KARO (Arrahmah.com) – Bulan Ramadan sejatinya merupakan bulan penuh berkah dan rahmat bagi umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali bagi Hariati br Sitepu (40), warga Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo.
Ibu dua anak bersama sekitar 250–an umat Muslim dari desa yang berjarak cukup dekat dengan Gunung Api Sinabung itu tawakkal mengawali ibadah puasa di tempat penampungan Jambur Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, dengan kondisi serba sederhana.
Sekira pukul 02.30 dini hari, Hariati yang akrab disapa Ati bersama ibu–ibu teman sedesanya mulai memasuki dapur umum posko untuk menyiapkan menu sahur perdana mereka. Udara dingin yang terasa menusuk hingga tulang, tak menjadi halangan bagi para ibu–ibu tangguh tersebut untuk menyiapkan menu sahur.
Satu–persatu peralatan memasak mulai difungsikan sebagaimana mestinya. Sebagian ada yang memotong sayuran untuk direbus, serta ada yang memanaskan nasi beras catu, dan lauk sisa makan malam sebelumnya untuk menu sahur pada pagi yang dingin dan hening itu. Sebagian lagi, terlihat berdiam disekitar lokasi dapur untuk menghangatkan badan.
Selang 30 menit, menu seadanya untuk sahur pun siap disantap. Para pengungsi umat Muslim mulai dari anak–anak, remaja dan orangtua mulai bangun dari istirahat yang dapat dikatakan tidak nyaman, karena berdesak–desakan di dalam jambur.
Mereka pun mulai membersihkan diri di kamar mandi umum yang berada satu areal dengan dapur. Setelahnya, para ibu pun mulai menyajikan hidangan sahur untuk masing–masing pengungsi. Puluhan anak-anak terlihat tak sabar menunggu giliran untuk mendapat jatah sahur seadanya.
Rasa persaudaraan dan kebersamaan terasa sangat kental di lokasi dapur umum berukuran 5×5 centimeter (cm) tersebut. Setelah memanjatkan doa, mereka pun mulai bersantap sahur sembari bercerita ringan tentang kehidupan, anak–anak dan kampung halaman yang ditinggal mengungsi.
Suara nyaring tangisan bayi turut mengiringi santap sahur warga Desa Kuta Rayat yang jumlah penduduk Muslimnya cukup banyak itu.
“Sejak tahun 2010 hingga sekarang ini, kami selalu menjalani puasa dan berlebaran di pengungsian. Setiap bulan Ramadan pasti mengungsi. Enggak sanggup aku ngomong pak, enggak tega aku melihat anak–anak yang masih kecil ini semua. Kami tidak mengharap apa–apa dari pemerintah. Kami terima dengan ikhlas dan lapang dada,” ungkap Ibu Ati berlinang air mata, Kamis (18/6/2015).
Ibu Ati yang mengenakan jilbab putih kala itu menambahkan, sebelumnya mereka sudah merasa nyaman di kampung halaman, sudah bisa kembali mengolah lahan pertanian. Namun, amukan Sinabung tak dapat terhindarkan hingga sisa pundi–pundi yang sudah habis untuk modal bercocok tanam menjadi sia–sia, karena terbengkalai ditinggal mengungsi.
“Perasaan sangat sedih mengawali puasa di pengungsian seperti sekarang ini. Harapan kami mudah–mudahan Gunung Sinabung tidak ngamuk lagi, biar kami bisa pulang. Setiap tahun seperti ini, kami sudah cukup menderita tiap puasa dan Lebaran. Mau salat saja kami bingung pak di mana tempatnya?” ungkapnya.
Dia melanjutkan, memang ada masjid, namun harus ditempuh sekitar puluhan meter. “Kami harap pemerintah dapat menyediakan ruang untuk kami beribadah,” harapnya.
Warga lainnya, Rosalina br Sitepu (35) mengaku cukup sedih, karena tak bisa mengawali ibadah puasa di kampung halaman. Menurutnya, mungkin hal ini adalah cobaan dari Tuhan, agar menjadikan manusia menjadi lebih sabar dan tabah.
Sementara itu, Sekretaris Desa Kuta Rayat Sastrawan Ginting mengakui kalau warganya kekurangan gizi dalam menjalani ibadah puasa pertama di posko pengungsian.
“Kami sahur dengan menu ikan sambal dan sayur rebus, serta berasnya bulog. Harapan kami kedepannya agar terpenuhi masalah gizi terutama bagi masyarakat kami yang Muslim, karena ini sedang bulan puasa,” harapnya.
Usai bersantap sahur, para pengungsi terlihat bersama–sama menuju masjid untuk salat subuh dengan berjalan sekitar 50 meter (m) dari posko pengungsian. (azm/sindonews/arrahmah.com)