LIBANON (Arrahmah.com) – Perang Suriah sudah berlangsung empat tahun tapi tampaknya masih belum jelas kapan dan bagaimana akhir dari konflik ini yang telah menelan banyak korban dan menyebabkan sebagian besar rakyatnya terpaksa mengungsi.
Konflik Suriah menjadi semakin panjang karena terjadi tarik ulur berbagai kepentingan diantara negara-negara superpower yang menguasai dewan keamanan PBB, dan juga kepentingan politik Syi’ah dan “Israel”.
Mempertanyakan apa sebenarnya motif si beruang Rusia di Suriah, dan bagaimana hubungannya dengan Iran menjadi meluas. Apakah Rusia dan Iran memiliki kepentingan yang sejajar atau memiliki kepentingan yang berbeda dalam kancah Suriah. Beberapa analisis pun bermunculan, dan berikut analisis ini dari Ahmad Al-Hila, yang dilansir oleh Middle East Monitor, Senin (9/11/2015).
“Tetangga utara kami (Rusia) juga memberikan bantuan di Suriah, tetapi tidak senang dengan ‘perlawanan Islam” (Iran). Dalam kasus apapun, Iran memberikan bantuan atas dasar berbagi kepentingan [kami]; tetapi tidak jelas bahwa Rusia sejajar dengan Iran berkaitan dengan Presiden Suriah Bashar Al-Asad.” Pernyataan ini, dibuat oleh Panglima Militer Garda Revolusi Islam Iran, Muhammad Ali Jafari pada 3 November, tulis Ahmad Al-Hila di awal artikelnya.
Pernyataan itu dibuat pada saat Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan, “memastikan bahwa Presiden Suriah Bashar Al-Asad tetap berkuasa bukanlah masalah prinsipil bagi Moskow.”
Posisi tersebut menunjukkan perbedaan mendasar antara Iran dan Rusia, meskipun mereka sebagai sekutu, terutama berkaitan dengan masalah Suriah. Namun, jelas terlihat seberapa jauh perbedaan yang tumbuh antara kedua belah pihak, bahwa ada sejumlah perbedaan dan perlesihan yang serius antara Teheran dan Moskow.
Tidak ada keraguan bahwa sejak awal krisis Suriah Teheran telah berusaha untuk memperluas pengaruhnya di wilayah yang membentang dari Teheran ke pantai timur Laut Mediterania melalui Suriah, Lebanon, dan Irak. Iran telah melakukannya untuk mengamankan peran pentingnya sebagai pemain penting regional, dan telah menggunakan aspek sektarian dan doktrin untuk melakukannya. Hal ini dibuktikan dengan kata-kata Muhammad Ali Jafari ketika ia mengatakan bahwa: “Penyatuan hati Syria, Irak dan Iran akan membentuk satu kesatuan, yang akan membuka jalan bagi munculnya Imam Mahdi” (kantor berita Mehr , 3 November).
Akan tetapi, kebijakan Iran ini berhadapan dengan oposisi yang kuat dari negara-negara rivalnya (terutama Arab Saudi, Qatar dan Turki), yang mendukung oposisi Suriah. Oposisi ini boleh dibilang telah mencegah keberhasilan proyek Iran sampai sekarang, bahkan secara ekonomi menguras tenaga; sehingga mendorong Teheran baru-baru membekukan proyek nuklirnya dengan imbalan mengangkat sanksi ekonomi dan militer yang dikenakan atasnya.
Iran juga terpaksa mengandalkan Rusia untuk menyelamatkanya dengan melindungi jatuhnya rezim Suriah setelah mulai goyah dalam menghadapi hantaman pejuang oposisi Suriah, khususnya Jaish Al-Fatah yang dibentuk dengan dukungan Saudi dan Turki.
Munculnya perbedaan ini, setidaknya di permukaan, terkait dengan posisi politik Teheran dan Moskow hanya sebulan setelah awal intervensi militer Rusia dalam krisis Suriah (yang seharusnya untuk mendukung kebijakan Iran di negara ini), Hal ini menunjukkan bahwa Iran, dengan meningkatnya tingkat tantangan, telah keluar dari penggorengan dan terjun ke dalam api. Iran tidak hanya menghadapi konfrontasi dari lawan-lawan politik tradisionalnya, tetapi juga konfrontasi dari “sekutu strategis” nya Moskow.
