Oleh: Abdus Salam*
(Arrahmah.com) – Beberapa hari yang lalu diselenggarakan Workshop Pembaharuan UU Migas, di gedung Rektorat Universitas Hasanuddin lantai IV, Sabtu,9 Mei 2015, mulai jam 09.00 sd 15.00. Pembantu Rektor IV memberikan sambutan sekaligus membuka acara. Sebelumnya sambutan oleh Ketua Serikat Pekerja Pertamina. Pembahasan pembaharuan uu migas begitu semangat diusung oleh Serikat Pekerja Pertamina Pusat. Yakni pembicaraan sebuah draft rumusan usulan revisi uu migas. Apalagi kalau bukan uu no 22 tahun 2001. Dibangun pemahaman bahwa pembaharuan uu migas harus mengerucut kepada mengembalikan seluruh pengelolaan migas dari hulu hingga hilir kepada Pertamina. Di tengah berkembang wacana oleh pemerintah dengan membentuk BUMN baru. Seolah hendak menegasikan Pertamina yang sekarang ini ada. Spirit mengembalikan kedaulatan energi migas melalui pintu pertamina ini nampaknya serius dikawal. Bahkan workshop ini dianggap sebagai forum uji publik pembaharuan uu migas. Dimana fakta yang diungkap oleh Serikat Pekerja Pertamina Pusat sebagaimana disampaikan oleh mantan ketuanya, Ugan yang menyatakan bahwa pengelolaan migas kita benar-benar dicengkeram oleh asing. 85 persen pengelolaan migas terutama sektor hulu sepenuhnya oleh asing. Sementara Pertamina dengan aturan undang-undang yang ada benar-benar dikebiri tidak memiliki keberdayaan. Untuk lebih jauh mengelola migas sebagai aset strategis. Yang menjadi isu sentral saat ini dalam konstelasi percaturan politik internasional maupun nasional. Dan menggerakkan berbagai strategi cengkeraman asing baik yang datang dari barat maupun timur. Barat yang dikomandani oleh AS dan Eropa. Sedang Timur oleh Cina dan Jepang. Kekuatan Timur ini menjadi sebuah kekuatan yang semakin melengkapi dominasi sektor-sektor strategis oleh Barat. Diantaranya investasi besar-besaran Cina dan Jepang atas infrastruktur transportasi darat, laut dan udara. Beberapa pelabuhan, bandara dan jalur lintasan kereta api yang akan dibangun. Kita bisa memahami kemudian bahwa konflik Timur Tengah, Asia Tengah, dan berbagai belahan dunia muslim saat ini termasuk Indonesia. Adalah bentuk intelektual trap, military trap, opinion trap, political trap, dan intelijen trap yang menjadi fakta sebuah skenario global terkait dengan isu migas.
Di Indonesia nampaknya terjadi peralihan perhatian terhadap titik potensi sumber daya alam migas dari wilayah barat ke Indonesia timur. Investor asing sedang melirik kemungkinan melakukan aktivitas eksplorasi secara masif. Setelah sedemikian sistematis melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia bagian barat. Indonesia timur diduga memiliki SDA migas dan lainnya yang luar biasa potensial. Inilah yang menggerakkan aktifitas eksplorasi besar-besaran. Info dari kalangan para ahli pertambangan menyebut bahwa selat Makassar diduga terdapat kandungan migas yang luar biasa. Belum lagi kandungan sumber daya alam strategis yang lain. Inilah yang menjadi alasan AS melalui simbol-simbol kekuasaannya memberikan perhatian khusus pada Indonesia Timur. Di antara simbol itu adalah perayaan independence day AS secara outdoor di Anjungan Losari Makassar pada akhir bulan Mei ini. Sebagaimana kita tahu bahwa letak geoekonomipolitik Indonesia adalah sangat strategis. Dimana perairannya digunakan sebagai 50 persen lintasan perdagangan internasional. Selat Malakanya menjadi perairan terbesar kedua setelah Selat Hormuz yang menjadi lintasan pengangkutan minyak dunia. Terdapat armada 7 AS yang mengawal kawasan ini.
Yang menarik dari forum itu adalah keinginan bagaimana mewujudkan tata kelola Migas secara berdaulat melalui pembaharuan undang-undang migas. Yakni mengelola sepenuhnya aset migas oleh negara direpresentasi Pertamina sebagai sebuah entitas yang secara historis maupun ekspert memiliki kompetensi. Bukan dengan merealisasikan BUMN baru yang belum diketahui secara jelas kompetensinya. Sehingga seluruh Kontrak Kerjasama diformulasikan melalui pendekatan B to B (Business to Business). Dengan model begini memungkinkan pemerintah melalui Pertamina akan mampu mengevaluasi dan mengontrol secara detil. Atau mengeleminasi potensi unefesiensi pengelolaan migas disebabkan tidak kompetennya pengawasan terhadap pengelolaan migas.
Tibalah pada tahapan terakhir forum tersebut untuk menampung feedback terkait dengan pokok-pokok pikiran rumusan pembaharuan undang-undang migas. Pasca disampaikan pokok-pokok pikiran yang jika diintisarikan terdiri dari 2 aspek penting. Yakni pertama, mengembalikan pengelolaan migas sepenuhnya mulai hulu hingga hilir kepada Pertamina sebagai representasi negara. Mengelola aset strategis migas untuk kepentingan rakyat sebagaimana amanah konstitusi. Kedua, mengelola migas sepenuhnya dengan menolak intervensi asing. Meski pada penjelasannya yang dimaksud menolak intervensi asing adalah mengendalikan asing dalam kerangka pengelolaan migas dengan tetap melibatkannya.
