(Arrahmah.com) – Salah seorang mantan petinggi kelompok “Daulah Islamiyah”, atau Islamic State (IS), yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, di Yaman, mengungkapkan sebuah pengakuan setelah ia menyatakan diri bertaubat meninggalkan ISIS dan kemudian kembali ke Al-Qaeda.
Dalam kesaksian ini, Abu AbduRazzaaq menyatakan bahwa ia menyadari dirinya telah terjerembab ke dalam kepalsuan ISIS. Ia bersaksi bahwa selama ia dan sejumlah ikhwan lainnya bergabung dengan ISIS, mereka telah belajar berbohong, menipu, memata-matai, mengafirkan, menyuburkan kebencian, ekstremisme, dan hal-hal dengan yang, oleh Allah, disebut sebagai sifat merusak (kefasikan).
Telah banyak anggota ISIS di Yaman yang akhirnya meninggalkan jamaah sesat tersebut dan kembali bertaubat karena mereka tidak bisa menerima ketika mereka diperintahkan untuk memerangi Mujahidin Al-Qaeda yang justru telah terbukti sebagai pahlawan umat yang sering meraih kemenangan mengusir Syiah Houtsi dan pasukan boneka Amerika.
Peristiwa ini pun menjadi tamparan menyakitkan bagi kelompok ISIS karena tidak sedikit dari mereka yang keluar dari ISIS dan kembali ke Al-Qaeda ini adalah orang-orang yang memegang peranan penting dan kepemimpinan di tubuh ISIS Yaman.
Dalam setiap pernyataannya, Abu AbduRazzaaq membahas setiap masalah berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar. Ia menyeru kepada semua saudara-saudara untuk membacanya dengan agama dan keikhlasan untuk memperoleh kebenaran.
Berikut terjemah bagian kedua untaian kalimat kebenaran yang disampaikan oleh mantan petinggi ISIS tersebut selengkapnya, yang dipublikasikan Muqawamah Media pada Selasa (1/12/2015).
Untaian Kalimat Kebenaran (bagian 2)
Mudahnya Mereka Mengafirkan Kaum Muslimin
Oleh: Abu AbduRazzaaq
Salah seorang mantan anggota ISIS cabang Yaman yang bertaubat dan kembali ke pangkuan Al-Qaeda
“Takfir dan Pengkafiran”… Betapa hati saya sangat membenci kalimat ini, terus terang saja, saya lebih suka dibunuh oleh seseorang daripada mendapat tuduhan telah mengafirkan seorang Muslim. Demikianlah hari-hari yang saya lalui ketika bersama dengan Al-Qaeda. Tapi setelah saya bergabung ISIS saya menjadi terkejut dengan begitu banyaknya praktik pengafiran (Takfir) terhadap kaum Muslimin.
Saya akan mengisahkan apa yang saya alami kepada pembaca. Suatu saat, saya berbincang dengan salah satu pemuda ISIS-YAMAN sementara saya berada di salah satu tempat penampungan para penganut Takfiri ekstrim ini. Dan dia berkata kepada saya, “Saya tidak mengafirkan seorangpun kecuali kepada orang yang oleh Allah dan Rasul-Nya telah dinyatakan sebagai orang kafir.” Saya memintanya untuk menerapkan keyakinan tersebut pada tataran realita, saya kemudian bertanya kepadanya tentang status hukum partai Al-Islah (Partai Islam sayap Ikhwanul Muslimin di Yaman)? Dia mengatakan “Mereka kafir.”
Saya bertanya, “Bagaimana tentang Al-Hirak (Pergerakan Selatan)?” Dia mengatakan “Mereka kafir.” Saya juga bertanya tentang status dengan suku-suku yang mengusai sebagian wilayah selatan? Dia mengatakan, “Mereka musyrikin.”
Selanjutnya, saya bertanya, “Bagaimana tentang karyawan yang bekerja di lembaga pemerintah?” Dia mengatakan “Mereka semua kafir bahkan meskipun mereka hanyalah tukang sampah! Demikian pula setiap orang yang memberikan suara dalam pemilu, partai-partai, jamaah-jamaah mereka semua adalah orang kafir!!” Saya tertawa, “Lantas bagaimana dengan orang-orang Salafi?” Dia mengatakan kepada saya “Orang-orang Salafi yang melihat Abd Rabbi Mansour Hadi sebagai seorang Muslim maka dia adalah orang kafir.” Kemudian, saya berkata kepadanya dengan baik-baik, “Lantas bagaimana dengan Al-Qaeda?” Dia mengatakan “Jika Al-Qaeda tidak mengafirkan semua orang yang saya kafirkan tadi, maka Al-Qaeda juga kafir karena orang yang tidak mengafirkan orang yang kafir berarti dia juga orang kafir!!”.
