Penguasa dan Pengusaha KORUPTOR
Ciri khas korupsi di Indonesia, antara lain bersifat integralistik, yaitu dipraktekkan begitu menyatu antara penguasa dan pengusaha. Penguasa yang berkolusi dengan pengusaha tidak saja di tingkat rendahan dan menengah, tetapi terutama sekali di tingkat atas. Misalnya, antara Soeharto dengan Liem Sioe Liong yang melahirkan Bank Central Asia (BCA). Tentu Soeharto tidak sendiri, tetapi diikuti juga oleh jajaran petinggi di bawahnya, terutama di lingkungan moneter dan ekonomi (para menteri dan gubernur Bank Indonesia).
Bank BCA menjadi besar dalam alam Orde Baru, selain karena mendapat perlin-dungan, fasilitas dan pro-teksi Soeharto, juga karena difungsikan sebagai salah satu mesin duit bagi rezim yang berkuasa saat itu. Tidak heran bila BCA ber-hasil tumbuh menjadi bank retail terbesar di Indonesia, bahkan men-jadi monumen keberhasil-an bisnis Liem Sioe Liong dan para hoakiau di Indo-nesia.
Apa yang dipetik Soeharto setelah lebih tiga dasawarsa membesarkan Liem, ternyata dia dikhia-nati ‘saudaranya’ sendiri. Liem melakukan capital flight dan capital drain, se-hingga rezim Soeharto ya-ng dibangun, runtuh di tahun 1998.
Upaya penggebosan ekonomi ini dilakukan se-cara terencana. Setidaknya sejak 1996, terjadi capital flight tidak kurang dari US$ 100 miliar modal swasta diterbangkan ke Singapura, surga para ko-ruptor dan hoakiau asal Indonesia.
Sebelum krisis mone-ter 1997, Liem membeli PT QAF yang berpusat di Singapura, dan PT QAF yang sudah jadi milik Liem kemudian membeli saham-saham Bogasari dan Indofood. Ini berarti sejumlah besar dana dari Indonesia diterbangkan secara paksa ke Singapura. Peristiwa ini oleh Moer-diono yang kala itu Men-sekneg disebut sebagai “Nasionalisme Gaya Baru” padahal seharusnya disebut “Pengkhianatan Gaya Baru”. Begitulah bila otak sudah dipenuhi harta korupsi: perampok disebut pahlawan.
BCA adalah salah satu mesin uang Liem ya-ng dibobol pemiliknya sendiri antara lain melalui praktek melanggar BMPK (Batas Maksimum Pem-berian Kredit). Kredit di-kucurkan kepada dirinya sendiri, teman-temannya, sanak-saudaranya, anak pejabat dan keluarganya, kemudian ngemplang. Akibatnya pada akhir tahun 1998 BCA menga-lami modal negatif sebesar Rp 25,6 triliun.
Karena BCA diposisi-kan sebagai aset bangsa, maka pemerintah saat itu memberikan solusi berupa rekapitalisasi perbankan. BCA mereguk rekapita-lisasi sebesar Rp 28 triliun, sehingga pada September 1999 modalnya sudah membaik. Bila sebelumnya minus Rp 25,6 triliun sete-lah rekapitalisasi modal-nya menjadi positif Rp 2,4 triliun.
Selain menikmati da-na rekapitalisasi perbank-kan, BCA juga mereguk dana BLBI sebesar Rp 26 triliun lebih. Secara keseluruhan dana rekapi-talisasi perbankkan saja (tidak termasuk dana BLBI) yang dikucurkan kepada BCA mencapai Rp 100 triliun lebih sampai tahun 2000 (pada masa presiden Gus Dur). Se-dangkan aset BCA keselu-ruhan pada 1999 hanya bernilai sekitar Rp 96 triliun saja. Artinya, BCA sudah bukan lagi milik Liem tapi milik peme-rintah.
Sebagian besar saham BCA akhirnya dimiliki oleh pemerintah. Namun, atas desakan IMF sebagi-an besar saham BCA harus dilepaskan (divestasi). Akhirnya, pada tahun 2002 sebesar 51% saham BCA dilepaskan kepada Farallon Capital, sebuah lembaga keuangan milik asing. Peristiwa anasio-nalis ini terjadi justru ke-tika presidennya dijabat oleh Megawati dan Men-teri BUMN-nya dijabat oleh Laksamana Sukardi dari partai nasionalis PDIP.
Pada masa Megawati sebagai Presiden dan Lak-samana sebagai Menteri BUMN, sejumlah per-usahaan nasional dijual kepada pemodal asing, misalnya Telkom kepada Temasek (dari Singapura). Bila pada masa awal ke-merdekaan sebagian besar perusahaan asing dinasio-nalisasikan, pada masa Mega justru terjadi kebali-kannya: perusahaan na-sional (aset negara) justru dijual kepada asing.
