji makalah “Al-Hukmu ‘ala Juyusy wa Syurtha Ad-Duwal, Muqtathafat Muhimati min Kalamis Syaikh Athiyatullah Al-Libi Rahimahullah / Hukum tentara dan Polisi di Beberapa Negeri Muslim, Renungan penting dari pendapat Syaikh Athiyatullah Al-Libi”. Begitu juga menyamakan status tentara dan polisi di negeri-negeri Muslim dengan bala tentara Musailamah Al-Kadzab. Berkenaan dengan hal ini, kami memohon untuk mengkaji kembali “Nazharat fi Al-ijma’ Al Qath’i” karangan Syaikh Hasan Muhamad Qaid atau Syaikh Abu Yahya Al-Libiy rahimahullah bahwa status mereka masih diperselisihkan.
Dan diterangkan dalam makalah Risalatu Munashahabah wa Tadzkir, hal 2-3 dikatakan: “Hukum asal pada tentara pemerintahan-pemerintahan yang memerintah dengan selain hukum Allah, adalah ia seseorang tentara thaghut yang kufur, boleh memeranginya untuk meruntuhkan thaghut dan menegakkan hukum Allah, hal ini tidak menghalangi adanya individu-individu dalam tentara pemerintahan thagut tersebut yang tidak berstatus kafir akbar yang mengeluarkan dari millah (agama Islam), karena adanya sebuah penghalang dari penghalang-penghalang kekafiran pada diri mereka yang tidak nampak jelas bagi kita”.
Jadi di sini bukan hanya aspek yuridis halal atau haram membunuh polisi yang masih debatable di kalangan ulama-ulama Islam, bahkan dalam aspek politik memerangi polisi dan tentara di negara yang aman seperti Bahrain, Qatar, Indonesia juga mempunyai aspek buruk dalam pencitraan bagi Islam, Jihad dan Mujahidin di mata umat Islam. Jika berkaca kepada arahan Jihad Global Syaikh Aiman Az-Zhawahiri hafizhahullah yang mengatakan ketika ditanya oleh Abu Thalhah Al-Gharib: “Apakah antum mengkafirkan Tentara Arab secara kufrun nau’ (kekafiran secara umum) ataukah kufrul ‘ain (kekafiran secara personal), ataukah dalam masalah ini diperinci?”.
Beliau menjawab: “Pengkafiran terhadap tentara dan lembaga keamanan itu dilakukan dengan perincian. Adapun menurut pendapat saya bahwa para dubbats mabahist (para perwira intelijen) dalam lembaga keamanan negara yang menjadi bagian dari lembaga kontra aktivitas keagamaan dan orang-orang yang seperti mereka, yang menginterogasi dan menyiksa orang-orang Islam, mereka ini adalah orang-orang kafir secara ta’yin (perorangannya). Namun perselisihan dalam masalah ini, efeknya sangat sedikit sekali dan hanya terbatas pada hukum-hukum pribadi seperti pernikahan dan warisan. Adapun secara praktek, dalam memerangi mereka tidak ada perbedaan pendapat antara dua pendapat tersebut. Dan perselisihan dalam masalah ini ada kelonggaran. Akan tetapi yang harus benar-benar diwaspadai adalah manhaj yang dianut oleh penulis buku Watsiqatut Tarsyid, ketika dia mengkafirkan mereka secara ta’yin. Bahkan dia mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mereka. Namun kemudian akhirnya, secara terpaksa atau sukarela, dia menjadi alat yang dipermainkan oleh mabahits (intelijen). Dan dalam masalah ini saya sarankan untunk mengkaji risalah Nadharat fil Ijma’ al-Qoth’i karya syaikh Abu Yahya al-Libi hafidzahullah.” (Al-Liqa’ Al-Maftuh ma’a Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri, juz 1:23, Penerbit As-Sahab Media. Th.1429 H. ).
Dari sini arahan Masyayikh, Qadah Jihad dan para Ulama kita mengkhawatirkan adanya fenomena orang-orang aneh yang mudah mengkafirkan. Karena sikap ekstrem atau ghuluw dalam beragama, dan sikap mereka itu ternyata berbanding lurus dengan kepentingan musuh-musuh kita. Akan tetapi sebagaimana pembahasan kita di atas bahwa itu semua dikembalikan kepada sejauh mana di tiap-tiap daerah dan wilayah mendapatkan ancaman dari musuh-musuhnya, perlawanan kita kepada rezim murtad adalah dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh.
Syaikh Aiman mengatakan dalam Taujihatul Ummah : “Adapun wilayah-wilayah yang memang memaksa adanya konflik (seperti) di wilayah Afghanistan, konflik yang terjadi antara Mujahidin dengan antek Amerika hanyalah ekses saja, dan masih bersambung dengan konflik melawan Amerika. Di wilayah Pakistan, konflik yang terjadi merupakan bagian dari konflik melawan Amerika yang bertujuan untuk kemerdekaan Afghanistan, serta menciptakan wilayah aman bagi mujahidin di Pakistan, kemudian merintis berdirinya Negara Islam dari wilayah tersebut. Di Irak, konflik yang terjadi antara Mujahidin dengan mereka bertujuan untuk membebaskan wilayah-wilayah Sunni dari cengkeraman antek-antek Amerika dari kalangan Shafawi Iran”.
Bersambung…
(banan/arrahmah.com)