JAKARTA (Arrahmah.com) – Masalah blokade Masjid BSC Al-Futuwwah oleh pihak pengembang hingga saat ini masih belum terselesaikan. Meski pada Ahad sore (21/6/2015) sempat mengalami pembongkaran oleh Satpol PP dan disaksikan oleh Kesra Walikota Jakarta Selatan, Camat, Lurah, dan Ketua RT setempat, namun 10 menit kemudian beton pemblokir itu akhirnya ditutup kembali dengan papan. Demikian Islampos melaporkan pada Kamis (25/6).
Sebelumnya, Pemkot Administrasi Jakarta Selatan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kelurahan Cipete Utara, mengundang Sanwani Naim selaku pengurus masjd untuk menghadiri pertemuan di Kantor Kelurahan Cipete Utara, Jum’at (19/6/2015) lalu. Namun, pihak Sanwani menolak hadir.
Dalam pertemuan tersebut rencananya dibahas pemblokiran akses jalan menuju masjid. Alasan Sanwani tidak hadir, karena undangan tersebut dinilai lebih bersifat pribadi. Dalam undangan itu turut mengundang Ketua RT 004, RW 09, penjaga tanah (Mates), Babinsa dan Babinkantibmas Kelurahan Cipete Utara.
Namun, pada Ahad sore (21/6), menjelang Ashar, pukul 14.30, “Orang Kelurahan” mendatangi Masjid Al-Futuwwah, mengajak Sanwani untuk datang ke Masjid An-Nur — masih di Cipete Utara dan merupakan wakaf orang tua Sanwani.
Saat dikonfirmasi wartawan pada Kamis (25/6), Sanwani berkata, “Saya bilang, kenapa nggak disini saja pertemuannya, di Masjid Al-Futuwwah. Saya pun menolak datang ke Masjid An-Nur.”
Akhirnya, berbondong-bondonglah rombongan Kesra Walikota Jakarta Selatan, Camat Kebayoran Baru, Lurah Cipete Utara, Ketua RT 004, dan satpol PP, termasuk Mates ke Masjid Al-Futuwwah. Kedatangan mereka tanpa dihadiri oleh Ichsan Thalib ataupun perwakilan dari pihak pengembang PT. FIM Jasa Ekatama.
“Pertemuan ini belum bisa disebut sebagai upaya pengambil keputusan, karena pihak Ichsan Thalib sebagai pengembang tidak hadir. Pertemuan ini saya kira sebagai bentuk dengar pendapat saja,” ujar Sanwani.
Menurut Sanwani, kedatangan rombongan ini lebih mengesankan bahwa seolah pemblokiran ini akibar ada persoalan pribadi dirinya dengan Mates yang digaji bulanan oleh Ichsan Thalib tersebut. Dalam pertemuan itu, pihak Pemkot menjanjikan akan menindaklanjuti hal ini dengan mempertemukan Sanwani dengan pihak pengembang, mengingat yang menjadi tuntutannya adalah satu paket, akses jalan 3 meter dan 2,5 meter.
Kemudian, setelah ba’da Ashar, pukul 16.00 WIB, tembok yang di atasnya dilapisi pecahan kaca — berada di sebelah utara masjid — dibongkar oleh Satpol PP disaksikan oleh Kesra Walikota Jakarta Selatan, Camat, Lurah, dan Ketua RT setempat.
Satpol PP sempat mengajak pihak pengurus masjid untuk menyaksikan pembongkaran tersebut. Namun, Sanwani beserta stafnya menolak.
“Kami trauma, khawatir diambil gambar (foto), seolah ini perdamaian antara saya dengan Mates, yang sejak awal digiring sebagai konflik peribadi. Kami takut ini jebakan. Mengingat tahun 2014, saat kami membongkar pagar, kuasa hukum Ichsan Thalib melaporkan saya ke polisi. Di mana saya dijadikan sebagai saksi terlapor,” terang Sanwani.
Dibongkar terus ditutup
Selang 10 menit dari pembongkaran, Kesra Walikota Jaksel beserta rombongan meninggalkan Masjid Al-Futuwwah. Alih-alih membiarkan warga melewati tembok yang selama ini dijadikan akses jalan keluar-masuk masjid itu, pihak Mates malah langsung menutupnya kembali dengan menggunakan asbes dan kayu.
