Pada tahun 2012, Muhammad Matoh bergabung dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Satu tahun kemudian ia meninggalkan pekerjaannya dan menemukan pekerjaan baru di sebuah restoran cepat saji di Aleppo.
“Lima anggota keluarga kami bergabung dengan FSA. Kini dua orang berada di Turki setelah mengalami cedera dan dua lainnya masih dengan FSA,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Matoh (27), menyeru teman lainnya untuk meninggalkan FSA juga. Salah satunya, kata dia, ia terpaksa pergi akibat gaji yang tidak memadai. Pendapatan terbaiknya di FSA adalah 18.000 pound Suriah atau setara dengan 95 SD per bulan. Matoh sendiri mengatakan gajinya hanya 8.000 pound Suriah (36 USD) sebelum naik sedikit.
Ahmad Jalal (21), seorang komandan lapangan FSA, mengakui bahwa gaji yang ia terima sangat rendah, hanya berkisar 50 USD per bulan dan kadang-kadang gajinya tidak dibayar karena kurangnya dukungan.
FSA telah dilihat oleh masyarakat internasional sebagai alternatif untuk kekuasaan dan telah melihat kekuatan yang berkurang secara dramatis tahun ini di tengah badai desersi.
Tidak ada tempat di manapun kecuali di Aleppo yang masih menyaksikan adanya pejuang FSA di mana banyak tentara yang meninggalkan FSA karena bayaran yang kurang memadai, kewajiban keluarga dan kondisi yang buruk.
Pada bulan lalu, kampanye udara Rusia menargetkan faksi-faksi perlawanan yang memerangi rezim Asad dan penolakan oleh FSA atas undangan Rusia untuk berpartisipasi dalam negosiasi telah meningkatkan pertanyaan mengenai tempat kelompok tersebut di masa depan.
Pada Rabu kemarin, laporan dari Rusia mengenai “rencana perdamaian” baru terungkap. Delapan poin usulan mengutip sebuah proses reformasi konstitusi yang akan berlangsung 18 bulan dan diikuti oleh pemilihan presiden. Menurut rencana, kelompok oposisi tertentu harus berpartisipasi dalam pembicaraan di Wina, diperkirakan akan berlangsung Sabtu depan.
Dibentuk pada Agustus 2011 di awal perang Suriah, FSA terdiri dari berbagai kalangan masyarakat namun terutama tentara-tentara yang membelot dari militer rezim Nushairiyah Suriah. Kelompok ini dipandang sebagai kelompok moderat dibandingkan dengan faksi-faksi Islam yang kemudian bermunculan.
FSA mulai mengalami kemunduran sekitar tahun 2013, termasuk beberapa anggotanya yang akhirnya memilih untuk bergabung dengan Mujahidin di Suriah utara.
Sebuah aliansi yang didukung oleh AS yang disebut dengan Pasukan Demokratik Suriah, diluncurkan tahun ini dan mengklaim hanya mencakup kelompok yang terfokus pada perang melawan Daulah Islam atau yang dulu dikenal dengan ISIS. Pasukan Demokratik Suriah tidak termasuk FSA yang berkonsentrasi pada perang melawan rezim.
Sementara itu, tidak ada data mengenai jumlah desersi FSA, Matoh berspekulasi bahwa sekitar 50 orang telah meninggalkan unit FSA di wilayah Aleppo pada tahun 2015 saja.
Pejuang FSA lainnya berhenti untuk berjuang di bawah FSA demi untuk menyediakan kebutuhan hidup keluarga mereka atau karena kondisi medan yang melelahkan.
“Setelah intensifikasi pemboman di Aleppo, pejuang di daerah yang dibom harus kembali ke keluarga mereka setelah mengalami cedera dan bombardir yang menghantam rumah mereka,” ujar Jalal, seorang komandan lapangan.
“Pejuang harus memberi makan keluarganya dan jumlah (gajinya) terkadang tidak cukup untuk bertahan hidup.”
Matoh mengingat bahwa di medan perang, ia pernah harus bertahan selama 12 jam dalam kondisi dingin dan debu di seluruh tempat, setelah itu ia akan kembali ke basis dengan rasa lapar. “Lalu kita akan pergi tidur, bangun dan melakukan hal tersebut kembali di hari berikutnya.”
Matoh mengatakan bahwa dirinya tidak takut akan pembalasan FSA dan ia telah hidup di luar komando selama lebih dari dua tahun.
Meningkatnya jumlah desersi telah melemahkan FSA. Namun sulit untuk menentukan jumlah pejuang FSA saat ini, ujar Columb Strack, seorang peneliti senior Timur Tengah dan Afrika Utara di perusahaan informasi global IHS.
Wayne White, seorang pengajar di Institut Timur Tengah di Washington dan mantan wakil direktur Departemen Intelijen Timur Tengah AS setuju. Menurut dia, angka pasti jumlah pejuang FSA sulit ditentukan, mereka lebih lemah dari rekan-rekan Islamis mereka.
“FSA dibanding dengan kelompok pemberontak lainnya seperti ISIS, Jabhah Nushrah dan berbagai faksi Islam relatif lebih lemah,” ujarnya.
Desersi dari FSA telah menjadi biasa di Aleppo dan Suriah utara di mana kelompok-kelompok lain seperti Jabhah Nushrah memiliki kehadiran yang cukup kuat di sana.
Wayne mengatakan kekuatan faksi Islam lebih baik karena adanya senjata dan pendanaan yang memadai.
“Kami tidak bersatu dan karena itu tidak akan mendapatkan kekuatan lebih,” ujar Suhaib seorang komandan Jaisyul Islam kepada Al Jazeera.
“Dalam opini saya, perspektif masyarakat internasional bahwa FSA melemah dan tidak efektif di lapangan adalah karena kegagalan FSA untuk menyatukan semua faksi.”
Jaisyul Islam merupakan bagian dari Jabhah Islamiyah, salah satu kelompok perlawanan utama dan sekutu FSA.
Dengan tanpa akhir yang terlihat untuk desersi dan perpecahan dan serangan dari pasukan rezim, FSA menghadapi tantangan yang bertubi-tubi.
“Jika kita tidak bekerja sama,” ujar Suhaib, “kita akan mati bersama-sama,” lanjutnya.
(haninmazaya/arrahmah.com)