JAKARTA (Arrahmah.com) – Menghangatnya reaksi berbagai kalangan terkait praktik mu’amalah pada BPJS yang tidak sesuai syari’at berdasarkan fatwa MUI, rupanya perlu disikapi secara profesional namun dikerangkai nilai keislaman yang benar. Sebagai praktisi ekonomi syari’ah yang kompeten di bidangnya, Ustadz Muhaimin Iqbal memberikan pencerahan berikut, sebagaimana Arrahmah kutip dari geraidinar.com Senin (3/8/2015).
BPJS setelah MUI bersikap
Hari-hari ini masyarakat luas dari berbagai kalangan baru meributkan tentang haramnya BPJS setelah MUI berfatwa. Saya sudah membahasnya di situs ini sejak dua tahun lalu antara lain melalui tulisan “Ketika Yang Haram Diwajibkan” (14/11/2013), dan saya perjelas melalui tulisan “Negeri ½ Syariah” setahun kemudian (4/11/2013). Katakanlah tidak semua orang setuju dengan keharaman BPJS ini misalnya, sebenarnya tetap tidak perlu kontroversi kalau pengelola BPJS berorientasi pasar saja. BPJS bahkan bisa belajar dari usaha-usaha lain yang dikelola secara professional.
Ambil contohnya para pabrikan mobil, mengapa sekarang banyak sekali mengeluarkan mobil berwarna putih? sampai-sampai ada asosiasi White Car Owner? Ya karena pasarnya lagi banyak yang suka mobil berwarna putih.
Mengapa beberapa bank asing, juga perusahaan asuransi asing yang masuk Indonesia banyak yang mau berepot-repot membuka unit syariah? Ya karena pasarnya sebagian besar muslim. Maka mereka berusaha memenuhi kebutuhan pasarnya dengan produk yang sesuai.
Nah ironinya adalah perusahaan yang dipakai pemerintah untuk mewajibkan seluruh warga negera ini menggunakannya, malah tidak peka terhadap kebutuhan akan syar’i-nya produk yang dipaksakan dengan kewajiban menurut Undang-Undang ini.
Katakanlah tidak semua orang setuju dengan fatwa MUI-pun, sebagian yang cukup besarnya kan setuju? mengikuti cara professional pabrikan mobil tersebut saja – sebagian mobil tetap berwarna merah, hitam dan lain sebagainya – tetapi mereka mengeluarkan banyak produk berwarna putih bukan ?
Maka menggunakan analogi produsen yang berusaha memnuhi kebutuhan konsumen tersebut saja, saya rasa fatwa MUI sudah tidak lagi perlu diperdebatkan apalagi dikontroversikan. Saya sendiri sudah tidak membahasnya secara teknis karena dalam perbagai penjelasan yang disampaikan pengurus MUI – saya sepenuhnya sependapat – dan memang sesuai dengan dua tulisan saya tersebut di atas.
Teman-teman yang minta saya mengkomentari fatwa MUI tentang haramnya BPJS dengan pola pengelolaan sekarang, dua tulisan saya tersebut di atas saya rasa sudah cukup. Jadi saya tidak menambah panjang diskusinya – just do it!
Yang saya – dan juga jutaan Muslim lainnya tunggu sekarang – adalah kepekaan professional para pengelola BPJS untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (yang diwajibkan untuk mengikuti programnya) secara syar’i, agar masyarakat nyaman menggunakan produk-produk mereka dan agar keberkahan mulai menetes di negeri ini. Semoga. (adibahasan/arrahmah.com)