Sontak saja Sanwani selaku pengurus masjid dan warga di sekitarnya menjadi heran dengan perilaku Mates itu. “Sudah dibongkar kok ditutup lagi. Seolah penutupan ini direstui,” kata Sanwani.
Pada sejumlah media, Mates diberitakan sebagai warga asli Cipete Utara dan tetangga Sanwani yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris. Padahal, kata Sanwani, Mates adalah suami dari perempuan yang menjadi ahli waris.
Dalam kesempatan lain, Mates pernah menyatakan alasan mengapa dia menutup akses jalan warga menuju masjid. Menurutnya, pihak ahli waris belum menerima sisa pembayaran tanah dari Ichsan Thalib sekitar Rp. 600 juta. Padahal, Mates bukan ahli waris.
Lantas dimana letak hubungan uang sisa pembayaran dengan akses jalan ke masjid? Toh, Sanwani tidak mempersoalkan jika akses jalan, dekat pintu gerbang hitam itu, dijadikan “jalan bersama”. Lagipula tidak ada yang dirugikan dengan adanya akses jalan bersama, baik dari pihak pengurus masjid, maupun pengembang.
Yang menarik adalah, ketika Komnas HAM memediasi persoalan ini, tiga kali Ichsan Thalib tidak hadir, hanya diwakilkan oleh kuasa hukumnya, dan setelah itu mengundurkan diri dari upaya mediasi yang ditengahi oleh Komnas HAM. Jadi, mengapa permasalahan ini tidak pernah tuntas? “Itu karena, setiap ada pertemuan untuk membicarakan ihwal akses jalan, Ichsan Thalib tidak pernah hadir,” tukas Sanwani.
Perlu diketahui, Ichsan Thalib membeli tanah seluas 2.700-3000 meter persegi, tidak dalam bentuk blok, namun terpotong-potong di beberapa lokasi di wilayah yang sama. Kabarnya, di lahan tanah itu akan dibangun Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) “yang nantinya bersinergis” dengan Masjid dan Pesantren Yatim-Dhuafa BSC Al-Futuwwah.
Klarifikasi Sanwani
Saat ditanya, apakah jalan H. Thalib itu ada kaitannya dengan keluaga besar Ichsan Thalib? Sanwani menegaskan, hal itu tidak ada kaitannya. H. Thalib yang menjadi nama jalan di wilayah Masjid Al-Futuwwah adalah seorang alim asli Betawi Cipete Utara, yang telah wafat puluhan tahun yang lalu.
“Kalau H. Thalib asli Betawi, sedangkan Ichsan Thalib keturunan Arab. Jadi tidak ada kaitannya antara H. Thalib dengan keluarga besar Ichsan Thalib,” ungkap Sanwani, putera ke 29 KH. Muhammad Naim (ulama Betawi Cipete) dari 36 bersaudara, terlahir dari rahim istri ketiga KH. Muhammad Naim.
Sanwani mengaku, dirinya masih ada hubungan saudara dengan KH. Abdul Majid, yang juga dijadikan nama jalan di kawasan Cipete Utara. “KH. Abdul Majid adalah adalah paman saya, dulu lurah di sini. KH. Saidi yang juga dijadikan nama jalan, masih ada hubungan saudara dari pihak ibu. Sedangkan KH. Abdulhay (ulama Betawi terpandang) adalah abang saya sendiri,” kata Sanwani.
Sanwani membantah jika ada tudingan, seolah ulama-ulama Betawi di sekitar Kemang dan Cipete, Jakarta Selatan tidak mendukung perjuangannya. “Tolong diklarifikasi dulu, ulama yang mana, dan apa alasan tidak mendukung. Terus terang, abang saya KH. Abdulhay kerap ditempel terus oleh pihak pelobi suruhan Ichsan Thalib.”
Mengetahui adiknya teguh dengan pendiriannya, maka abang Sanwani -KH. Abdulhay- dan ulama Betawi yang ada di sini tidak mau ikut campur dengan masalah ini. Mereka tidak mau ribut dengan sesama keluarga sendiri. Demikian klarifikasi dari Sanwani. (adibahasan/arrahmah.com)