JAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) mengadakan acara bedah buku “Metode dan Strategi Penerapan Syariat Islam di Indonesia” di masjid Raya Pondok Indah, Jakarta Selatan Kamis (30/4/2015) malam.
Pada kesempatan itu penulis buku Dr. Jeje Zainuddin memaparkan periodesasi penerapan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad Shallahu alai wa sallam dan para sahabat. Demikian pula penerapan hukum Islam di Indonesia melalui produk-produk Undang-undang (UU) yang telah dihasilkan.
Intinya, kata Ustadz Jeje, penerapan hukum Islam dilakukan secara gradual alias bertahap dan tanpa kekerasan.
Dia juga mengatakan, saat ini upaya yang harus didorong oleh umat Islam Indonesia adalah penerapan hukum Islam dalam hudud atau pidana Islam.
Yang menarik pada saat itu Ustadz Jeje mengatakan bahwa produk UU yang ada di Indonesia tidak boleh bertentengan dengan Al Quran. Karena waktu bedah buku hanya 30 menit yakni dari usai Maghrib hingga adzan Isya, pemateri tidak bisa menjelaskan terlalu rinci. Usai acara Arrahmah.com menemui Ustadz Dr. Jeje Zainuddin untuk mendalami hal itu.
Menurut Ustadz Jeje UU dibentuk melalui legislasi untuk kemudian dibawa ke program legislasi nasional (Prolegnas) yang ditetapkan dengan 4 landasan, yakni filosofis, yuridis, sosiologis dan politis.
Pertama landasan filosofis. “Landasan filosofis itu artinya bersadarkan ketuhanan yang maha Esa, keadilan dan kesejahteraan, itu filosofi yang ada dalam UU negara Indonesia,” kata Doktor Hukum Islam ini.
Maka yang pertama kali produk hukum yang dibuat di Indonesia adalah apakah ada pasal-pasal yang bertentangan dngan ketuhanan yang maha esa? “Kalau ada tidak boleh. Itu harus gugur demi hukum” tegas inisiator MIUMI ini.
Setelah itu ditinjau lagi apakah produk itu mengandung kemanusian yang adil dan beradab bagi seluruh rakyat Indonesia. “Apa arti adab? Keadaban itu hanya ada di Islam, umat lain tidak kenal adab,” ungkap Ustadz Jeje.
“Maka dia harus mengandung nilai-nilai moral, nilai-nilai akhlak,” Kata Ketua MIUMI Bidang Hukum ini.
Kata Ustadz Jeje dengan landasan filosofis ini, maka gugur hukum murni yang dicetuskan oleh Hans Kelson, sebuah teori barat yang mengatakan hukum itu harus bebas dari norma dan moralitas, “Itu gugur (teori itu), di Indonesia tidak bisa (dipakai),” tegasnya.
Untuk itu masyarakat perlu memantau dan mengontrtol seluruh produk perundang-undangan di Indonesia agar sesuai dengan filosofis tersebut.
Kedua tinjuan yuridis, bahwa negara melindungi agama, negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
“Maka undang-undang semuanya harus ada dasarnya di Undang-undang Dasar, “
Yang ketiga harus seuai dengan sosiologis, budaya hukum masyarakat Indonesia. Apa budaya hukum Masyarakat Indonesia? Islam. Dari mana muncul budaya hukum itu? Dari keluarga. Dari keluarga inilah muncul ekonomi, pendidikan dan pergaulan.
Nah maka yang ingin mereka rusak sekarang inikan keluarga dulu, sebabnya dari situ pangkal hukum muncul. Budaya hukum dari keluarga. Keluarga tidak disiplin gak bakal ada hukum di negara.
Oleh karena itu menurut teori sosiologi hukum, kata Dr. Jeje, hukum yang mengikat masyarakat hukum yang sejiwa dengan masyarakat tersebut.
“Jadi hukum yang efektif hukum yang sejalan dengan jiwa masyarakat,”
Pertanyaannya kenapa di Indonesia banyak hukum yang tidak efektif? Kerena tidak sejalan dengan jiwa masyarakat.
“Jiwa masyarakat kita ini Muslim, kenapa hukumnya sekuler, kenapa hukumnya barat,” tanyanya.
Terakhir yang keempat, Ustadz Jeje menyoroti landasan politis sebagai kekuatan politik umat Islam untuk tegaknya hukum Islam. “Hukum tidak akan tegak tanpa kemauan politik,”ucapnya.
Hanya Ustadz Jeje menyayangkan, saat ini pada titik inilah umat Islam lemah.
“Dan inilah yang dikuasai oleh orang-orang kafir di Indonesia. Sehingga tiga landasan hukum itu yang sudah kuat gagal gara-gara tidak ada kekuatan politik.,” tutupnya. (azmuttaqin/arrahmah.com)