Oleh : Lilis Holisah*
(Arrahmah.com) – Generasi muda Indonesia dalam ancaman liberalisme. Betapa tidak, 20 orang pelajar di Kabupaten Kendal diamankan Satpol PP, mereka kepergok mesum berduaan di dalam kamar hotel yang berada di kawasan wisata Pantai Muara Kencan Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Mereka adalah pelajar yang berdalih mencari hiburan usai menjalani Ujian Nasional (UN).
Selain itu, sebuah iklan untuk merayakan berakhirnya UN yang diunggah di youtube, situs ask.fm dan java party cukup menghebohkan para netizen. Betapa tidak, iklan tersebut mengajak remaja untuk berpesta dengan menggunakan bikini. Pesta bikini ini akan digelar di sebuah hotel di Jakarta Pusat bertema pool party dengan bikini summer dress pada Sabtu, 25 April 2015.
Acara yang didukung oleh sejumlah SMA di Jakarta dan Bekasi ini menyediakan tiket antara Rp 150.000 sampai Rp 5.000.000. Tiket tersebut dijual dengan fasilitas minuman keras dari yang termurah sampai dengan yang termahal.
Panitia penyelenggara dalam iklannya menampilkan foto-foto dan video pesta-pesta bikini sebelumnya dan merayu para siswa untuk bergabung dalam acara itu melalui foto-foto yang mereka unggah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik rencana pesta tersebut dan meminta sekolah untuk memperketat pengawasan terhadap anak didik mereka.
Ketua KPAI Asrorun Niam Saleh mengatakan sekolah harus melakukan pembinaan dan kontrol soal pesta bikini ini dan tidak boleh diam, sekolah harus melakukan tindakan agar siswa bisa menyikapi UN dengan edukatif.
Sekulerisme dan liberalisme mengancam generasi
Fenomena pesta pasca UN, termasuk pesta seks para pelajar adalah fenomena yang terjadi setiap tahun belakangan ini. Suatu keprihatinan besar melihat kerusakan moral di kalangan remaja. Sayangnya, alih-alih memperkuat pendidikan agama generasi muda ini, pemerintah justru mengambil kebijakan kontraproduktif yang semakin mengekang pendidikan agama. Program deradikalisasi saat ini menjadikan remaja, bahkan anak usia dini sebagai sasaran. Mirisnya, apa yang disebut program deradikalisasi ini justru merupakan program penjauhan pemahaman agama yang benar dari generasi muda. Tak heran jika fenomena ini akan terus berlangsung.
Fenomena remaja seperti ini adalah buah sekulerisme yang menjauhkan mereka dari agama, dan liberalisme yang menjadikan kebebasan sebagai standar perilaku. Isme-isme sesat ini menggempur remaja dari berbagai penjuru, di keluarga, di masyarakat dan lingkungan, lewat berbagai media dari TV, internet, media cetak dan sebagainya. Mereka tidak punya pelindung. Orangtua sibuk, sekolah tidak peduli dan negara abai terhadap tanggung jawabnya melindungi mereka.
Liberalisme dan sekulerisme adalah inti penyebab munculnya kerusakan remaja ini. Dalam sebuah sistem, suatu masalah senantiasa berkaitan dengan masalah lain. Ketika yang diterapkan adalah liberalisme dan sekulerisme, maka kerusakan tidak semata-mata terjadi pada satu aspek kehidupan atau satu kelompok orang. Semua saling berkaitan. Liberalisme dalam perekononomian menjadikan persaingan hidup semakin ketat. Para orangtua mesti berjuang habis-nabisan untuk mampu menghidupi keluarga dan mencapai standar hidup yang berbasis materi. Tak jarang para ibu ikut terjun juga mencari nafkah. Kontrol kepada anak menjadi longgar. Fungsi keluarga sebagai tempat pendidikan anak yang pertama dan utama menjadi rusak. Begitupun dunia pendidikan. Kerusakan yang terjadi bersifat sistemik. Kurikulum yang sekuler, guru yang dipersiapkan hanya untuk sekedar mengasah intelegensi tanpa menanamkan iman, sekolah yang hanya sekedar mengejar keuntungan, akreditasi maupun prestise, lantas mengabaikan pendidikan moral agama. Semua berjalin berkelindan dalam sistem yang saat ini diterapkan. Maka, solusinya adalah mencabut sistem dan seluruh pemikiran yang rusak ini dan menggantinya dengan sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan, yaitu sistem Islam.
