Terlihat sesosok remaja laki-laki kurus berjalan dengan pincang. Kaki kanannya nampak sedikit bengkak.
“Saya seorang Muslim, Burma (Myanmar),” kata Muhammad Siraj (15) saat menyapa seorang wartawan dalam bahasa Inggris di sebuah pabrik kertas tua di Birem Bayeun, di wilayah Aceh Timur, Indonesia yang menjadi rumah sementaranya, seperti dilansir Radio Free Asia (RFA).
Siraj adalah salah satu dari ratusan pengungsi Rohingya dan Bangladesh yang diselamatkan oleh para nelayan Aceh di Selat Malaka pada 20 Mei, setelah perahu mereka kehabisan bensin di perairan Malaka dalam perjalanan menuju Thailand dan Malaysia. Tidak ada di antara mereka yang menyangka akan terdampar di Indonesia, Alhamdulillah kebaikan para nelayan Aceh telah menolong mereka yang hampir putus asa.
Siraj hanya menamatkan pendidikannya sampai kelas enam SD, namun demikian ia salah satu dari para imigran Rohingya di provinsi Aceh yang bisa mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Inggris.
Remaja Muslim ini memiliki cita-cita menjadi jurnalis. Siraj ingin pergi ke Malaysia untuk sekolah, di mana kakak-kakaknya telah bekerja sebagai buruh selama dua tahun terakhir.
“Aku akan menulis tentang penderitaan yang dialami oleh Muslim Rohingya. Komunitas Internasional perlu tahu tentang kebrutalan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya,” katanya kepada RFA.
Tak takut akan bahaya yang mengancam di lautan lepas, Siraj memutuskan untuk menaiki perahu bersama warga Rohingya lainnya dengan tujuan ke Malaysia pada awal Februari.
Ia bersama sesama imigran lainnya menghabiskan waktu hampir empat bulan di tengah laut dengan perahu yang penuh sesak. Terbakar di siang hari yang panas dan mengigil di malam yang dingin. Namun seakan hal itu “terasa ringan” demi mencari tempat tinggal yang aman bagi jiwa mereka.
“Kami tidur di dada orang di belakang kami atau di bahu orang di samping kami. Jika kami berbaring atau merentangkan kaki, kami dipukul dan ditendang,” katanya.
“Saya dipukul dan ditendang beberapa kali. Kaki saya terluka karena ketika berjalan dan dipukul dengan batang besi.”
Siraaj memaparkan, selama tiga bulan pertama perjalanan itu, kapten dan kru perahu membagikan nasi dan garam dan segelas kecil air dua kali sehari. Kemudian, selama dua pekan berikutnya, para penumpang perahu hanya menerima sebuah biscuit dan segelas air untuk konsumsi mereka.
Namun, pemberian konsumsi itu dihentikan sama sekali dua minggu sebelum mereka diselamatkan oleh nelayan Aceh. Mereka hanya disuruh untuk meminum air laut. Oleh karena itu banyak penumpang yang meninggal di atas perahu akibat kelaparan dan dehidrasi. Mereka yang meninggal jasadnya dilemparkan ke laut.
“Jika seseorang meminta makanan atau air, kapten dan kru akan memukul kami dengan batang besi, atau parang, atau mengancam kami dengan pistol,” kenang Siraj.
‘Kami menangis’
Pada 12 Mei, kapten dan empat kru perahu meninggalkan perahu pengungsi dan melarikan diri dengan speedboat, seakan sengaja agar para pengungsi Rohingya tersesat di tengah laut.
“Kami tidak bisa melakukan apapun. Mereka mengancam untuk menembak kami. Kami menangis, karena tidak satupun dari kami yang bisa melayarkan perahu,” kata Siraj.
Dua hari kemudian, sebuah patrol Angkatan Laut Thailand menghampiri perahu mreka. Para pelaut Thailand itu memberikan sedikit makanan dan memperbaiki mesin perahu yang rusak. Hari berikutnya, mereka mengaku dikejar angkatan laut Malaysia.
Imigran Rohingnya menceritakan bahwa perahu mereka dikejar tiga kali oleh angkatan laut Thailand dan dua kali oleh angkatan laut Malaysia.
Kemudian, perahu mereka memasuki perairan Indonesia, mesin perahu kembali mati dan kehabisan bensin. Mereka terombang-ambing di tengah ombak lautan.
Akhirnya para imigran Rohingya melihat para nelayan dan berteriak meminta tolong. Para nelayan Aceh yang iba segera menghampiri mereka. Meskipun aparat TNI sempat melarang menyelamatkan para imigran tersebut, namun para nelayan Aceh tetap bertekad menarik perahu Rohingya ke pantai di Kuala Geulumpang, Aceh Timur. Warga lokal segera memberikan pertolongan dan memberikan makanan serta pakaian kepada para imigran tersebut.
‘Saya selamat’
Ketika ia memutuskan untuk berlayar, Siraj meninggalkan tiga kakak perempuannya dan dua kakak laki-lakinya di kamp pengungsian Nayapara di Bangladesh.
Ibunya telah meninggal dunia pada 2002 akibat sakit TBC, kata Siraj. Enam tahun kemudian ayahnya meninggal. Siraj adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara.
“Saya sangat merindukan saudara-saudara saya. Mereka tidak tahu Saya ada di Aceh, Indonesia. Saya ingin memberitahu mereka bahwa Saya selamat,” kata Siraj kepada BenarNews sambil menangis.
Menggunakan telepon wartawan, Siraj akhirnya bisa menelepon kakaknya yang tertua, Nurul Hakim, di kamp pengungsian Nayapara, dan berbicara kepadanya selama 15 menit.
“Kakak saya bertanya di mana saya berada. Saya katakan Saya ada di Aceh, Indonesia. Orang-orang di sini sangat baik. Mereka member makanan, air dan pakaian kepada saya dan orang Rohingya lainnya,” papar Siraj, sembari menambahkan bahwa ia tidak ingin kembali ke Nayapara.
(siraaj/arrahmah.com)