JAKARTA (Arrahmah.com) – 3 Juni 2015 tepat tiga tahun tragedi pembantaian 10 orang Muslim oleh Ratusan Penduduk Rakhine yang terjadi di negara bagian Arakan (sekarang Rakhine), Myanmar. Tragedi memilukan ini bermula dari peristiwa pemerkosaan terhadap seorang wanita Rakhine berusia 28 tahun bernama Thida Htwe di desa Kyaw Ne Mau pada tanggal 28 Mei 2012 yang isunya dilakukan oleh 3 orang laki-laki Muslim Arakan. Atas kejadian ini 3 orang Muslim tersebut kemudian ditangkap. Seorang di antaranya bunuh diri ketika berada dalam tahanan kantor polisi, dan dua orang lainnya telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan telah dihukum mati.
Kelompok ekstrimis 969 di bawah pimpinan biksu Buddha Ashin Wirathu kemudian mempropagandakan baik melalui khutbah-khutbahnya maupun melalui selebaran-selebaran untuk menentang keberadaan Muslim di Arakan. Propaganda anti Muslim yang gencar dilakukan oleh Wirathu tersebut sejatinya menyasar keberadaan Rohingya sebagai penduduk muslim mayoritas di negara bagian Arakan (menurut beberapa sumber + 80%).
Dampaknya, pada tanggal 3 Juni 2012 ratusan Penduduk Rakhine yang telah terprovokasi menghadang sebuah bus yang berisi 10 orang Muslim di area checkpoint, Toungop, Arakan. Ratusan Penduduk Rakhine memaksa turun 10 orang Muslim tersebut dan kemudian memukulinya hingga mati. Sementara polisi dan tentara Myanmar yang melihat dan menyaksikan tragedi tersebut membiarkan dan tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan kebiadaban penduduk Rakhine.
Tragedi pembantaian kemudian meluas ke area Muslim Rohingya di kota Maungdaw hingga ke kota Sittwe. Penduduk Rakhine membakar rumah dan masjid, mengambil properti, dan membunuh orang-orang Rohingya. Tidak hanya membunuh orang-orang dewasa, mereka juga membunuh anak-anak dan perempuan Rohingya dengan cara yang keji. Bahkan perempuan-perempuan Rohingya yang dibunuh, terlebih dahulu mengalami pemerkosaan.
Heri Aryanto, Advokat dan Pegiat Hukum dan HAM dari SNH Advocacy Center mengatakan bahwa tragedi pembantaian ini akan menjadi catatan sejarah paling kelam bagi umat manusia di seluruh dunia, dimana di abab modern yang katanya mengangung-agungkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (“HAM”), ternyata masih ada etnis Rohingya yang menjadi manusia paling teraniaya di muka bumi.
Menurutnya, Dekralasi Universal HAM yang telah didengungkan secara global sejak tahun 1948 seharusnya bisa menjadi pagar bagi setiap manusia untuk tidak melanggar HAM orang lain. Artikel 3 Deklarasi Universal HAM telah menjamin setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu. Di samping itu Artikel 5 juga menjamin tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.
Seandainya pemerintah Myanmar dan penduduknya tunduk dan menjadikan Dekralasi HAM sebagai panduan dalam kehidupan bermasyarakat di Myanmar, mungkin kejahatan kemanusiaan dan genosida yang dialami oleh Rohingya ini tidak akan pernah terjadi, ujar Heri.
Heri menambahkan bahwa momentum peringatan Tragedi Pembantaian di Arakan setidaknya menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan segelintir pihak yang meragukan kebenaran tragedi pembantaian Rohingya di Arakan. Dia sangat menyayangkan ada pihak-pihak yang mencoba menyimpangkan fakta pembantaian Rohingya.
“Kalau memang tidak mampu membantu Rohingya lebih baik tidak memberikan pernyataan yang justru menambah beban penderitaan Rohingya,” pungkasnya. (azm/arrahmah.com)