Islam jalan selamat
Remaja sebagai manusia memiliki potensi hidup yang terdiri dari kebutuhan hidup, akal dan gharizah (naluri). Dalam Islam, ketika seorang remaja menginjak baligh, dia dibebani dengan taklif hukum. Artinya dia dianggap mampu untuk mengemban taklif hukum saat baligh. Aaqil (kemampuan berpikir) matang bersamaan dengan balighnya. dengan demikian ia bisa membedakan benar salah, baik buruk, berdosa atau berpahala saat baligh. Ini berbeda dengan fakta remaja saat ini. Pendidikan yang didasarkan pada teori psikologi Barat membuat remaja diasosiasikan dengan kepribadian yang labil, egosentris dan belum mampu bertanggungjawab sampai usianya 18 tahun. Akibatnya remaja diperlakukan salah. Di satu sisi kematangan reproduksinya sudah membuat dia memiliki syahwat, ditambah rangsangan yang begitu besar dari sistem liberal, di sisi lain akalnya belum matang, tanggung jawabnya tidak dibentuk dan kepribadiannya tidak dibina. Inilah yang merupakan awal munculnya masalah pada remaja. Berbeda dengan Islam yang kita ketahui dari berbagai hadist, remaja-remaja semenjak baligh sudah diperkenalkan dengan tanggungjawab, diikutkan jihad, diikutkan sebagai utusan dakwah dan sebagainya.
Para remaja perlu dibekali iman, standar baik buruk dan benar salah yang shahih. Proses pembentukan standar semacam ini tidak bisa berlangsung dalam waktu singkat. Maka dari awal masuk sekolah, siswa sudah harus dipersiapkan sehingga lebih mudah untuk diarahkan saat selesai UN. Kalaupun mau melakukan selebrasi, kenapa tidak dengan kegiatan positif seperti menyumbangkan seragam untuk korban bencana alam, melakukan aksi pembersihan lingkungan atau yang lainnya.
Seorang guru tidak boleh mencukupkan diri menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa, tapi kita harus punya misi membentuk kepribadian Islam para siswa. Maka guru yang sholih akan selalu mengkaitkan materi pelajarannya dengan aqidah dan keterikatan pada hukum Allah sehingga akan tertanam terus pada para siswanya, meski dia akan lulus sekalipun
Sekedar memberi himbauan kepada remaja tidak akan pernah cukup, yang dibutuhkan adalah diterapkannya sistem yang akan berfungsi sebagai pencegah, pelindung, pembangun dan sekaligus pemberi sanksi atas pelanggaran yag dilakukan. Yang memiliki kemampuan untuk menerapkan sebuah sistem dan menjamin sistem berjalan dengan mekanisme peraturan dan hukuman, hanya institusi negara.
Solusi baik jangka pendek maupun jangka panjang bertumpu pada aktivitas dakwah. Bagaimana kita menyadarkan baik pihak sekolah maupun orangtua akan tanggung jawab mereka terhadap generasi. Menguatkan iman pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan remaja agar mereka mampu untuk membentengi generasi dari kerusakan. Memotivasi mereka untuk melakukan perubahan. Sementara solusi jangka panjang, dakwah untuk menerapkan kembali syariat Islam yang akan membongkar sistem yang rusak dan menggantinya dengan sistem terbaik dari Allah Subhanhu wa Ta’ala Sang pencipta manusia.
*Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten
(*/arrahmah.com)