Oleh: Subroto
Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi XX / September 2015
Executive Summary
(Arrahmah.com) –
Waktu kafir menduduki negeri
Semua kita wajib berperang
Jangan diam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-senang
Di waktu itu hukum fardhu ain
Harus yakin seperti sembahyang
Wajib kerjakan setiap waktu
Kalau tak begitu dosa hal abang
Tak sempurna sembahyang puasa
Jika tak mara ke medan perang
Fakir miskin, kecil dan besar
Tua, muda, pria dan wanita
Yang sanggup melawan kafir
Walaupun dia budaknya orang
Hukum fardhu ain di pundak kita
Meski tak sempat lunaskan hutang
Wajib harta disumbangkan
Kepada siapa yang mau berperang
— Hikayat Perang Sabil
Pengaruh Hikayat Perang Sabil (dengan berbagai versinya) telah mendarah daging dari generasi ke generasi di hati masyarakat Muslim Aceh. Sehingga mereka mampu puluhan tahun, bahkan lebih dari itu, berperang mempertahankan diri dan kehormatannya dari orang kafir yang hendak merebutnya. Pejuang Aceh mampu melawan Portugis lebih dari satu abad dan melawan penjajah Belanda selama 69 tahun (1873 sampai 1942).
Menarik untuk dikemukakan pendapat seorang pemuka Aceh yaitu Tgk. Syaikh Ibrahim
Lam Bhuek, pejabat uleebalang Masjid Raya Kanan, dalam perkara seorang Aceh yang
dituduh membunuh seorang Belanda. Di sidang pengadilan pada tanggal 1 April 1919 dia berkata; bahwa di masa lalu bila orang Aceh menghadapi kesusahan atau oleh karena sesuatu sebab tidak lagi menyukai hidup ini, ia bersiap untuk mati dengan berperang sabil memerangi kafir. Hal ini merupakan kepercayaan yang sudah berabad-abad diwariskan turun-temurun.
Pengertian seperti dikemukakan di atas masih tetap dianut rakyat meskipun perang telah usai. Apakah ia langsung terbunuh mati setelah membunuh kafir atau lama setelah itu, seorang Aceh yang sederhana masih menganggap bahwa dengan membunuh kafir ia akan memperoleh imbalan atas perbuatannya itu. Pada mulanya orang menganggap seseorang itu syahid, bila ia membunuh kafir dalam peperangan. Tetapi kemudian, bagi orang Aceh pengertian ini masih terus berlaku bagi orang yang membunuh kafir di luar peperangan.
Melalui hikayat-hikayat perang para pemimpin agama menyatakan bahwa berperang
sabil dalam menghadapi orang kafir yang menduduki negeri Islam merupakan suatu
kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh setiap orang Islam (fardhu ‘ain), dan berdosalah ia bilamana setiap orang Islam tidak melakukannya. Dengan mengenal isi yang terkandung dalam Hikayat Perang Sabil kita akan lebih memahami pihak Aceh dalam melakukan peperangan yang mereka anggap sebagai perang di Jalan Allah[1].
Syaikh Ibrahim Lam Bhuek juga menyatakan bahwa, pikiran berperang sabil melawan kafir ini sudah ada sejak Portugis menyerang Aceh. Hikayat Malem Dagang, yang ditulis pada abad XVII M. yang mengisahkan masa perlawanan Aceh terhadap Portugis, menyebut tentang perang sabil sebagai berikut:
Peue kataköt prang Yahudi
Nibak Nabi asay mula
Peue katakot prang sabi
Teuntee (tuan Teu) Ali neuböh panglima
Bak si’uroe raja muprang
Malem Dagang neuboh panglima.
Artinya:
Mengapa takut perang Yahudi
Daripada Nabi asal mula
Mengapa takut perang sabil
Tuan kita Ali dijadikan panglima
Pada hari ini raja (Iskandar Muda) berperang
Malem Dagang dijadikan panglima [2]
Perang Aceh adalah perang terpanjang dan terakhir yang dilakukan oleh rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Dalam perang tersebut, ratusan ribu orang tewas, ratusan kampung dibakar oleh Belanda, dan bahkan begitu kesalnya Belanda pada rakyat Aceh, mereka juga membakar pohon dan tanaman yang mereka lewati demi memutus pasokan logistik pasukan Aceh.
Istana Kerajaan Aceh pun sempat mereka kuasai, para pemimpin mereka bunuh dan
sebagian menyerah. Bahkan, sebagian pemimpin Aceh dari kalangan hulubalang memberikan seruan agar para pemimpin agama yang masih meneruskan jihad melawan penjajah Belanda untuk menyerah. Mereka beralasan bahwa Belanda tidak mengubah dan tidak melarang agama Islam sebagaimana rekomendasi dari Snouck Hourgronje bahwa umat Islam tidak dilarang untuk melakukan ibadah mahdhah, namun harus dijauhkan dari kancah hukum (hudud) dan politik. Namun, seruan tinggallah seruan.
Perlawanan masih terus berlangsung sampai penjajah Belanda meninggalkan Aceh. Dari sini, terdapat hal yang jauh lebih penting, yang menjadi bahan bakar bagi keberlangsungan jihad rakyat Aceh. Di sinilah Hikayat Perang Sabil memegang peran penting. Ia menjadi center of gravity dalam jihad rakyat Aceh melawan penjajah Belanda.
Center of gravity adalah pusat dari seluruh kekuatan dan gerakan, yang segala sesuatu
bergantung padanya. Ia juga merupakan titik di mana seluruh energi harus diarahkan. Center of gravity juga merupakan sumber kekuatan yang memberikan kekuatan moral atau fisik, kebebasan untuk melakukan tindakan, atau kemauan untuk melakukan aksi.
Hikayat ini menjadi faktor terpenting yang terbukti ampuh menjadi faktor ideologis yang
tak bisa dipadamkan. Selama doktrin yang diajarkan Hikayat Perang Sabil masih berada di hati masyarakat Aceh, perang melawan kaphe Belanda akan terus berlangsung. Hal ini terbukti dengan usaha-usaha mati-matian Belanda mengakhiri perang selama puluhan tahun dengan membakar desa, merusak tanaman yang menjadi persediaan makanan, serta menangkap para pemimpinnya dari kalangan uleebalang (bangsawan) maupun dari kalangan ulama. Tekad perlawanan tetap berkobar sampai Belanda angkat kaki meninggalkan bumi Aceh.Sampai saat-saat terakhir tentara Belanda di Aceh, mereka tidak bisa sepenuhnya menguasai dan mengontrol semua wilayah Aceh.
Hikayat Perang Sabil bukan karya sastra biasa. Tetapi, ia adalah sebuah karya yang bersumber dari wahyu ilahi dan karenanya keberadaannya akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Para ulama Aceh berhasil menyampaikan pesan- esan dari Al-Quran dan Al-Hadits dalam karya yang dipahami oleh masyarakat Islam di Aceh saat itu. Karena itu, tidak mengherankan jika akhirnya syair-syair jihad pun sampai bisa menjadi lagu pengantar tidur bagi anak-anak Aceh untuk menjadikan jihad sebagai jalan hidup mereka.
Faktor pendukung lainnya yang juga penting adalah peran ulama yang baik. Ulama yang baik dan murid-muridnya telah membuktikan diri sebagai teladan dalam melawan kezaliman dan ketidakadilan penjajah Belanda. Terbukti wilayah Pidie yang merupakan basis dayah (pesantren) menjadi wilayah terakhir yang bisa ditaklukkan Belanda.
[1] Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, h. 136.
[2] Ibid h. 109
(*/arrahmah.com)