Saya berkata kepada diri sendiri, “Hanya kepada Allah lah kami mengadukan masalah kami… Betapa murahnya derajat agama di mata orang-orang ini, dan betapa mudahnya lisan orang-orang ini berbicara tentang hukum-hukum (agama) Allah.
Sementara Allah Ta’ala berfirman tentang persoalan Halal dan Haram (tentang hukum-hukum agama): “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram.'” (An-Nahl: 116)
Jadi bagaimana Anda bisa berbohong tentang Allah dalam persoalan tentang Iman dan kufur? Anda mengafirkan siapapun yang Anda inginkan, dan mengeluarkan dari rahmat Allah siapapun yang Anda inginkan, dan setelah itu Anda tumpahkan darah siapapun yang Anda inginkan, serta mengambil tawanan wanita dari siapapun yang Anda inginkan, juga mengambil harta rampasan perang dari siapa Anda ingin. Sejauh mana Anda berjalan menuju agama Allah dengan kebodohan, sejauh itu pula Anda terpisah dari agama Allah.
Nabi (ﷺ) mengatakan: “Orang yang mengatakan orang-orang yang binasa, maka ia adalah orang yang membinasakan diri mereka sendiri.” (Shahih). Jika demikian, bagaimana kondisi seseorang yang pekerjannya di siang dan malam hari adalah mengafirkan orang? Setahun yang lalu semua orang ini adalah Muslim, tetapi hari ini mereka menjadi orang-orang kafir menurut kami. Bahkan, kami berani menyatakan bahwa organisasi (Al-Qaeda) telah berubah!
Demi Allah saya telah menyaksikan hal-hal memilukan dan menjengkelkan, begitu banyak orang yang mengafirkan semua manusia, dan tak ada seorang pun yang tinggal dalam lipatan Islam kecuali orang-orang berada di tempat penampungan mereka dan yang memberi Baiat kepada mereka. Dan mereka menjadikan Baiat sebagai syarat Islamnya mereka. Hal yang aneh adalah bahwa mereka mengafirkan seseorang atau kelompok tertentu, tetapi jika mereka memberikan Baiat, mereka bersujud berterima kasih kepada Allah, berteriak takbir dan menyambutnya tanpa meminta dia untuk melakukan mandi wajib untuk bersyahadat dan masuk Islam. Cukup dengan memberikan Baiat, maka ia menjadi Muslim.
Seolah-olah mereka mengatakan kepadanya bahwa ia masuk Islam dari pintu baiat ini, dan dianggap keluar ketika ia meninggalkan pintu tersebut, dan bahwa Baiat sekarang telah menempati posisi syahadat tauhid (pernyataan tauhid). Jika dia memberikan Baiat maka dia adalah seorang Muslim, dan jika dia tidak memberikan Baiat maka dia adalah Kafir, dan jika dia sebelumnya berbaiat kemudian dia meninggalkan Baiat tersebut, maka dia dianggap telah murtad.
Hal yang membuat saya sangat heran terhadap mereka adalah, saya melihat mereka justru lebih banyak mengafirkan seseorang hanya karena dosa-dosa kecil daripada dosa-dosa besar, dan tidak ada seorangpun dari mereka yang merasa keberatan dengan hal ini. Bahkan setiap kali seseorang dari mereka “meningkat” dalam praktik Takfir (pengkafirannya), mereka justru menganggap orang tersebut sebagai ahlul ilmi dalam bidang aqidah dengan manhaj yang jelas dan menganggapnya sebagai seseorang yang berpijak di atas manhaj Nabi (ﷺ).
Demikianlah, Takfir (hukum-hukum tentang pengafiran manusia) telah berubah dari masalah yang ditakuti oleh para ulama, (yang bahkan membuat Imam Al-Qurtubi dan empat Imam Madzhab serta para Khulafaa Ar-Rasyidin melarikan diri darinya), menjadi hal yang diobral dan di diskusikan dengan begitu ringannya dalam setiap pertemuan dan ini menjadi manhaj yang diadopsi oleh setiap anggota ISIS.
Saya tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka yang menasihati saudaranya dengan sabda Nabi (ﷺ): “Siapa pun yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai kafir’, maka ucapan ini akan kembali kepada salah satu dari mereka.” (Shahih) Dan saya sama sekali tidak mendengar salah satu dari mereka yang menasihati saudaranya bahwa pergunjingan (Al-Ghibah) adalah dosa besar, dan bahwa memfitnah (Al-Buhtaan) itu lebih buruk daripada menggunjing, atau bahwa pengafiran (Takfir) secara serampangan itu bahkan jauh lebih buruk dari semua itu.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, tidak ada yang kami ketahui dalam kelompok kami (ISIS) kecuali ucapan-ucapan seperti, “Kafir, Kufar, Murtad, Shahawaat.” Jika mereka semua orang-orang kafir dan murtad, maka bagaimana kita bisa mengklaim bahwa kita telah membentuk kekhalifahan di bumi, sementara semua ajarannya adalah tentang orang-orang kafir dan murtad?
