RAMALLAH (Arrahmah.com) – Tiga puluh satu tahun setelah pemerintah “Israel” menyita tanahnya di desa Dura Al-Qar Ramallah Utara, Palestina, pemilik tanah Abdul Rahman Kassem telah berjuang untuk mendapatkan kepastian hukum terkait pembongkaran dua bangunannya di pemukiman Beit El. Alasannya, bangunan tersebut tersebut dibangun di atas properti pribadinya.
Meskipun keputusan itu tidak memungkinkan Kassem untuk memiliki akses ke tanah itu sehingga iia bisa kembali menanam anggur, seperti yang ia lakukan di masa lalu bersama dengan ayah dan kakeknya, tapi ia berjanji bahwa “suatu hari anak-anak dan cucu-cucu saya akan mampu melakukannya.” Demikian MEMO melansir, Kamis (30/7/2015).
Kisahnya dimulai ketika “Israel” menyita tanahnya, seluas sekitar 3,5 hektar, pada tahun 1984 untuk tujuan militer sebagai bagian dari keputusan untuk menyita hampir 450 hektar tanah di desa itu dalam rangka membangun pemukiman Beit El. Pemukiman ini telah dianggap sebagai pos militer di Tepi Barat yang diduduki sejak tahun 1978.
Kassem telah melakukan berbagai upaya politik dan hukum selama 30 tahun terakhir agar bisa mendapatkan kembali tanah itu, tapi belum mampu mencapai apa-apa. Ketika perusahaan konstruksi “Israel” mulai membangun unit perumahan pemukiman di tanah itu pada tahun 2009, ia kembali melakukan perjuangan hukum di pengadilan.
Mahkamah Agung “Israel” awalnya mengeluarkan putusan menghentikan pembangunan di tanah Kassem, tapi pihak perusahaan konstruksi tidak menghadiri persidangan dan tetap melanjutkan pembangunan. Ia bahkan menawarkan kepada kassem uang sebesar $ 28 juta untuk tanah itu, atau “berapapun jumlah yang diinginkan”. Kassem mengatakan kepadanya bahwa tanah itu tidak dijual.
Pada tanggal 8 September tahun lalu, Kassem berhasil mendapatkan surat keputusan dari Mahkamah Agung yang memerintahkan pembongkaran dua unit pemukiman yang dibangun di atas tanah itu, tapi kelompok pemukiman itu mengajukan banding atas putusan itu.
“Saya ditawari dengan tawaran yang menggiurkan untuk menghentikan kasus ini,” jelas Kassem, “tapi saya mengatakan kepada investor itu bahwa sembilan pemuda tewas di tanah ini saat mereka mempertahankannya, empat dari kamp Jalzone dan lima dari desa saya sendiri, salah satunya adalah anak saya Ibrahim yang saat itu adalah seorang mahasiswa, pada tahun 1991. Jika anak Anda tewas demi tanah Anda, Anda akan menjualnya? “
Tanahnya sekarang berada dalam area permukiman yang dikelilingi oleh pagar logam dan dinding semen. “Ini tidak penting sekarang,” katanya dengan penuh keyakinan. “Suatu hari kami akan mendapatkannya kembali.”
(ameera/arrahmah.com)