ANKARA (Arrahmah.com) – Tidak disangka perjuangan Muslimah Turki untuk dapat mengenakan jilbab secara bebas begitu panjang. Sejak berkuasanya pemerintah sekuler di tahun 1924, semua syi’ar Islam, termasuk syari’at jilbab kian suit dilaksanakan.
Hingga akhirnya beberapa kali para pemimpin Muslim di generasi berikutnya memperjuangkan syari’at jilbab meski melalui onak dan duri. Sebagaimana yang dialami Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan saat masih menjabat sebagai Perdana menteri (PM), dibutuhkan waktu 10 tahun guna mengubah undang-undang yang melarang jilbab masuk ke institusi negara melalui jalan juang parlemen, demikian Piyungan melansir ROL.
Dalam rentang 10 tahun itu istri sang PM dan sang presiden (Emine Erdogan dan Hayrunnisa Gul) terpaksa tidak bisa mendampingi suami mereka di rumah dinas dan istana negara. Karena alasan jilbab pula, PM Erdogan kemudian menyekolahkan kedua anak perempuannya ke Amerika Serikat dan Bosnia.
Pada tahun November 2013, PM Erdogan mengumumkan paket reformasi yang telah disetujui parlemen. Paket reformasi itu mencakup antara lain pencabutan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab di berbagai institusi pemerintah/negara.
Sebelumnya, larangan berjilbab di kampus-kampus, termasuk di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri, juga telah dicabut. Dengan begitu, para pegawai negeri perempuan kini bebas mengenakan busana Muslimah dan laki-laki boleh memelihara jenggot. Namun, larangan memakai jilbab dan berjenggot masih tetap berlaku untuk tentara, polisi, hakim, dan jaksa.
Paket reformasi yang mencabut undang-undang larangan berbusana Muslimah di institusi pemerintah/negara ini merupakan lompatan besar dan merupakan beberhasilan partai pemerintah, Partai AKP pimpinan Erdogan. Sepuluh tahun lalu, atau tepatnya pada 2002, ketika AKP memenangkan pemilu dan mengantarkan Erdogan menjadi PM Turki, partai berhaluan Islam ini berjanji akan mencabut larangan mengenakan busana Muslimah ini di semua institusi pemerintah.
Namun, untuk merealisasikan janji itu ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di Turki, meskipun 98 persen penduduknya beragama Islam, masalah jilbab atau hijab bukan hanya urusan beragama masing-masing individu. Jilbab sudah menjadi simbol politik.
Simbol bagi kalangan sekuler dan juga simbol bagi mereka yang peduli dengan agama Islam. Bagi partai-partai sekuler, larangan berjilbab di institusi-institusi pemerintah merupakan realisasi dan perwujudan dari Republik Turki modern yang didirikan oleh Mustafa Kamal Ataturk sejak 90 tahun lalu.
Turki modern yang dimaksud adalah dengan tetap menjaga dan memelihara kesekuleran negara. Yaitu dengan menghilangkan atau melarang simbol-simbol agama masuk dalam institusi-institusi pemerintah/negara. Termasuk larangan mengenakan atribut agama, terutama jilbab, di institusi-institusi negara tadi. Dengan kata lain, memperbolehkan atribut agama masuk di institusi pemerintah/negara berarti telah menghilangkan ciri dan status dari sekularisme Republik Turki modern.
Di lain pihak, kalangan Islam di Turki menyatakan bahwa sekuler yang benar justru memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada setiap individu untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing, antara lain mengenakan busana Muslim/Muslimah. Apalagi, umat Islam di Turki merupakan mayoritas. Karena itulah, kalangan Islam, terutama partai politiknya, terus berusaha memperjuangkan Islam, termasuk mengenakan atribut-atribut keagamaan.
Yang pertama memperjuangkan jilbab adalah Najmuddin Erbakan ketika menjadi PM Turki pada 1996. Namun, lantaran terlalu menonjolkan agenda Islam, ia akhirnya dikudeta oleh militer (1997) yang saat itu mepakan benteng dan penjaga sekularisme Turki. Bahkan, seorang anggota parlemen perempuan dari Partai Refah (Partai Kesejahteraan) pimpinan Erbakan, Marwah Qawaqiji, yang berhasil memasuki gedung parlemen dengan berjilbab, dipaksa keluar oleh para anggota parlemen lainnya dari partai kiri sekuler.
Belajar dari kasus Erbakan, Erdogan kemudian menggunakan trik lain ketika menjadi PM. Pertama, ia tidak pernah menonjolkan simbol-simbol keagamaan dalam memperjuangkan penerapan Islam, terutama yang menyangkut jilbab. Alasan yang ia kemukakan adalah hak asasi manusia (HAM). Dengan mengangkat HAM, menjadi tidak ada alasan bagi kalangan sekuler untuk menentangnya.
Apalagi, ketika meluncurkan paket reformasi, terutama yang terkait dengan jilbab, Erdogan menegaskan langkahnya itu sebagai bagian dari upaya memperkuat Turki mengajukan diri sebagai anggota penuh Uni Eropa. Yang terakhir ini juga merupakan keinginan kalangan sekuler selama bertahun-tahun namun terkendala lantaran banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan sekuler sebelumnya.
Kedua, ia harus membuktikan bahwa partainya ketika berkuasa mampu menyejahterakan rakyat dan meningkatkan ekonomi Turki. Hal inilah yang kemudian dibuktikan AKP selama 10 tahun berkuasa. Sebagai misal, pendapatan per kapita yang 10 tahun lalu hanya 3.000 dolar AS, kini–dalam masa 10 tahun pemerintahan Erdogan–sudah mencapai 14 ribu dolar.
Pertumbuhan ekonomi Turki rata-rata di atas enam persen/tahun. Bandingkan dengan negara-negara Eropa yang kini ekonominya terpuruk. Bahkan, Turki yang sepuluh tahun lalu dijuluki oleh Barat sebagai negara sakit, kini sudah menjadi kekuatan ekonomi ketujuh di Eropa.
Angka pengangguran juga sangat rendah. Begitu juga dengan korupsi. Selama menjadi PM, Erdogan memang sangat keras terhadap tindak korupsi dan pencucian uang negara. Apalagi, bila pelakunya adalah orang-orang dari partainya.
Dengan tingkat ekonomi dan kesejahteraan yang membaik, hal itu tentu tidak hanya dinikmati para pendukung AKP, tapi juga seluruh rakyat Turki, termasuk oleh kalangan oposisi dari kelompok sekuler dan liberal. Tak mengherankan bila kemudian Partai AKP dalam 10 tahun terakhir selalu menang dalam tiga kali pemilu. Perolehan suaranya pun selalu meningkat dari pemilu ke pemilu berikutnya.
Dengan kondisi demikian, Erdogan tidak terlalu sulit untuk meluncurkan berbagai paket reformasi. Termasuk, pencabutan larangan penggunaan jilbab di institusi-institusi negara. (adibahasan/arrahmah.com)