Keinginan mengembalikan kedaulatan energi termasuk migas melalui pintu Pertamina menyisakan pertanyaan mendasar antara lain :
1) Benarkah Pertamina baik dengan skenario secara struktural di bawah presiden atau Kementrian akan benar-benar berdaya dan bisa menolak intervensi asing. Sementara kerangka legislasi berkaitan dengan pengelolaan migas masih sarat kepentingan asing. Misalnya UU PMA, UU Minerba, UU Energi dan lain-lain. Belum lagi dugaan ratusan undang-undang produk legislasi berbau kepentingan asing. Bahkan hampir sulit untuk tidak mengatakan bahwa produk legislasi undang-undang di negeri ini telah terliberalisasi. Sebuah modus proses sistemik liberalisasi semua sektor kehidupan melalui legitimasi perundang-undangan. Bahkan bukan hanya produk legislasi undang-undang, melainkan juga liberalisasi konstitusi melalui jalan amandemen. Inilah sesungguhnya modus liberalisasi sistemik semua sektor kehidupan. Termasuk persoalan pengelolaan migas. Seandainya Pertamina yang diserahi seluruh pengelolaan atas hulu hingga hilir migas, maka pertanyaannya adalah bagaimana kontradiksi dengan konten structural adjusment program. Yang menjadi letter of intent IMF dimana salah satu syarat reschedulling hutang Indonesia adalah swastanisasi BUMN. Tidakkah nanti justru cengkeramannya berubah dan menjadi sederhana. Yakni dengan modus penguasaan saham atas Pertamina. Sebagaimana telah terjadinya pengambil alihan beberapa BUMN melalui pintu penguasaan saham oleh asing. Dan selamanya jika medan pertempuran politiknya menggunakan proses politik legislatif dalam Demokrasi maka hanya akan menciptakan ketergantungan politik terhadap kekuatan politik MNC (Multi National Corporation) yang berada di balik para penguasa. Dan tidak akan pernah mau melepaskan cengkeramannya. Dalam benak mereka sudah tertancap prinsip “siapa yang menguasai energi khususnya migas maka akan menguasai dunia”.
2) Jika yang dimaksud pengelolaan migas sepenuhnya oleh Pertamina dengan menolak intervensi asing adalah mengendalikan asing dengan tetap melibatkannya. Pertanyaannya adalah bisakah kita benar-benar berdaya untuk mengendalikannya di tengah tercabik-cabiknya insfrastruktur politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya negeri ini. Konflik intern dan antar parpol, konflik antar lembaga penegak hukum KPK Versus Polri, mafia hukum, korupsi di antara penyelenggara negara dan penegak hukum, dekadensi moral, sekulerisasi dan liberalisasi pendidikan, konflik vertikal dan horisontal antar masyarakat, begal, dan lain-lain adalah infrastruktur sistemik sebagai garansi keberdayaan politik menolak intervensi asing. Pada hakekatnya seluruh fakta-fakta di atas sebagian besar adalah kontribusi asing. Sebuah ketergantungan sistemik semua sektor melalui liberalisasi. Yang menjadi jalan lapang cengkeraman imperialisme asing. Ini semua konsekuensi dari pilihan haluan politik terbuka yang memungkinkan intervensi asing oleh barat dan timur.
3) Jika yang dimaksud bentuk mengendalikan asing adalah renegosiasi kontrak kerjasama dengan International Oil Company agar kita tidak rugi. Maka pertanyaan mendasarnya adalah seberapa kuat bargaining renegosiasinya. Sementara ketergantungan politik dan ekonomi kita yang besar melalui pintu hutang yang nilainya sekarang mencapai 3.700 trilliun rupiah. Dan terdapat kecenderungan untuk menambah jumlah hutang dari waktu ke waktu. Dalam kondisi seperti itu maka investasi maupun reinvestasi menjadi pilihan keniscayaan yang semakin membuat ketidak berdayaan politik dan ekonomi. Termasuk dalam konteks renegosiasi kontrak kerjasama dengan Internasional Oil Company. Ingat kasus Freeport yang ditoleransi pembayaran kewajibannya oleh pemerintah.
Upaya mengembalikan kedaulatan energi migas melalui Pertamina sesuatu yang patut diapresiasi. Sebagai bentuk semangat menjaga dan membangun kedaulatan negeri ini. Akan tetapi perjuangan itu hanya akan menjadi solusi sementara dan partial di antara problem sistemik yang terjadi atas pengelolaan migas negeri ini. Karena sesungguhnya biang dari ketidak daulatan energi migas di negeri ini adalah liberalisasi migas. Jika ingin mewujudkan kedaulatan energi migas maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mewujudkan sebuah sistem dan rezim berdaya. Yang mampu membangun infrastruktur semua sektor dengan melepaskan diri dari cengkeraman asing. Sistem itu adalah syareah dan khilafah yang dipimpin oleh seorang Kholifah. Yang mengimplementasikan bangunan berbagai subsistem sosial, ekonomi, politik dan semua bidang dengan aturan yang datang dari Allah SWT. Wallahu a’lam bis shawab.
*Ketua Lajnah Siyasiyah HTI DPD Sulselbar
(*/arrahmah.com)