SINGKIL (Arrahmah.com) – Kantor Kementerian agama (Kemenag) Aceh Singkil memastikan selama ini pendirian rumah ibadah orang Kristen di Singkil belum memenuhi syarat.
Perizinan pembangunan rumah ibadah, kata Salihin Mizal, Kepala Kemenag Kabupaten Aceh Singkil, harus melalui dukungan dari tingkat desa, persetujuan masyarakat, lalu direkomendasi kepada KUA, Camat, dan dilanjutkan pada FKUB. Setelah itu FKUB menyerahkannya kepada Kemenag. Selanjutnya, Kemenag menyampaikannya kepada Pemerintah Daerah.
“Kemenag melakukan verifikasi, apakah KTP yang dkumpulkan itu benar atau tidak. Di sebuah wilayah, ternyata ada masyarakat muslim yang tidak menandatangani, tapi kemudian tandatangannya tertera dalam sebuah lampiran,” jelas Salihin.
Kemenag Aceh Singkil membantah bahwa pihak pemerintah mempersulit pendirian rumah ibadah. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, bertugas untuk memayungi semua agama di Aceh Singkil.
Karenanya, tak satu agama apapun yang dipersulit untuk dikeluarkan rekomendasinya.
“Hanya saja ada catatan tersendiri dalam memberikan rekomendasi untuk menjaga Aceh Singkil dari aliran keagamaan yang menyimpang,” kata dia.
Dikatakannya, perizinan tersebut menjadi wewenang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang terdiri dari berbagai tokoh agama untuk membahas secara bersama. Adapun Kemenag tugasnya hanya memberi rekomendasi, bukan pihak yang memberikan perizinan pembangunan rumah ibadah.
“Sekali lagi, harus diluruskan, tugas Kemenag hanya memberi rekomendasi saja. Tentu, jika telah terpenuhi standar Pergub. Jadi bukan tugas kemenag yang memberi izin mendirikan rumah ibadah. Yang memberi izin pendirian rumah ibadah tetap Pemerintah Daerah,” jelas Salihin.
Sementara itu, Anggota Majelis Permuswaratan Ulama (MPU AcehTgk Zainal Abidin Tumengger menerangkan, beberapa kali Pemerintah Daerah Aceh Singkil melakukan penyegelan terhadap gereja ilegal sejak 1979 hingga 2015. Namun, rumah ibadah ilegal yang telah disegel pemerintah, secara diam-diam dibuka kembali oleh pihak Kristen, dan digunakan untuk beribadah.
“Mereka kembali melakukan pelanggaran yang telah disepakati. Bahkan, secara bertahap, membangun rumah ibadah di tempat yang berbeda. Pelanggaran inilah yang diprotes masyarakat muslim Aceh Singkil,” tandas Zainal.
Yang menjadi masalah sesungguhnya, kata Zainal, adalah tidak adanya peraturan yang bersifat permanen. Misalnya, ketika masyarakat meminta Pemkab untuk menertibkan rumah ibadah ilegal, Bupati kerap meremehkan tuntutan masyarakat Muslim.
“Deadline waktu satu minggu untuk eksekusi, yang terjadi justru mengulur-ulur waktu.
Laporan: Desastian/JITU
(azmuttaqin/arrahmah.com)