JAKARTA (Arrahmah.com) – Mencuatnya berita dan tulisan di media online belakangan ini mengenai keraguan akan pembantaian Rohingya yang terjadi di Rakhine State, Myanmar, telah mengejutkan kalangan Pegiat Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasalnya, berita dan tulisan tersebut memuat pernyataan dan komentar kontroversial yang seolah-olah ingin menegaskan bahwa fakta dan informasi mengenai pembantaian terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine, yang dahulu bernama Arakan, adalah bohong belaka.
Seperti yang dimuat oleh salah satu media online pada hari Senin (01/06/2015) contohnya, dimana seorang Pegiat LSM Kesehatan yang mengaku telah dua kali ke Rakhine State dengan lugas mengatakan bahwa berdasarkan hasil pantauannya ia tidak menemukan mayat-mayat Rohingya yang tergeletak dimana-mana. Bahkan ia menyalahkan media-media yang memberitakan ketidakbenaran mengenai pembantaian Rohingya di tahun 2012. Ia juga menuduh adanya pihak ketiga yang sengaja menyebarkan berita pembantaian terhadap Rohingya.
Namun anehnya, ia kemudian mengakui adanya bukti bekas-bekas pembakaran masjid dan rumah-rumah warga di Rakhine. Dalam pernyataan lebih lanjut, kebalikannya ia justru mengatakan bahwa ketika ia masuk ke Rakhine, ia tidak menemukan ada yang dibakar. Kedua pernyataan ini pun pada akhirnya saling bertentangan dan menimbulkan kebingungan, sebut salah seorang netizen yang memberikan pendapat di kolom komentar.
Di media sosial juga beredar tulisan yang mengatakan bahwa tidak ditemukannya konflik Rohingya di Myanmar. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman seseorang yang berwisata ke Myanmar selama beberapa hari. Ia mendeskripsikan bagaimana kondisi Myanmar yang kondusif dan nyaman bagi wisatawan sehingga kemudian ia meyakini tidak adanya konflik Rohingya di Myanamr. Namun, ketika disimak secara teliti tulisannya, ternyata yang menjadi obyek tulisan tersebut adalah kondisi Muslim Myanmar di Yangon, sementara konflik yang mendera Rohingya terjadi di Rakhine State, bukan di Yangon. Dua tempat berbeda dan dua kondisi yang berbeda, dimana dari Yangon ke Sittwe bisa ditempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang.
Heri Aryanto, Pegiat Hukum dan HAM yang pernah melakukan investigasi di Sittwe, Meikhtila, dan Yangon pada bulan Mei 2013 mengatakan bahwa ia menerima bukti-bukti pembantaian, kesaksian-kesaksian, dan cerita mengenai pembantaian Rohingya oleh penduduk mayoritas (Burmese) yang disponsori oleh Pemerintah Myanmar. Tidak hanya pembantaian, Heri juga mendapati bukti dan cerita mengenai pembatasan gerakan Rohingya di dalam wilayah Rakhine dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Rohingya, baik ketika berada di Myanmar maupun pada saat melakukan investigasi di tempat terdamparnya Rohingya di Aceh dan Medan pada tahun 2013 dan 2015. Heri menyayangkan pernyataan-pernyataan yang hanya didasarkan pada alasan “tidak menemukan cerita”, ujar Heri yang juga Advokat dan Koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center.
Heri menambahkan bahwa seharusnya kesimpulan mengenai pembantaian Rohingya diambil dari bukti-bukti yang didapatkan secara lengkap dan dari sumber terpercaya. Tidak menemukan adanya mayat dimana-mana di Rakhine State serta tidak menemukan adanya konflik Rohingya di Yangon, tidaklah cukup untuk menyimpulkan tidak adanya pembantaian terhadap Rohingya. “PBB saja setelah melihat langsung ke lokasi konflik di Sittwe (Ibukota Rakhine State-red) mengatakan bahwa Rohingya adalah etnis paling teraniaya di muka bumi”, tegasnya.
Heri juga mempertanyakan apakah orang-orang yang memberikan pernyataan dan komentar tersebut benar-benar telah mengetahui dan melihat langsung kondisi Rohingya ke wilayah konflik di Rakhine State, atau hanya berdasarkan cerita orang-orang dari luar Rakhine. Kalau benar-benar telah mengetahui dan menyaksikan sendiri kondisi Rohingya di Rakhine State, maka pastinya mereka akan sungkan memberikan pernyataan seperti itu, imbuh Heri.
Bahkan, apabila mereka sempat membaca dengan seksama hasil investigasi Human Rights Watch yang dipublikasi pada tahun 2013 dengan judul “All You Can Do is Pray, Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslim in Burma’s Arakan State“, maka sebagai seorang insan dan juga seorang Muslim, tentunya mereka tidak akan sanggup mengatakan bahwa pembataian terhadap Rohingya adalah rekayasa. Mereka juga tidak akan sampai hati mengatakan seperti pernyataan seorang Pegiat LSM Kesehatan yang dikutip dari sebuah media online yang menyebutkan : “Jika keluarnya Muslim Rohingya dari negerinya membuat mereka pada akhirnya mendapat simpati dari berbagai negara yang bisa menekan Myanmar memberikan status kewarganegaraan, berarti tindakan mereka sangat tepat“. (azm/arrahmah.com)