LONDON (Arrahmah.com) – Lima tahun rencana kontra-ekstremisme yang diresmikan oleh Inggris telah menuai reaksi keras dari kelompok-kelompok Muslim dan organisasi non-pemerintah di negara ini.
Sebagai bagian dari rencana yang akan diajukan ke parlemen pada musim gugur ini, pemerintah Inggris bertujuan untuk mencegah warganya meninggalkan negara itu untuk bergabung dengan kelompok ‘radikal’ dan menghadapi tumbuhnya ekstremisme, yaitu “ekstremisme Islam”, sebagaimana dilansir oleh World Bulletin, Selasa (21/7/2015).
“Orang-orang ini bukan hanya para ekstrimis, mereka juga kelompok sayap kanan yang patut dibenci, dan apa yang menyatukan mereka semua adalah tujuan mereka terhadap para pemuda dan mencuci otak pikiran mereka,” kata Perdana Menteri David Cameron saat berpidato pada Senin (20/7) di sekolah Ninestiles Academi di Birmingham.
Namun, beberapa kelompok Muslim dan LSM di negara tersebut percaya bahwa pidato Cameron dan rencana anti-ekstrimisme itu bisa mengisolasi populasi Muslim Inggris.
Omar al-Hamdun, kepala Asosiasi Muslim Inggris (MAB), mengatakan bahwa pidato Cameron itu bisa merugikan ummat Islam di Inggris
“Misalnya, Cameron mengungkapkan dalam pandangannya tentang perlunya kontra-ekstremisme tapi kami pikir strategi ini akan lebih membahayakan Muslim Inggris ketimbang sebaliknya,” katanya.
Al-Hamdun menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan pernyataan Cameron, di mana dia mengatakan “banyak Muslim yang tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Inggris”.
Cameron mengatakan bahwa Muslim harus berintegrasi dan menjadi bagian dari masyarakat. Tapi ketika ummat Islam mencoba untuk berintegrasi dan menjadi bagian dari masyarakat, mereka dituduh entryism, kata Al-Hamdun.
Sebagaimana dilansir oleh CNN, Selasa (21/7), Cameron mengungkapkan bahwa komunitas Muslim di Inggris tidak lagi diperbolehkan hidup berkelompok dan harus membaur dengan masyarakat sekitar. Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu cara mengatasi ekstremisme di negara itu.
Ide itu disampaikan Cameron dalam pidatonya tentang strategi pemerintah dalam menangkal fundamentalisme yang disebutnya sebagai “ideologi beracun”. Untuk mencegah Muslim hidup berkelompok, eksklusif dan memisahkan diri, kata Cameron, sekolah dan perumahan dengan populasi ummat Islam yang besar harus bersatu dengan komunitas kulit putih di wilayah itu.
Selain itu, dia akan memerintahkan pemeriksaan pembangunan perumahan untuk memastikan tidak ada permukiman yang warganya hanya terdiri dari satu latar belakang etnis minoritas.
“Pemerintah Inggris mendorong ummat Islam untuk menjadi gubernur. Tapi ketika Muslim menjadi gubernur dan berpartisipasi dalam politik, mereka mencoba untuk mendorong ummat Islam menjauh dan menuduh mereka memaksakan ideologi politik mereka sendiri dan Islam,” tambah Al-Hamdun.
Muhammad Shafiq, kepala Ramadhan Foundation, juga bereaksi terhadap pidato Cameron di harian Inggris The Guardian, Selasa (21/7)/
“Pidato perdana menteri telah membuat semuanya tentang Muslim, namun ia tidak melibatkan Muslim tentang strategi kontra-terorismenya. Jika ummat Islam merupakan pusat perhatian untuk mengalahkan ‘narasi beracun’ itu maka mengapa ia tidak melibatkan masyarakat Muslim,” ungkap Shafiq.
Perdana menteri Cameron juga mencoba menghindar dari laporan yang berkembang tentang keterlibatan militer Inggris di Irak atau Suriah.
Menurut Shafiq, rencana Cameron melarang Muslim hidup berkelompok memunculkan pemahaman yang kabur soal ektremisme dan terorisme. Cameron telah menyamakan integrasi dan persatuan ummat Islam dengan ekstremisme dan terorisme, padahal tidak demikian.
(ameera/arrahmah.com)