JAKARTA (Arrahmah.com) – Sanwani abai atas penilaian teman-teman sebayanya. Meski dianggap nyeleneh, pemuda jebolan FISIP Universitas Indonesia ini tak sungkan bergaul dengan masyarakat di sekitarnya yang sebagian besar pemulung dan anak jalanan.
Kepada Islampos, Ahad (21/6/2015) di Masjid Al Futuwwah, Muhammad Sanwani Naim, anak Betawi asli yang lahir dan besar di Cipete Utara ini, mengaku tidak peduli dengan penilaian teman-teman yang menyebut dirinya orang “aneh”. Meskipun Sanwani seorang yang berpendidikan, ia tidak pernah merasa dirinya lebih hebat dari anak pemulung.
Sejak kecil, Sanwani – putra seorang ulama Betawi terpandang di kawasan Kemang dan Cipete, mengecap pendidikan di sekolah agama. Ketika SMP Sanwani belajar di Pondok Pesantren Tebu Ireng – Jombang, Jawa Timur. Menginjak SMA dia sekolah di Perguruan Daarul Maarif pimpinan KH. Idham Khalid. Kemudian pernah kuliah di Akademi Bidang Perusahaan, dan meraih gelar S1 di FISIP Universitas Indonesia.
Dalam berorganisasi, Sanwani pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kepemudaan Al Azhar, dan ikut dalam aktivitas Remaja Masjid.
“Saya dulu anak gaul. Teman sebaya selalu bilang, Sani, tempatmu bukan di sini (perkampungan kumuh). Saya tidak peduli itu. Saya hanya merasa terpanggil dan tertantang dengan melakukan perubahan di kampung halaman saya sendiri,” kata Sanwani.
Bermula dari main bola
Sanwani mengakui, dahulu pergaulan di sini begitu liar, tidak sehat dan tak karuan. Tak sedikit yang menjadi korban narkoba, pelacuran, perjudian, dan perilaku maksiat lainnya. Bahkan, warga negara asing asal Korea yang tinggal di Prapanca, kerap mengajak anak-anak pemulung, denga kedok mengajak belajar. Tak tahunya, dijadikan objek dan sasaran pemurtadan.
Yang membuatnya sangat prihatin adalah fakta warga asli Betawi, dari yang tua hingga yang muda, bahkan dari anak sampai besan, acapkali main judi bareng. Saat ini, tinggal 20% dari mereka yang meninggalkan kebiasaan jelek tersebut. Bukan hanya judi, mabok, pelacuran, hingga banci tinggal di kawasan ini. Meski Betawi identik dengan sikap religius warganya, kenyataannya tak semuanya baik.
“Yang namanya nonton film porno seperti nonton film Unyil. Bahkan hamil di luar nikah dianggap biasa-biasa saja. Nyaris tak ada nilai-nilai yang dijaga. Boleh dibilang, ini sudah menjadi kawasan Las Vegas nya Cipete,” ujar Sanwani lirih.
Satu hal yang membuatnya sedih, tak ada pihak yang ingin turun tangan untuk melakukan perubahan ini. Sebagai warga asli, Sanwani tidak ingin membiarkan kondisi ini terus terjadi di depan mata. Bermula dari aktivitas di sore hari dengan bermain bola di kawasan padat dan kumuh. Pelan-pelan ia ajak teman-temannya untuk shalat berjamaah dan belajar mengaji. Ketika itu, belum ada masjid atau musholla.
Niat Sanwani untuk membentengi akidah anak-anak pemulung dan pembantu rumah tangga — kebanyakan pendatang – ini membuahkan hasil. Sebagai penyemangat, Sanwani memberi motivasi kepada anak pemulung. Siapa yang menunaikan shalat Subuh berjamaah selama sebulan full, akan diberi hadiah berupa uang. Per orang Rp. 10.000. Ketika itu, ada 30 anak.
“Sebelum ada masjid, kita numpang di rumah salah seorang pengurus Yayasan. Yang jelas, tidak mudah awalnya mengajak anak-anak pemulung dan pembantu rumah tangga ini untuk shalat jamaah, apalagi shalat Subuh. Tahun 2003, kita ngontrak tanah ‘nganggur’ hanya 20 meter dengan biaya Rp. 1,5 juta per tahun. Di atas tanah inilah kemudian dibangun sebuah basecampe terbuat dari anyaman bamboo untuk dijadikan tempat belajar, mengaji dan sekaligus musholla,” kisah Sanwani.
Tahun berikutnya, Sanwani memperluas lahan untuk sarana belajar semester demi semester dengan mengontrak 1,7 juta setahunnya. Saat ini total lahan mencapai 400 meter persegi.
“Jatuh bangun kami mendirikan sarana belajar dan musholla ini. Yang menariknya, tanah ini sebagian besar bukan merupakan tanah hibah pemberian orang atau wakaf, tapi dicicil sedikit demi sedikit,” tukas Sanwani.
Kalaupun ada, tanah milik Haji Asrih yang mewakafkan tanahnya seluas 10 meter untuk akses jalan. Pernah, tanah yang dibeli hasil tukar dengan kambing kurban. “Tahun 2012, banyak warga yang menjual tanahnya. Namun, kami bertahan untuk tidak menjual tanah hingga sekarang. Jadi dulu, awalnya kawasan kumuh, banyak sampak, tempat jamban, kita sulap menjadi panti asuhan dan masjid. Prosesnya cukup panjang pastinya.”
Diejek teman
Bagi mereka yang tak terpanggil, tentu dakwah yang dilakukan Sanwani begitu melelahkan. Ia membangun dakwah di “lahan kering”. Namun, ia tertantang untuk melakukan perubahan di lingkungannya terdekat lebih dulu.
“Teman saya mengejek, Hei Sani, ente gak geli minum yang dimasakin air oleh mereka (pemulung). Tapi saya gak peduli. Bagaimanapun mereka adalah saudara kita. Mereka orang baik, hanya saja kurang mendapat sentuhan agama. Jika saya tinggal, saya khawatir mereka akan kembali pada habitatnya semula sebagai orang liar yang tak mengenal peradaban.”
Ketika ditanya, kenapa berjuang sendiri, tidak mengajak teman yang memiliki visi yang sama? Sanwani mengatakan, “Sebagian besar teman saya banyak yang merasa tidak level. Apalagi saya dianggap orang aneh. Terpenting bagi saya adalah terjadinya peradaban di Cipete, tempat kampung halaman saya dibesarkan dan tinggal. Ketika kaum dhuafa merasa nyaman, maka itulah kebahagiaan saya,” tandas Sanwani. (adibahasan/arrahmah.com)