(Arrahmah.com) – Pada hari rabu 13 Mei 2015 lalu PT Pertamina resmi membubarkan anak usahanya, Pertamina Trading Limited (Petral). Pernyataan ini langsung di sampaikan oleh Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, dalam konferensi pers di Kementerian BUMN, Jakarta beberapa waktu yang lalu. Tentu keputusan ini banyak menimbulkan pro dan kontra, banyak kalangan yang sangat setuju dengan keputusan pemerintah ini, karena kita tahu selama ini Petral di sinyalir menjadi sarang afia migas. Pun dengan alasan itulah Pemerintah akhirnya membubarkan anak perusahaan PT. Pertamina yang bermarkas di Singapura itu.
Selama 13 tahun sejak Petral berdiri, keberadaan Petral seolah – olah tidak nyata, seperti berada di langit ke tujuh dan tidak tersentuh perhatian luas dari rakyat dan pemerintah Indonesia. Semua operasional, lelang, transaksi, pat gulipat, KKN, dan seterusnya, tidak terlihat dan terjangkau pengawasan dari stakeholder terpenting Petral, yakni rakyat Indonesia.
Lalu bagaimana jika rakyat, DPR, KPK, BPK atau pihak tertentu di Indonesia ingin mengawasi operasional dan menilai kinerja Petral. Sama sekali tidak ada akses bagai masyarakat luas untuk melakukannya. Situs resmi Petral yakni http://www.pnatrade.com.sg ternyata tidak memberikan akses yang mudah, detil, mutakhir dan lengkap mengenai selak beluk Petral. Bahkan informasi tersaji di situs resmi itu sangat menyedihkan, tidak sesuai dengan status Petral sebagai perusahan terbaik ke – 6 di antara 1000 perusahaan terkemuka di Singapura. Informasi yang ditayangkan situs resmi Petral itu terakhir kali tertanggal 12 Mei 2012.
Di sisi yang lain banyak kalangan yang tidak setuju dengan pembubaran Petral ini, salah satunya Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng yang mengaku tidak setuju dengan pembubaran PT Pertamina Energy Trading Ltd atau Petral. Pembubaran Petral disebut akan mengganggu hajat hidup orang banyak karena anak usaha Pertamina ini merupakan BUMN strategis. Menurut dia, jika Petral dibubarkan maka bisnis pembelian minyak akan jatuh ke tangan trader-trader yang lebih kecil dan berpotensi menimbulkan mafia migas baru. Salamuddin Daeng juga menduga adanya kepentingan importir lain dalam isu pembubaran Petral. Pasalnya, jika Petral dibubarkan perbankan nasional tidak akan sanggup membiayai impor minyak. Di sini, kepentingan importir lain akan masuk.
Menurut Salamuddin, impor minyak merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Jika pemerintah benar menutup Petral tanpa persiapan seperti pembiayaan yang cukup, maka dipastikan ini untuk mengganti importir atau mafia migas baru.
Mafia Migas Baru
Keputusan pemerintah melalaui Pertamina yang akhirnya membubarkan petral dengan alasan ingin memberantas mafia migas tentu perlu kita apresiasi. Perlu juga dicermati Pembubaran Petral tidak akan menyelesaikan masalah mafia migas di Indonesia. Pasalnya, mafia tidak berada di satu lokasi namun sudah ada dari hulu sampai hilir sektor migas Indonesia. Pembubaran petral sendiri jangan sampai hanya sekedar ganti nama saja. lalu muncul lembaga baru yang fungsinya sama saja dengan Petral meskipun memakai nama baru. Yang akhirnya menjadi sarang bagi para mafia migas.
“Analisis saya, kalau pembubaran petral diikuti dengan pendirian perusahaan baru, misalnya China Sonangol yang menggantikan Petral dalam impor BBM. Tidak dapat disangkal lagi ada permainan mafia baru,” ujar Anggota Tim Reformasi Fahmi Radi kepada Katadata, Rabu (22/4).
Seperti diketahui, Pertamina memang sedang menyiapkan perusahaan perdagangan migas pengganti Petral. Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan meski Petral dibubarkan, Pertamina akan tetap menjalankan visinya untuk menjadi perusahaan perdagangan migas dunia.
Rencananya, setelah dibubarkan aset Petral akan diambil oleh Pertamina. Aset ini kemudian dialihkan kepada Pertamina Energy Services (PES), perusahaan perdagangan migas yang akan menggantikan Petral. PES akan menjalankan peran sebagai trading migas lebih baik dari Petral, bukan sekedar untuk membeli minyak kebutuhan Pertamina. PES akan dijadikan perusahaan trading migas Pertamina di internasional.
Selain itu, ada beberapa perusahaan minyak di Singapura, yang tidak melakukan penawaran langsung ke Petral. Alasannya, spesifikasi produk (minyak mentah dan BBM) yang ditenderkan tidak lazim dalam usaha perminyakan, proses berbelit-belit, dan harus menghadapi pihak ketiga yang bertindak sebagai agen. Meski demikian, perusahaan mengakui dengan terbuka mengapalkan minyak secara teratur ke Indonesia melalui pedagang (trader).
