JOMBANG (Arrahmah.com) – Sejumlah peserta Muktamar NU ke-33 mengkritisi pelaksanaan Sidang Pleno I yang membahas Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015, Senin (3/8) malam.
Kiai Mudzakir Manan, salah satu peserta dari Sumatera Barat, menilai pleno LPJ cacat prosedur. “Seharusnya ada pandangan umum, karena penilaian diterima atau tidak itu diambil setelah para muktamirin diberi kesempatan meyampaikan pandangan umum,” kata kiai sepuh dari Padang ini, dikutip dari RMOL.co, Rabu (5/8).
Penyampaian pandangan umum tersebut menurut Mudzakir adalah hal penting. Sebab banyak hal yang perlu dikritisi, di antaranya adalah tidak disebutnya memorandum of understanding (MoU) antara PBNU dengan kampus Syiah, Mustafa University Qom Iran yang dilakukan oleh Said Aqil.
“Padahal MoU dengan Iran juga telah terindikasi sangat membahayakan bagi NU, mengingat kerjasama tersebut terfokus pada kerjasama pendidikan dan tsaqofah keislaman yang sangat mungkin akan mempengaruhi penyebaran Syiah di Indonesia. Dalam LPJ ketua umum, juga mengingatkan tentang kewaspadaan terhadap perkembangan Wahabi di Indonesia, tapi yang menjadi pertanyaan kenapa Kiai Said Aqil tidak menyatakan kewaspadaan terhadap Syiah,” paparnya.
Sementara Ketua Umum Tanfidz PWNU Jawa Tengah, Prof. Abu Hafsin juga mengatakan sidang pleno tersebut cacat prosedur karena hanya berisi pembacaan LPJ oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, tanpa ada pandangan umum dari muktamirin (peserta muktamar).
“Setelah LPJ tak ada pemandangan umum, malah langsung diketuk palu dan diterima oleh pimpinan sidang yakni Sekjen PBNU Dr. Marsudi Syuhud. Jadi itu bukan LPJ, tapi baru pembacaan LPJ. Hak konstitusi muktamirin tidak diberikan malah dipaksa sepakat. Bahkan ruang bertanya pun tidak diberikan. Jadi ketika KH Mustofa Bisri (Rais Syuriah PBNU) mengajak santun, sebenarnya siapa yang membuat masalah?” kata Abu Hafsin di Jombang, Selasa (4/8/2015) tulis RMOL.co, Rabu (5/8/2015).
Usai pembacaan LPJ, lanjut Abu Hafsin, Sekjen PBNU yang memimpin jalannya sidang pleno langsung mengetok palu dan menutup pleno tanpa memberi kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan pandangan umum. Di ruang sidang pleno juga tidak disiapkan mikrofon bagi peserta yang ingin menyampaikan pandangan umum.
“Beberapa peserta kebingungan karena tidak bisa menyampaikan pandanganya untuk menanggapi laporan ketua umum. Mereka hanya bisa protes tetapi tidak ditanggapi oleh pimpinan siding,” ungkapnya.
Selain itu, tambah Abu Hafsin, panitia terindikasi memasukkan orang-orang tertentu yang sudah dipersiapkan untuk meneriakkan dukungan bahwa laporan pertanggunggungjawaban bisa diterima. (azm/arrahmah.com)