Saya merasa bahwa kami tengah berjuang berdasarkan ajaran agama besar ini dan seolah-olah agama besar ini mencoba untuk mendorong kami keluar dari garis perjuangan itu. Sungguh benar sabda Nabi (ﷺ) : “Agama ini mudah dan tidak ada yang bersikap berlebihaan dan sok keras dalam agama ini kecuali (sikap) itu akan membinasakannya.”(Shahih) Dan saya merasa bahwa agama ini memiliki sifat destruktif (merusak), tetapi sebenarnya orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan itu lah yang menghancurkan tatanan agama ini. Demi Rabb Ka’bah, saya merasa bahwa Islam menjadi begitu keras dan sempit karena pemahaman semacam ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “…dan Dia tidak menjadikan kesukaran apapun untukmu dalam agama” (Al-Hajj: 78).
Dan saya merasa bahwa Islam tengah berjalan di tepi jurang, dan bahwa setiap goncangan atau sebuah hembusan angin atau sedikit kecerobohan atau kesalahan apapun akan segera menjatuhkan Anda ke dalam jurang. Seolah-olah agama ini begitu sulit dan sangat berat. Saya juga merasa bahwa memasuki agama ini sangat sulit dan bahkan lebih sulit lagi ketika tinggal di dalamnya. Dan Anda hanya bisa memasuki agama ini dari jalan yang paling sempit.
Akan tetapi, berdasarkan pemahaman yang aneh ini, pintu yang paling mudah untuk memasuki agama ini adalah melalui pemberian Baiat kepada ISIS. Adapun meninggalkan agama, maka ini juga sangat mudah, dan Anda pun bisa saja telah keluar dari agama ini tanpa Anda menyadarinya. Dan Anda tidak menyadari bahwa Anda adalah orang kafir atau murtad, kecuali bila Anda diundang untuk memberikan Baiat ke ISIS, dan Anda memilih untuk menolak.
Demi Allah ketika saya menyaksikan situasi ini, saya menyadari bahwa diri saya telah tenggelam dalam kabut kesesatan, saya teringat pernyataan Syaikh Al-Islam ibn Taimiyyah: “Khawarij mengafirkan kaum Muslimin, demikian juga Mu’tazillah yang mengkafirkan orang-orang yang menentang mereka, demikian juga Syiah Rafidhah, dan orang-orang menganggap fasik mereka yang tidak mengikuti manhaj takfir semacam ini. Sifat seperti ini berlaku untuk sebagian besar pengikut hawa nafsu (Al-Hawaa), mereka menyamaratakan setiap pendapat sebagai sebuah kebid’ahan, dan mengafirkan setiap orang yang menentang pendapat mereka. Akan tetapi Ahlu Sunnah mengikuti kebenaran dari Rabb mereka dengan apa yang datang dari Nabi (ﷺ), dan tidak mengafirkan orang-orang yang menentang pendapat mereka, bahkan mereka adalah yang paling memahami kebenaran dan paling penyayang terhadap makhluk.”
Pada hakikatnya, yang dapat saya rasakan dari mereka adalah bahwa Takfir (pengkafiran) tidak lagi menjadi praktik hukum syar’i yang terikat aturan syariat, tetapi telah berubah menjadi alat untuk mengancam. Mereka mengancam setiap orang dengan tembakan yang menembus tubuh, atau pisau tajam, atau bom rakitan, atau Takfir (pengkafiran) dan Tafsiq (pemfasikan) kepada lawan mereka dari sesama pergerakan Jihadiyah. Lantas, apa arti semua ini bagi agama? Dan apakah ini bermanfaat bagi Dakwah, dan apa logika penalaran macam apa ini? Sayangnya di atas semua pondasi yang cacat ini, kami mengaku-ngaku telah mendirikan sebuah Negara, atau bahkan Khilafah, dan tidak sama sekali tidak menghargai pendapat orang lain, atau tata aturan syariat Islam.
Adapun Al-Qaeda, yang selalu kami jadikan kambing hitam atas setiap kegagalan yang kami perbuat, jika dibandingkan dengan kami yang sibuk mengafirkan mereka, Al-Qaeda justru sibuk beramal dan menghormati pemikiran orang lain serta tetap berkomitmen dengan aturan Syariah dan tidak mempermainkan hukum-hukum Islam.. Kami sama sekali tidak pernah mendengar bahwa Al-Qaefa mengafirkan orang yang telah mengafirkan mereka, dan menggunakannya seperti senjata. Mereka menghormati nama-nama (istilah-istilah syar’i) yang Allah ajarkan kepada Adam, dan memahami bahwa nama-nama ini adalah suci dan mulia di sisi Allah Yang Maha Kuasa, karena setiap aturan syariat dibangun di atas istilah-istilah syar’i tersebut.
