(Arrahmah.com) – Di zaman ini, siasat penghancuran Islam yang dilakukan musuh Islam, tidak ada yang baru, semua pernah terjadi di zaman NabiShallalahu alaihi wa sallam.
Namun manusia modern, seringkali menggunakan kebodohan sebagai tameng menutupi kelemahan, seperi sabda Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam:
“Sungguh Allah tidak akan mencabut ilmu Alqur’an dan Hadits dari tengah tengah manusia. Tapi Allah akan mencabut ilmu itu dengan mewafatkan para ulama yang mengerti Qur’an dan Hadits. Jika Allah tidak menyisakan seorang ulama, maka manusia akan bertanya pada orang bodoh yang jadi ulama. Lalu dia akan berfatwa yang sesat dan menyesatkan”. (Hr. Bukhari)
Jadi, kekuatan yang dapat menjaga eksistensi Islam, bukan kekuatan senjata, tapi kekuatan ilmu. Sekalipun berdiri Daulah Islam, jika ulama yang ahli Qur’an dan hadits tidak ada, maka Islam dan umat Islam sedang menuju titik kritis.
Menurut sabda Nabi Shallalahu alaihi wa sallam di atas, situasi kritis itu akan terjadi karena dua hal. Pertama, wafatnya para ulama. Apa rahasianya sehingga posisi ulama dijadikan kekuatan untuk mempertahankan Islam? Karena ulama yang ahli Quran dan Hadits akan mampu mendeteksi musuh Islam dari sudut pandang Qur’an dan sunnah, sehingga tidak mudah tertipu siasat musuh Islam.
Ulama yang dimaksud, bukan sekadar yang mampu menghafal ribuan hadits, tapi yang paham metdologi memahami hadist, mengerti hadist shahih, dhaif, palsu dll. Juga bukan ‘ulama teknologi’, ‘ulama budaya, ulama seni, dan semacamnya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Allah ciptakan manusia, hewan-hewan melata dan hewan-hewan ternak yang berlainan warnanya. Begitulah. Hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah orang yang berilmu. Sungguh Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. (QS Faathir (35) : 28)
Ada ulama, tapi tidak merasa terhina dengan berfatwa membolehkan jaga gereja di malam Natal. Ini artinya ulama yang tidak paham Qur’an. Ulama seperti ini tiak memahami implementasi surat Alkafirun yang terdiri 6 ayat. Ayat 2 dan 3 berbicara tentang Tuhan yang disembah, yang tidak sama antara orang kafir dan orang beriman. Sedang ayat 4 dan 5 terkait cara menyembah Tuhan, juga tidak sama. Orang Islam menyembah Allah dengan cara berbeda dengan cara orang kafir beribadah menyembah tuhannya.
Adanya ulama yang membolehkan perayaan Natal bersama, atau mengucapkan selamat Natal, menunjukkan dia tidak mengerti Qur’an dan hadits. Natal merupakan ibadah orang Kristen, ikut natal bersama berarti orang Islam ikut menyembah tuhan selain Allah, seoerti dilakukan sejumlah mahasiswa UIN Yogyakarta di gereja Solo. Mereka telah melakukan tindakan kekafiran pada Allah dan itu haram.
Sedangkan mengucapkan selamat Natal berarti, orang Islam ikut menyembah Tuhan dengan cara orang Kristen menyembah tuhannya. Karena Natal adalah cara orang Kristen menyembah Yesus.
Kedua, munculnya orang bodoh jadi ulama. Siasat orang kafir menghancurkan Islam belum berubah, yaitu menghancurkan Islam menggunakan orang Islam sendiri. Hilangnya ulama ahli Qur’an dan sunnah, muncullah ulama su’, dan orang bodoh yang terlanjur diberi predikat ulama. Akibatnya, muncul paham sesat dan menyesatkan. Misalnya, ada ulama yang berfatwa wajib taat pada pemimpin negara sekalipun dia ahli maksiat, tidak mengerti agama, karena dianggap ulil amri. Ada juga ulama yang berfatwa tentang Islam Nusantara yang berbeda dengan Islam Arab, padahal Nabi Islam orang Arab, kitab suci Alqur’an berbahasa Arab, dan Ka’bah yang jadi kiblat orang Islam berada di bumi Arab. Lalu, Islam Nusantara Nabinya siapa, kitab sucinya apa, dan kiblatnya dimana?
Ada contoh lain lagi. Pada 7 Maret 1987, diadakan seminar tentang zakat profesi di UII Yogyakarta. Nara sumber hampir sepakat bolehnya zakat profesi. Lalu Saya bertanya, “Apa definisi zakat profesi? Dan jelaskan istilah profesi bahasa Arabnya apa? Sebab tidak mungkin kita bicara fiqh tanpa mengetahui istilah dalam bahasa Arab.
Untuk memaknai profesi dalam bahasa Arab, terdapat beberapa istilah, seperti mihnah/hobi yang jadi pekerjaan, hirfah/keahlian, ‘amalun/pekerjaan, dan sa’yun/ pekerjaan sebagai pedagang, dokter, insinyur dll. Manakah diantara 4 istilah ini yang kita gunakan memaknai profesi?
Tiba-tiba seorang peserta seminar menjawab, “profesi artinya making money dan non making money.” Jika demikian, apakah seorang mbok bakul yang jual kotoran sapi di pasar dan dapat uang. Apakah termasuk making money dan harus bayar zakat?
Karena zakat profesi itu bid’ah, dan memungut zakat profesi 2,5% pada PNS itu kezaliman. Beginilah, jika ulama yang tidak ahli Quran dan hadits berfatwa, pasti menyesatkan. Bukan ahlinya, tapi ngotot ini lebih berbahaya.
Inilah maksud hadits di atas, bahwa Allah akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Seperti firman Allah: Celakalah orang-orang yang menulis kitab-kitab agama sesuai kehendak mereka sendiri, kemudian mereka mengatakan: “Kitab ini dari sisi Allah.” Mereka bermaksud menukar agama Allah dengan kesenangan dunia yang sedikit. Celakalah orang-orang yang menulis kitab-kitab agama sesuai kehendak mereka sendiri. Celakalah mereka yang memalsukan agama Allah. (QS Al-Baqarah (2) : 79)
Musuh Islam, pada gilirannya tidak merasa perlu menghancurkan Islam dan menjauhkan orang Islam dari Islam menggunanakan senjata atau melalui perang. Tapi cukup merusak pemahaman para ulama melalui pendidikan, intimidasi dan kekuatan finansial. Kerusakan yang ditimbulkan melalui lisa ulama su’ jauh lebih dahsyat daripada perang.
Karena itu penting bagi dunia Islam, lembaga pendidikan Islam, menggalakkan pendidikan yang tidak sekadar hafal Qur’an dan hadits atau ahli sejarah, politik dan pemikiran Islam. Tetapi yang lebih penting melahirkan ulama yang ahli Qur’an dan hadits dengan segala seluk bekuk dan implementasinya.
Narsum: Ustadz Muhammad Thalib
Notulen: Ustadz Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)