JOMBANG (Arrahmah.com) – Nahdlatul Ulama (NU) ternyata baru sekali menerapkan sistem ahlul halli wal aqdi (Ahwa). Yakni, pada Muktamar ke-27, di Situbondo pada 3-12 Desember 1984. Saat itu, ada beberapa pertimbangan dalam penggunaannya.
Sepeninggal Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri pada 1980, NU terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu politik yang bermuara kepada Ketua Umum PBNU Idham Cholid (Cipete) dan kubu khittah yang dijaga ketat Asad Syamsul Arifin (Situbondo). Kala itu Asad didukung kelompok muda pembaru yang digawangi almarhum Abdurrahman Wahid.
Ketua Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang KH Kholil Dahlan mengatakan, sistem Ahwa adalah sebuah sistem pemilihan pemimpin yang diajarkan atau dicontohkan oleh sahabat Nabi Muhammad.
Sistem ini dilakukan saat memilih al-Khulafa’ ar- Rasyidun, yang tak lain pada masa Abu Bakar as-Shiddiq, Umar Ibnu Khottab, Usman bin Affan, dan Aly bin Abi Thalib. Sedangkan NU sebagai salah satu pewaris Ahwa ini ingin kembali menerapkannya di muktamar Jombang 1 Agustus nanti.
“Semisal, ketika sebelum Umar Ibnu Khottab meninggalkan jabatannya, beliau mengangkat enam orang untuk bermusyawarah. Dan dalam hasil musyawarah tersebut diangkatlah Usman Bin Affan sebagai penerus Umar untuk menjadi khalifah,” ujarnya, lansir Metrotvnews.com, Kamis (30/7/2015).
Kiai Kholil mengatakan, jumlah sembilan orang yang saat ini digunakan dalam muktamar, didasarkan pada jumlah Wali Songo. Jumlah itu juga mengacu pada bintang dalam gambar Nahdatul Ulama yang juga sembilan buah.
“Karena pemaknaan angka dalam NU sangat kental, maka jumlah sembilan ini dijadikan salah satu dasar pengambilan jumlah perwakilan dalam sistem Ahwa,” imbuhnya. (azm/arrahmah.com)