Oleh Dr. Syarif Hidayat, M.Pd.I.*
(Arrahmah.com) – Di tengah maraknya korupsi, sikap zuhud adalah solusinya! Zuhud adalah sikap mendahulukan urusan akhirat daripada duniawi. Zuhud bukan anti-kekayaan dan identik dengan kemiskinan. Padahal, zuhud adalah sikap menjauhi sifat serakah. Keserakahan harta dan jabatan sering menjerumuskan orang kepada kebinasaan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan adanya watak manusia yang cenderung serakah terhadap harta: Sekiranya anak Adam mempunyai satu lembah emas niscaya ia berambisi memiliki dua lembah emas. Dan tiada yang bisa memenuhi mulutnya selain tanah, dan Allah akan menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. (Hadits Muttafaq ‘alaihi dari Anas ibn Malik radhiallahu ‘anhu).
Dorongan untuk menumpuk-numpuk harta bersumber dari hawa nafsu yang tidak terkendali. Dorongan inilah yang kemudian membuat sebagian orang menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Karena itu, Abu Hasan al-Mawardi menyebutkan, Adapun hawa nafsu merupakan penghalang bagi kebaikan dan penentang akal pikiran, darinya timbul akhlak yang buruk dan pekerjaan yang hina, sehingga membuat reputasi orang menjadi rusak dan jalan menuju kejahatan menjadi lancar.
Dengan demikian, ketika orang sudah tidak mempedulikan halal-haram dalam mencari rejeki, maka tanpa sadar ia telah menuhankan hawa nafsunya. Abdullah ibn Abbas radhiallahu ‘anhu. sebagaimana dikutip oleh al-Mawardi di dalam Kitab Adab al-Dunyǎ wa al-Dîn menegaskan bahwa hawa nafsu bisa menjadi tuhan selain Allah yang suka disembah manusia, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. Al-Jatsiyah:23).
Fenomena korupsi yang menjadi-jadi sejatinya bisa diatasi dengan kesadaran kesadaran diri bahwa kenikmatan hakiki bukan pada harta benda yang berlimpah melainkan pada kekayaan hati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallǎh ‘alaihi wa sallam, “Kekayaan itu bukan disebabkan banyaknya harta melainkan pada kayanya jiwa.” (Hadits Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.). Sedangkan kekayaan jiwa muncul tiada lain kembali kepada konsep zuhud diatas. Hal ini paling tidak seperti yang diceritakan Imam al-Ghazali bahwa Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu bertutur, Jika seorang hamba telah mampu berzuhud terhadap dunia, maka hatinya akan bersinar penuh hikmah; dan anggota badannya akan saling membantu dalam mengerjakan ibadah.
Untuk itu, Imam al-Ghazali menguraikan bahwa zuhud itu ada dua kategori, yaitu zuhud yang berada dalam kapabilitas manusia dan zuhud yang diluar kapabilitas tersebut. Jika seseorang sudah, pertama, tidak lagi mengejar kesenangan dunia yang luput darinya; kedua, mau berbagi kesenangan dunia yang ia miliki kepada sesama; dan ketiga, hatinya tidak lagi berhasrat dan punya niat untuk meraih kesenangan dunia, yang kesemuanya dimaksudkan untuk meraih ridla Allah dan pahala-Nya yang agung dengan banyak mengingat madharat-madharatnya, maka ketika itu berarti ia telah dikaruniai rasa ketidak-inginan terhadap dunia. Itulah yang menurut al-Ghazali yakni rasa ketidak-inginan — zuhud yang sebenarnya.
Jika zuhud sudah menjadi kesadaran, maka ia merasa tiada guna dan manfaatnya ia melakukan korupsi. Sebab, pada kenyataannya hal paling didambakan setiap orang adalah ketenangan batin. Hidup kian terasa tidak nyaman manakala batin semakin menderita. Walaupun hasil korupsi itu ia gunakan untuk beribadah haji berulang-ulang, namun ibarat mandi dengan air kotor, maka kebersihan hati pasti tidak akan didapatkan.
Menurut Syekh Utsaimin, setiap orang yang zuhud pasti memiliki sifat wara’, tetapi tidak setiap orang wara’ menjadi zuhud. Sebab, wara’ hanya menjauhi perkara yang dapat menimbulkan kesulitan atau kemadharatan di akhirat nanti, sementara zuhud adalah kemampuan menjauhi perkara yang tidak berguna bagi kehidupan di akhirat. Jadi, zuhud lebih luhur ketimbang sifat wara’, sehingga wajar bila zuhud telah menjadi pedoman hidup seseorang maka alih-alih perkara haram atau syubhat, bahkan perkara yang tidak memberikan nilai manfaat untuk akhirat saja ia tinggalkan. Walhasil, korupsi tidak akan pernah ia lakukan karena korupsi bukan hanya merugikan di akhirat tetapi juga membinasakan di dunia.
Itu bukan berarti tidak boleh memiliki kekayaan. Sebab, pada dasarnya Islam menghargai hak milik individu. Namun, kekayaan tidak membuatnya buta terhadap aturan Allah. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu adalah orang kaya, tetapi tidak ada yang meragukannya sebagai orang yang zuhud. Demikian pula, Utsman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf radhiallahu ‘anhuma juga merupakan sederatan orang kaya pada zaman Nabi, akan tetapi mereka tidak pernah melakukan cara-cara yang diharamkan Allah dalam memperoleh harta kekayaannya itu. Malah sebaliknya kekayaannya menjadi wasilah meraih ridla Allah.
Oleh karena itu, Allah mengingatkan, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash, ayat 77).
Akhiran, zuhud bukan berarti kemiskinan tetapi zuhud adalah adab terhadap kekayaan dengan cara yang diridlai Allah ketika mencari, memperoleh, dan menyalurkannya. Zuhud adalah sikap batin dimana hati manusia tidak terjerat oleh godaan-godaan dunia (hubbud-dunya). Dunia ditaruh dalam genggaman tangannya, sekedar untuk ibadah kepada Allah SWT; bukan diletakkan dalam hatinya. Wallahu alam bi al-shawwab!
*Penulis adalah Ketua PW. Pemuda Persis Jawa Barat
(adibahasan/ppj/arrahmah.com)