Oleh : Abdus Salam
Pengamat Kebijakan Publik
(Arrahmah.com) – Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dari seorang peserta diskusi
sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan Cabang Makassar, Rabu, 25 Nopember 2015 di Makassar yang diselenggarakan oleh salah satu asosiasi profesi jurnalistik Sulawesi Selatan yang menghentak, “Jika ada anak saya sudah remaja sarjana masih menganggur bisakah menggunakan kartu BPJS Ketenagakerjaan orangtuanya ?” Dan pasti bisa ditebak jawabannya, karena fasilitas BPJS Ketenagakerjaan hanya bisa diperoleh yang terdaftar saja. Itulah yang menjadi target agar semua tenaga kerja terdaftar sebagai peserta BPJS. Dimana trend data kepesertaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan di wilayah operasional Kacab Makassar yang meliputi 22 kabupaten/kota dengan jumlah KCP 12 Unit.
Adapun trend data kepesertaan itu sebagai berikut : Tahun 2012 sejumlah 133.036, tahun 2013 sejumlah 156.706, tahun 2014 sejumlah 163.072 dan Juli 2015 sejumlah 171.719 dengan total jaminan yang dibayarkan sampai dengan Juli 2015 sejumlah Rp 86.725.975.211. Tidak dijelaskan berapa persen jaminan yang dibayarkan tersebut dari premi yang masuk di BPJS. Target kepesertaan BPJS itu nampaknya dilaksanakan
di atas potensi kependudukan Sulawesi Selatan yang terpetakan sebagai berikut : Bekerja sejumlah 3.527.036, Pengangguran sejumlah 188.765, Pekerja Penerima Upah sejumlah 994.347, Pekerja Bukan Penerima Upah 2.374.753 dan Pegawai Negeri Sipil sejumlah 157.936 (Angkatan Kerja Sulawesi Selatan, data Sulawesi Selatan dalam angka 2014). Di antara angkatan kerja tersebut baru 16,3 persen atau sejumlah 163.072 (Pekerja Penerima Upah) dan 13,4 persen atau sejumlah 318.838 (Pekerja
Bukan Penerima Upah) yang ikut kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan per 31
Agustus 2015. Artinya kurang sekitar 63,6 persen dari golongan Pekerja Penerima Upah dan 66,6 persen dari golongan Pekerja Bukan Penerima Upah yang menjadi target kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Berbeda dengan Sulawesi Selatan maka Sulawesi Barat memiliki potensi sebagai berikut dari angkatan kerja yang bekerja sejumlah 523.959, pengangguran 13.765 dan PNS sejumlah 30.227. Dari angkatan kerja tersebut kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dari golongan tenaga kerja
sejumlah 10.404.
Upaya masif BPJS Ketenagakerjaan untuk memenuhi target kepesertaapun tidak saja bersifat edukatif dan himbauan saja melainkan menggunakan jerat hukum mulai dari undang-undang, PP, SK Gubernur hingga SK Walikota. Diantaranya 1) PP No 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif. Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan “Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai sanksi administratif berupa; teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.” Sedang Pasal 9 ayat (1) Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara meliputi : a. Perizinan terkait usaha; b. Izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; c. Izin memperkerjakan tenaga kerja asing; d. Izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh: atau e. Izin mendirikan bangunan (IMB). Jenis sanksi administratif PP 86/2013 Pasal 5 dalam bentuk Teguran Tertulis, Denda dan Penghentian Pelayanan Publik. 2) Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 34 tahun 2014 tentang Kewajiban Persyaratan Kepesertaan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Dalam Pemberian Pelayanan Perizinan dan Non Perizin di Propinsi Sulawesi Selatan. 3) Instruksi
Walikota Makassar Nomor : 568/352/DISNAKER/IX/2014 tentang Kewajiban Persyaratan BPJS Ketenagakerjaan.
Sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan di gedung Bhakti tersebut semakin melengkapi dinamika sosialisasi BPJS Kesehatan sebelumnya dimana pada Pebruari 2014 terjadi beberapa kesepakatan. Yakni tiga point kesepakatan di kantor Gubernur Sulawesi Selatan hasil dialog antara GNP 33 UUD 1945, Pemprov Sulsel, yang diwakili oleh Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemprov Sulsel, Dr Bambang Arya, dan Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Dr. dr. Rahmat Latief pada Jumat (7/2/2014). Tiga
point itu antara lain : Pertama, Pemprov Sulsel akan tetap menjalankan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan tanggungan 4,2 juta jiwa. Kedua, melalui program Jamkesda ini, Pemprov akan meningkatkan kualitas layanan dengan meningkatkan biaya tanggungan dari 6000 rupiah/orang sakit menjadi 10.000 rupiah/orang sakit. Ketiga, Pemprov Sulsel akan membuat surat edaran ke semua RSUD dan RS Swasta di Sulsel terkait kebijakan melanjutkan program Jamkesda ini.
Intervensi asing melalui BPJS dan SJSN
Jika kita cermati secara kronologis historis maka masifnya propaganda/sosialisasi BPJS dan SJSN tidak bisa dipisahkan dengan intervensi asing. Yakni Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan : “ADB
Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain). Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US Dolar 250 juta atau
2,25 triliun (kurs 9.000/US Dollar). Selain ADB juga ILO (International Labour Organization) yang bangkit membantu pemerintah Indonesia dan para pemangkunya dengan mengusung isu “social security and social protection floor”- perlindungan sosial universal untuk seluruh penduduk yang disampaikan pada Expert Meeting : Learning from regional experiences, Jakarta, 12-15 Desember 2013. Yang terakhir
adalah keterlibatan World Bank yang terungkap dari pertemuan ILO tersebut bahwa tengah mempersiapkan skenario implementasi program jaminan pensiun SJSN. Mitchell Winner, pakar jaminan pensiun World Bank Jakarta, menyampaikan desain reformasi program jaminan pensiun dan perluasan kepesertaan jaminan pensiun. Alhasil BPJS dan SJSN adalah sebuah skema kebijakan yang dihasilkan melalui proses
pengawalan dan pendampingan lembaga-lembaga internasional perpanjangan
tangan asing. Kebijakan ini diberlakukan justru di tengah problem kesehatan dan ketenagakerjaan yang bersifat sistemik.
Kontradiksi kebijakan jaminan sosial
Substansi UU SJSN dan UU BPJS menyisakan persoalan antara lain : Pertama, Di dalam UU SJSN pasal 17 ayat (1) disebutkan keharusan setiap orang yang menjadi peserta BPJS membayar iuran yang besarannya ditentukan berdasarkan persentase upah atau nominal tertentu. Dengan UU Ini, setiap warga negara dipaksa membayar iuran kepada BPJS untuk mendapatkan layanan ketenagakerjaan. Jenis layanan yang didapatkan disesuaikan dengan besaran iuran yang dibayarkan.
Kedua, mengadopsi sistem Asuransi Sosial, dengan mengharuskan pesertanya membayar iuran/premi, sistem ini sebetulnya tidak pantas disebut sebagai sistem jaminan ketenagakerjaan. Karena konsep jaminan ketenagakerjaan meniscayakan semua tanggungan atau biaya pemeliharaan ketenagakerjaan rakyat ditanggung oleh perusahaan (institusi) tempat bekerja atau oleh negara jika bekerja atau berusaha pada sektor informal dan non formal. Sementara dalam sistim SJSN, biaya pemeliharaan ketenagakerjaan ditanggung masing-masing pribadi atau individu.
Ketiga, dengan mengadopsi sistem asuransi sosial, sistem ini sangat
berpotensi berorientasi keuntungan (profit). Bisa jadi, urusan ketenagakerjaan rakyat dijadikan lahan bisnis dan korupsi oleh lembaga semacam BPJS. Mengumpulkan dana dari rakyat. Dan kemudian nanti mereka bisa investasikan guna menggali keuntungan. Hingga kini belum jelas format laporan pertanggung jawaban publik atas dana rakyat yang dikelola oleh BPJS.