Oleh sebab itu, Al-Qaeda tidak mengafirkan siapa saja yang mereka inginkan, dan tidak pula memvonis dan menghukumi siapa saja yang mereka inginkan, dengan tuduhan apa pun yang mereka inginkan. Sebaliknya mereka selalu menghindari ketidakadilan dalam setiap peradilan syar’i yang mereka gelar bagi masyarakat, mereka takut kepada Allah terkait segala keterbatasan kemampuan mereka.
Demi Allah mereka mengingatkan saya pada posisi Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah ketika beberapa lawan-lawannya mengafirkannya. Dia mengatakan, “Mereka yang menentang saya, jika mereka melanggar batas-batas Allah dengan mengafirkan dan memfasiq-kan saya, atau memfitnah saya dengan tuduhan yang bodoh dan emosional, maka saya tidak akan melebihi batas-batas Allah tentang hal tersebut. Sebaliknya, saya tetap mengontrol apa yang saya katakan dan lakukan, dan menimbang dengan neraca keadilan, serta membuat mereka percaya dengan Kitab yang diturunkan oleh Allah, dan menjadikannya sebagai pedoman dalam mengatasi perbedaan pendapat di antara manusia.”
Pengafiran yang saya saksikan dan saya alami benar-benar bisa membuat bayi yang baru lahir beruban dan bisa membuat manusia normal terpana, terlebih lagi bagi mereka yang berhati lembut. Dan peristiwa pembunuhan Muslim Ahlussunnah di masjid-masjid dengan alasan menargetkan kaum Syiah di Sana’a, maka pembunuhan tersebut tidak bisa didasarkan pada Fatwa tentang Hukum Tatarus (Tetap Menyerang Musuh, Meskipun Musuh Bercampur Baur dengan Kaum Muslimin dan Beresiko Membunuh Kaum Muslimin). Tidak! Pembunuhan itu tidak dilandaskan pada Fatwa ini, tetapi justru berdasarkan keyakinan bahwa mereka adalah orang-orang kafir atau murtad, karena mereka yang terbunuh itu berasal merupakan anggota atau simpatisan partai politik seperti Al-Islah, atau dari Al-Mu’tamar (Kongres Rakyat), atau karena mereka dari Al-Hirak, atau dari Hautsi atau dari berbagai kelompok maupun jamaah selain ISIS, dan jika mereka bukan dari golongan yang disebutkan itu, mereka masih bisa menghitung hari-hari umur mereka.
Sebagai bukti dari apa yang saya katakan ini adalah, bahwa Anda tidak akan dapat menemukan anggota-anggota kami (anggota ISIS) yang sudi untuk memulai sebuah penyelidikan tentang kaum Muslimin Sunni yang terbunuh dalam rangka membayar Diyat atas kematian mereka. Mereka justru tidak mau mengakui bahwa terdapat Muslim Ahlussunnah di dalam masjid tersebut yang sedang shalat dan bahwa terdapat orang Muslim di antara jasad-jasad orang yang terbunuh.
Sebaliknya mereka tetap saja melakukan pembenaran dan membela diri dari kesalahan dengan mengatakan bahwa target mereka adalah Huseiniyaat dan kuil-kuil Syiah.(meski sebenarnya itu adalah masjid yang bercampur didalamnya kaum Muslimin dalam berbagai alirannya.).
Hal yang sangat mengherankan adalah, setelah semua bencana ini, tiba-tiba ada orang ISIS yang datang dari Irak atau dari Syam, mereka mengatakan kepada kami dan saya mencatatnya, ia katakan, “Kalian tidak memegang aqidah dengan kokoh!” Saya terkejut dengan perkataannya, saya pun berkata pada diri saya sendiri, “Sekarang semua orang selain kami sudah kami kafirkan, tidak ada lagi yang tersisa untuk kami kafirkan. Tinggal kami dan selangkah lagi kami akan saling mengafirkan satu sama lain.
Dan yang lebih aneh lagi, kami merasa begitu marah dan tidak terima jika ada orang yang mengatakan bahwa kami telah mengafirkan kaum Muslimin, dan kami selalu mengatakan bahwa kami tidak mengafirkan orang kecuali orang yang telah ditetapkan Allah sebagai orang kafir, yakni : Partai Al-Islah, Al-Hirak, suku-suku, kaum Salafis yang tidak mengafirkan Abd Rabbi Mansour Hadi, dan mereka yang ikut dalam pemilu, atau yang bekerja di instansi pemerintahan, dan juga Al-Qaeda jika mereka tidak mengafirkan semua orang yang telah disebutkan ini.
(aliakram/arrahmah.com)