Gaya pemerintah memang belum menunjukan langkah kongkrit memutus mata rantai mafia. Pengelolaan migas selama ini lebih pada aspek bisnis, bukan pelayanan kepada rakyat. Meski Petral bubar, konsumen dalam negeri masih dibingungkan dengan naik-turun harga BBM. Cara pasial pemerintah seolah memberikan angin segar bagi mafia baru. Bukankah selama ini kebijakan energi dikelola dengan sistem pasar dan privatisasi. Tak ayal, rakyat yang kembali dirugikan.
Lembaga bentukan pemerintah semisal SKK Migas dan Tim Reformasi Tata Kelola Migas, dibuat untuk membuat cara baru dalam memuluskan agenda liberalisasi sektor Migas. Di sisi lain, UU Migas yang liberal pun masih bercokol dan memberikan ruang bagi korporasi asing untuk menguasai migas Indonesia. Jadi, dasar pijakan UU sudah salah, maka langkah teknis dan strategis turunannya juga keliru.
Negara tampaknya tak berdaya dalam menghadapi perjanjian internasional yang menjerat. Privatisasi, pengurangan subsidi, dan akuisisi SDA oleh asing dan swasta lokal merupakan isntrumen dari ekonomi kapitalis liberal. Pemerintah sudah enggan berpikir untuk menyelamatkan jiwa rakyat dan SDA-nya. Maunya pemerintah duduk manis dan dapat pemasukannya. Semua ini merupakan konsesi dari pilihan politik demokrasi yang akhirnya membentuk kran Neo Liberalisme dan Neo Imprealisme.
Berantas mafia migas, berantas neoliberlisme
Melihat praktik pengelolaan migas di negara ini yang carut marut, sebenarnya negara tidak hanya dirugikan oleh keberadaan praktik-praktik ‘kotor’ seperti suap dan mark-up dalam pengelolaan migas, namun sebenarnya ada hal lain yang juga merugikan negara, yaitu peraturan yang memberikan hak kelola kepada swasta termasuk swasta asing. Dana yang mengalir ke kontraktor nilainya sangat besar. Belum lagi dengan ‘kebocoran’ yang dimanipulasi sedemikian rupa.
Andaikan pemerintah mau serius sesungguhhya praktik kotor oleh pelaku-pelaku kriminal di sektor migas tidaklah sulit untuk dilacak dan dihentikan. berbagai laporan dan bukti baik yang berasal dari BPK maupun yang berasl dari publik, sebenarnya sudah diungkap kepada penegak hukum. Namun, semua itu tidak ditindaklanjuti secara serius yang pada akhirnya hanya sebatas wacana dan akhirnya kasus itu tidak jelas ujungnya. Dan Lebih dari itu, sanksi bagi mereka yang terbukti bersalah di pengadilan belum memberikan efek jera bagi pelakunya.
Jadi persoalanya sebenarnya tidak hanya praktek mafia migas yang harus diberantas, namun juga peraturan yang membolehkan penguasaan kekayaan publik kepada pihak swasta termasuk asing harus dihentikan. Selama negara ini masih menggunakan sistem noeliberlisme maka persoalan itu tidak akan bisa terselesaikan, karena Neo Liberalisme menghendaki penguruangan peran negara dalam bidang ekonomi. Dalam pendangan noeliberalisme, negara di anggap sebagai penghamabat utama penguasaan ekonomi ole indovidu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor publik, seperti migas, listrik, jalan tol dan lainya, penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan ( termasuk Pertamian) dengan perusahaan-perusahaan swasta. Jadi neoliberlime sesungguhnya merupakan upaya pengkerdilan peran pemerintah. Dan pada akhirnya negera ini menuju corporate state. Ketika itu, negara di kendaliakan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Sehingga setiapkebijakan yang di buat tidak di buat untuk kepentingan rakyat. Tapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing.
Sejatinya Islam memberikan solusi dalam pengelolaan migas yang bebas dari mafia dan korporasi swasta (asin/lokal). Di dalam Islam mewajibkan pengelolaan sumberdaya alam oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Dan juga sistem peradilan Islam juga akan memberikan sanksi yang tegas, yang akan memberikan efek jera bagi para pelakunya. Inilah islam yang akan memberikan kesejahteraan bagi siapa saja yang meu menerpakanya secara kaafaah. Oleh karena itu mari kita berjuang bersama-sama memperjuangkan syariat islam dalam naungan Khilafah agar menjadi aturan kehidupan berbangsa dan bernegara yang akan mempu menyelesaikan berbagai masalah dan akan membawa kesejahteraan bagi semua. Sikat mafia migas. Wujudkan kedaulatan energi untuk kejayaan negeri.
Penulis Ari Farouq, Mahasiswa Ekonomi Islam STIS SBI Surabaya
(*/arrahmah.com)