Inikah bentuk nasio-nalisme gaya baru? Doro-ngan berlaku curang (ko-rupsi) yang sudah men-dominasi hati para pejabat itu membuat mereka me-nafsirkan nasionalisme semaunya.
Korupsi BLBI
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberi-kan Bank Indonesia ke-pada bank-bank yang me-ngalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indo-nesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan De-sember 1998, BI telah me-nyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah ter-jadi indikasi penyim-pangan sebesar Rp 138 triliun.
Penerima dana BLBI antara lain Agus Anwar (Bank Pelita), Samadikun Hartono (Bank Modern), Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional), Ulung Bursa (Bank Lautan Ber-lian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidia Muchtar dan Omar Putih-rai (Bank Tamara), Adisa-putra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), Marimutu Sini-vasan (Bank Putera Multi-karsa), Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin MH Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa), Trijono Gondokusumo (Bank Putera Surya Perkasa), Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata), I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken), Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia).
Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses pe-nyalurannya pun banyak yang melalui penyim-pangan-penyimpangan. Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokro-negoro, Hendro Budi-yanto, dan Heru Supra-tomo. Daftar pengusaha yang ditahan
Pejabat Koruptor yang di Penjarakan
Daftar para pejabat tinggi Indonesia yang pernah ditahan atau dipenjara karena kasus kriminal atau korupsi.
1. Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh
2. Abilio Soares, mantan Gubernur Timor Timur, karena dakwaan ‘Dunia Internasional’
3. Akbar Tandjung (Mantan Ketua Umum Golkar)
4. Basuki (politikus), mantan ketua DPRD Surabaya
5. Beddu Amang, mantan Kepala Bulog
6. Bob Hasan, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
7. Hendro Budiyanto, mantan Direktur Bank Indonesia
8. Heru Supraptomo, mantan direktur Bank Indonesia
9. Hutomo Mandala Putra Soeharto, anggota MPR
10. Ida Bagus Oka, mantan Gubernur Bali dan Menteri Sosial
11. M. Sahid, wakil walikota Bogor
12. Mulyana W. Kusumah, anggota KPU
13. Nazaruddin Sjamsuddin, Ketua KPU
14. Nurdin Halid, Ketua PSSI
15. Paul Sutopo, mantan Direktur Bank Indonesia
16. Rahardi Ramelan, mantan Menteri Perdagangan
17. Rusadi Kantaprawira, anggota KPU
18. Safder Yusacc, mantan Sekjen KPU
19. Said Agil Husin Al Munawar, mantan Menteri Agama
20. Sri Roso Sudarmo, mantan Bupati Bantul
21. Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri
22. Syafruddin Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN). Menjadi tersangka kasus jual beli pabrik gula Rajawali III, dan ditahan pada 22 Februari 2006.
23. Syahril Sabirin, mantan Gubernur Bank Indonesia
24. Theo Toemion, mantan kepala BKPM. Dijadikan tersangka pada 28 Desember 2005 dan ditahan sejak tanggal itu selama 20 hari.
1. Bank Ficorinvest: mantan Presdir Ficor-invest, Supari Dhirdjo-prawiro dan S.Soemeri divonis hukuman 1,5 ta-hun penjara oleh PN Ja-karta Selatan pada tanggal 13 Agustus 2003. Saat ini masih bebas karena me-ngajukan kasasi.
2. Bank Umum Ser-vitia: Dirut Servitia, David Nusa Wijaya divonis 8 tahun penjara oleh MA pada tanggal 23 Juli 2003, sempat melarikan diri ke AS namun tertangkap di sana.
3. Bank Harapan Sentosa: Hendra Rahar-dja dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Australia dan meninggal di sana, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian, divonis 20 ta-hun, namun juga melari-kan diri ke Australia.
4. Bank Surya: Bam-bang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan, dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Singa-pura
5. Bank Modern: Samadikun Hartono, di-vonis 4 tahun, melarikan diri.
6. Bank Pelita: Agus Anwar, dalam proses pengadilan, namun sudah melarikan diri.
7. Bank Umum Nasional: Sjamsul Nur-salim, penyidikan di-hentikan.
8. Bank Asia Pacific (Aspac): Hendrawan Haryono, mantan wakil dirut Aspac divonis 1 tahun penjara oleh Penga-dilan Negeri Jakarta Se-latan.
9. Bank Indonesia Raya (Bank Bira): Atang Latif, melarikan diri ke Singapura sebelum kasus-nya disidangkan.