Tumpang tindih kerangka undang-undang tentang BPJS dan SJSN
Yang paling nampak tumpang tindih itu pada jaminan kesehatan antara lain : Pertama, sebagaimana diketahui bahwa saat ini kebijakan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) diatur di dalam aturan yang lebih tinggi, yakni PerPres No. 72/2012 sesuai dengan amanah UU No.36/2009 tentang Kesehatan. Sedangkan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diatur di dalam aturan yang setingkat dengan Sistem Kesehatan Nasional, yakni PerPres No. 12/2013 sesuai dengan amanah UU No. 40/2004 tentang SJSN dan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS. Pasal 13 dari UU Kesehatan mengamanahkan agar disusun tata cara penyelenggaraan SJSN di dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Faktanya, UU SJSN sendiri sudah disahkan 5 tahun sebelum UU Kesehatan. UU BPJS sama sekali tidak menyebutkan UU Kesehatan sebagai alasan pertimbangan hukumnya. UU BPJS disusun hanyalah atas dasar UU SJSN. Tidak dimasukkannya UU Kesehatan sebagai pertimbangan hukum UU BPJS merupakan bukti awal bahwa kebijakan jaminan sosial ‘mengingkari’ kebijakan kesehatan di Indonesia. Ini menjadi tanda tanya besar dalam implementasi
pembangunan jangka panjang di bidang kesehatan. Dan menunjukkan adanya skenario agar implementasi BPJS bisa berjalan secara smooth dan lancar tidak menemui kendala.
Kedua, PerPres No.12/2013 tentang JKN sama sekali tidak menjadikan kebijakan SKN sebagai dasar pertimbangan hukum. Padahal kebijakan SKN telah disahkan satu tahun sebelum kebijakan JKN. Artinya, kebijakan JKN ini sudah berdiri sendiri dan terpisah dari kebijakan SKN. Hal ini berdampak luas dalam implementasi pembangunan kesehatan di Indonesia yang seharusnya terpadu, berkesinambungan, adil, merata, dan merdeka. Kebijakan JKN dilaksanakan melalui suatu rencana paksa yang semakin jauh meninggalkan pembangunan di bidang kesehatan lainnya, terutama di bidang pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan. Pemerintah sedang berkhayal jika kebijakan JKN ini diterapkan sesegera mungkin, maka masalah pelayanan kesehatan dapat terselesaikan.
Ketiga, ini yang bertentangan baik pada jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan sebagaimana dalam UUD 1945 antara lain : 1) Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2) Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 3) Pasal 28H ayat 3 menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial. Ketiga pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh
pelayanan kesehatan dengan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan melalui suatu jaminan sosial. 4) Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 menegaskan kewajiban negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. 5) Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 menyatakan negara bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Kedua ayat pada pasal 34 tersebut juga menandaskan bahwa jaminan sosial harus didukung oleh fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, tidak berjalan sendiri, dan tidak saling mengingkari. Dan negara wajib mengembangkan jaminan sosial dengan dukungan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum (termasuk ketenagakerjaan) yang layak.
UU SJSN dan UU BPJS mengindikasikan terjadinya liberalisasi semua sektor termasuk di sektor kesehatan dan ketenagakerjaan. Di tengah deraan problem kesehatan dan ketenagakerjaan masa diberlakukannya MEA dan AFTA 2016. Menambah deretan liberalisasi di sektor yang lain melalui kerangka legislasi. Di sektor pendidikan UU No 20/2003 dan UU No 9/2009 (BHP). Di sektor Ekonomi UU No 22/2001 (Migas), UU No
23/2010 (Minerba) dan UU No 7/2004 (SDA). Dan sektor-sektor yang lain. Perlu perenungan mendalam untuk merubah referensi ideologi negara negeri ini yang banyak pengamat menyebut sebagai “Neo Liberalis” ke arah referensi ideologi negara yang menjamin pemenuhan layanan umum masyarakat secara menyeluruh. Sebuah ideologi negara yang teruji secara historis, empiris dan konseptual. Yakni ideologi islam melalui
penerapan syariah dalam bingkai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Wallahu a’lam bis showab.
(*/arrahmah.com)