Namun, kebijakan militer Rusia baru-baru ini mulai menyimpang dari agenda Iran. Pertama, Moskow mulai mengabaikan usaha untuk mempertahankan posisi Bashar Al-Asad dan lebih fokus dalam mempertahankan pengaruh dan pangkalan militernya di Tartus serta hubungan ekonomi dengan Turki, Arab Saudi, Qatar dan negara-negara Teluk. Rusia juga dapat menggunakan intervensi di Suriah untuk menekan NATO mengenai krisis Ukraina. Bagaimana cara Iran akan menghadapi perseteruan ini atas nasib Presiden Al-Asad, yang dianggap sebagai garis merah bagi Teheran, terutama jika kita mempertimbangkan bahwa keputusannya berada di tangan Rusia, karena Rusia adalah komandan operasi militer di Suriah saat ini, dan mengingat Rusia adalah anggota tetap di Dewan Keamanan PBB dan statusnya sebagai sumber utama senjata untuk proyek nuklir Iran?
Kedua, Rusia mulai waspada untuk terlalu dalam terlibat dalam krisis Suriah, dan oleh karena itu Rusia telah membatasi intervensinya hanya dalam serangan udara dan tergantung kepada militer rezim Suriah dan ribuan pejuang dari Iran, Irak, Afghanistan dan “Hizbullah” untuk serangan darat. Ini berarti bahwa harga yang lebih tinggi akan dibayar oleh Iran, saat Iran telah terlibat dalam krisis Suriah selama empat tahun terakhir. Akankah Iran melanjutkan ketergantungannya dan hubungannya dengan Al-Asad meskipun fakta mengatakan bahwa Iran akan terus membayar harga yang mahal untuk membuat Asad tetap berkuasa – apalagi indikator-indikator intervensi Rusia tidak menunjukan bahwa pertempuran dapat diselesaikan secara militer di masa yang akan datang?
Ketiga, dominasi Rusia akan kehadiran milisi “Hizbullah” di Suriah, terutama di front selatan (Golan), kepentingan keamanan “Israel”. Hal ini mengambil kartu pemenang dari tangan Iran, karena “Hizbullah” memainkan peran penting dalam melaksanakan agenda Iran di kancah Suriah.
Keempat, koordinasi keamanan dan militer yang sedang berlangsung antara Rusia dan “Israel” di Suriah menyebabkan Iran semakin dipermalukan, yang secara terbuka menyuarakan permusuhan terhadap “Israel”. Ini bisa menghancurkan kredibilitas wacana Iran mengenai masalah Palestina. Selain ini, sikap Rusia menghasilkan kekhawatiran politik dan keamanan bagi “Hizbullah”, dimana Sekretaris Jenderal Hassan Nasrallah mengatakan dalam pidatonya bahwa pembebasan Yerusalem akan melalui Zabadani (sebuah kota di barat daya Suriah). Jadi bagaimana jika Rusia mendukung aliansi dengan rezim Suriah dan secara terbuka memimpin koordinasi keamanan dengan pendudukan “Israel”?
Jelas bahwa Iran sedang mengalami dilema yang kompleks di Suriah, termasuk kegagalannya sebagai satu-satunya yang melindungi rezim Suriah selama krisis Suriah; yang beralih meminta bantuan dari beruang Rusia, yang memiliki agenda sendiri yang tidak selalu sejajar dengan Iran; dan kembalinya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki sebagai partai berkuasa tunggal di Turki, rival berat Iran yang memegang visi yang sangat berbeda dengan Iran atas krisis Suriah.
Kenyataan saat ini menegaskan bahwa aksi militer saja tidak mampu menyelesaikan pertempuran di Suriah dan kekuatan lebih yang digunakan oleh rezim Suriah dan sekutunya hanya akan menyebabkan lebih banyak pertumpahan darah mengingat adanya keseimbangan kekuatan saat ini. Ini sekali lagi, akan membuka pintu bagi pilihan politik, yang hanya akan berhasil jika mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi rakyat Suriah sebagai yang pertama dan terpenting.
(ameera/arrahmah.com)